Politik Luar Negeri Indonesia atas Palestina

oleh Reporter

18 Mei 2021 | 22:18

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Ketua HMK PP PERSIS)
 

Masalah Palestina hingga saat ini masih terus menjadi isu dunia. Penjajahan atas Palestina yang dilakukan oleh Zionis Israel sejak tahun 1917 terus berlangsung hingga saat ini. Bukan hanya warga penduduk asli Palestina harus menderita, mereka juga harus menyaksikan kampung-kampung halaman mereka kini telah berubah menjadi pemukiman-pemukiman Yahudi. Mereka yang setuju, harus berdampingan dengan orang-orang Yahudi pendatang, sambil harus merelakan tanah-tanah mereka yang masih kosong dibangun menjadi pemukiman Yahudi. Sementara mereka yang menentang harus berani berhadapan dengan timah panas para penjajah hingga mati syahid bersimbah darah. Sebagian yang menentang, tapi masih berpikir untuk menata ulang strategi harus memilih meninggalkan kampungnya. Sebagian lain yang lemah pun banyak yang memilih meninggalkan kampung-kampung mereka dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak di perantauan. Kampung-kampung yang kosong itu kemudian dengan leluasa dijadikan pemukiman dan kota-kota Yahudi baru.

Tahun 1948 dengan sangat percaya diri David Ben Gurion memproklamasikan negara Israel di atas tanah milik penduduk Palestina yang dirampas paksa oleh mereka. Negara ini mendapatkan dukungan langsung dari negara adidaya Amerika Serikat (AS). Pengaruh kuat AS di dunia ini juga yang menyebabkan banyak negara lain ikut mengakui keberadaan negara penjajah dan perampas tanah orang lain ini. Lalu bagaimana sikap Indonesia atas deklarasi Israel ini? Saat itu Indonesia telah resmi merdeka menjadi negara sendiri.

Sebagai negara yang juga pernah dijajah lama oleh Belanda, posisi Indonesia sejak awal sangat ideologis membela posisi Palestina. Apalagi, sewaktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, negara-negara Arab pada umumnya memberikan dukungan dan pengakuan atas keberadaan Indonesia; tidak terkecuali Mufti Palestina Amin Al-Husaini yang menjadi pemimpin tradisional masyarakat Palestina datang menemui Sukarno untuk mengucapkan selamat atas Kemerdekaan Indonesia. Walaupun posisi Palestina saat itu sudah sangat terjepit oleh kebijakan-kebijakan Inggris yang terus melindungi kepentingan Yahudi di Palestina, namun pemimpin Palestina tidak melupakan saudara jauhnya di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Al-Husaini mengingat semenjak sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin Indonesia sudah memberikan perhatian kepada masalah-masalah Palestina, baik dalam bentuk dukungan politik hingga dukungan finansial yang dikumpulkan dari masyarakat Indonesia.

Hubungan yang baik dengan Indonesia dan sikap Indonesia yang tegas terhadap penjajahan Israel atas Palestina inilah yang membuat kebijakan luar negeri Indonesia terhadap masalah Palestina pun tegas: menolak mengakui berdirinya negara Israel. Indonesia menganggap bahwa Israel adalah penjajah. Sementara UUD RI menyatakan segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan. Sepanjang Indonesia menganggap Israel sebagai penjajah, maka sepanjang itu pula Indonesia harus menolak keberadaan Israel sebagai amanat konstitusi.

Atas dasar kebijakan ini, tidak mengherankan apabila pada Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 Indonesia tidak mengundang delegasi dari Israel, melainkan dari Palestina. Secara kasat mata, Indonesia menunjukkan keberpihakannya terhadap posisi Palestina ini. Hanya saja, sebagai negara yang juga tidak terlalu kuat, baik secara politik, militer, maupun ekonomi, bantuan luar negeri yang diberikan Indonesia hanya sebatas pengakuan diplomatik. Indonesia belum bisa melakukan tekanan politik kepada negara-negara yang mendukung Israel seperti Amerika, China, Inggris, Prancis, Jerman, dan lainnya. Pun Indonesia tidak dapat memberikan dukungan militer untuk kemerdekaan Palestina.

Sebagai bukti keseriusan hubungan diplomatik Indonesia, pada tahun 1953 sebelum KAA, Presiden Sukarno mengutus Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo untuk menghadiri Konferensi Internasional Pertama tentang Baitulmaqdis di Jerusalem. Dalam Muktamar itu disetujui adanya Majelis Umum yang bekerja untuk masalah-masalah Palestina. Wakil dari Indonesia yang ditunjuk adalah mantan Perdana Menteri M. Natsir dan Mohammad Dahlan (Menteri Agama saat itu). Sepanjang kepemimpinan Sukarno, sikap Indonesia tidak berubah. Bahkan pada tahun 1961, Sukarno mengelurkan instruksi agara seluruh jaringan organisasi Freemasonry yang diduga ada hubungannya dengan Zionisme dibubarkan, karena dianggap anti revolusi dan pro penjajahan. Terlihat, sikap penguasa RI ini sangat ideologis dalam menolak keberadaan Israel.

Zaman politik di Indonesia kemudian berubah. Sukarno harus turun dari kursi kepresidenannya tahun 1967 digantikan oleh Suharto. Sejak Indonesia dipimpin Suharto, kiblat politik Indonesia berubah haluan menjadi sangat kuat cenderung ke Amerika. Indonesia mendapatkan banyak bantuan dan pinjaman dana dari Amerika dan negera-negara sekutunya untuk proses pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dalam situasi ini, pemerintah Indonesia kelihatan sangat dilematis dalam menentukan sikapnya terhadap masalah Palestina. Di satu sisi tidak mungkin pemerintah menolak amanat UUD 1945 yang menolak semua penjajahan. Pemerintah juga tidak mungkin menolak untuk menyebut Israel sebagai penjajah mengingat fakta sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi bahwa Israel merebut kawasan milik rakyat Palestina. Ini jelas adalah penjajahan. Namun di sisi lain, kini pemerintah Indonesia tersandera dengan utang-utang dan dukungan politik yang digelontorkan Amerika ke Indonesia.

Situasi dilematik ini terlihat dari mulai goyahnya dukungan Indonesia kepada Palestina. Semenjak zaman Suharto, pertemuan-pertemuan internasional dengan agenda pembicaraan kemerdekaan Palestina tidak pernah lagi dihadiri secara resmi oleh utusan pemerintah. Departemen Luar Negeri Indonesia memilih untuk diam dan tidak vokal berbicara di forum internasional mengenai masalah Palestina. Dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional tentang Palestina, yang sering hadir dari Indonesia hanya dari ormas-ormas Islam yang tentu posisi politiknya tidak sekuat wakil pemerintah. Inilah periode pertama goyahnya pertahanan diplomatik Indonesia tentang Palestina.

Semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan Amerika semakin membuat Indonesia semakin goyah pendirian perihal keberadaan Israel sebagai penjejah. Momen perdamaian Israel-PLO dengan ditandatanganinya perjanjian Oslo tahun 1993 dijadikan alasan oleh Suharto untuk mulai membuka pembicaraan dengan Israel. Dalam satu acara KTT di Bali Oktober 1993, dikabarkan Suharto menerima dua orang utusan Israel: Daniel Magiddo dan Mordechai Ben Ali. Beberapa hari berikutnya (15 Oktober 1993), Suharto secara resmi menerima PM Israel Yitsak Rabin di kediamannya Jl. Cendana Jakarta.

Pertemuan ini diduga sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, walaupun dibantah oleh Moerdiono yang saat itu menjabat sebagai menteri sekretaris negara. Bantahan ini disampaikan Moerdiono setelah umat Islam bereaksi sangat keras atas kedatangan Rabin ke Jakarta. Demonstrasi di mana-mana, para ulama lantang menolak, ormas Islam ramai-ramai mencela kedatangan Rabin. Akhirnya, kedatangan Rabin tidak sampai membuahkan hasil hubungan diplomatik dengan Israel. Apalagi, secara politik Suharto saat itu sedang dekat dengan umat Islam.

Kurang dari lima tahun setelah itu, Suharto harus lengser dari jabatannya sebagai presiden. Reformasi bergulir dengan cepat. Akan tetapi, rupanya ini hanya pengalihan kekuasaan di Indonesia belaka. Secara internasional, justru tekanan asing terhadap independensi Indonesia semakin kuat; dan posisi Indonesia semakin melemah. Hal ini terlihat dari perubahan-perubahan sikap pemerintah terhadap penguasa. Secara mengejutkan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ikut menjadi salah seorang pendiri Yayasan Shimon Peres yang berpusat di Tel Aviv. Atas nama apapun, kelakuan Gus Dur ini telah menimbulkan kecurigaan di kalangan umat islam bahwa posisinya sangat dekat dengan Amerika. Dugaan ini menjadi masuk akal ketika Gus Dur menjadi Presiden tahun 2000. Menteri Perdagangannya, Luhut Binsar Panjaitan membuka hubungan dagang Israel-Indonesia melalui “Surat Menperindag” No. 23/MPP/01/2001. Tidak lama setelah itu, Presiden Gus Dur bertemu dengan Dirjen Departemen Perdagangan Israel di Jakarta pada 10 Januari 2001. Hingga saat ini, kebijakan tersebut tidak pernah dicabut, walaupun sudah tiga kali berganti presiden. Ini menandakan bahwa ideologi perlawanan Bangsa Indonesia terhadap penjajahan sudah semakin luntur di kalangan para pemimpin pemerintahan Indonesia. Pragmatisme semakin menguat di kalangan para pejabat.

Hingga saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah Indonesia semakin mendekat kepada kepentingan rakyat Palestina. Satu-satunya yang menghibur umat Islam adalah ketika Presiden SBY berpidato di forum KTT OKI di Bali tahun 2013 yang menyatakan dukungannya atas kemerdekaan Palestina. Akan tetapi, selain dukungannya hanya bersifat pernyataan diplomatik, posisi Indonesia juga tidak mempersoalkan kedudukan Israel. Indonesia kelihatannya setuju dengan konsep two state solution dengan pemberian wilayah yang sangat kecil untuk Palestina. Ini menandakan bahwa Indonesia masih sangat kuat berada di bawah tekanan Amerika. Situasi ini tidak banyak berubah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Akankah sikap Indonesia berubah? Semuanya akan bergantung pada siapa yang memegang kendali pemerintahan di negeri ini.

Wallâhu A’lam.

Reporter: Reporter Editor: admin