Oleh: Prof. Dr. H. Dadan Wildan Anas. M.Hum
1. Muqaddimah
Jamiyyah Persatuan Islam (Persis) sebagai organisasi massa Islam terbesar ketiga di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah akan menyelenggarakan muktamar ke-16 pada tanggal 23-26 Oktober 2020 di Soreang Kabupaten Bandung.
Dibandingkan dengan organisasi lain yang sama-sama melaksanakan Muktamar pada tahun 2020 ini, seperti Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta tanggal 12 Nopember 1912 menyelenggarakan Muktamar ke-48, sementara Persis yang lahir di Bandung pada tanggal 12 September 1923 baru melaksanakan Muktamar yang ke-16, mengapa?
Bila ditelusuri dalam catatan sejarah, muktamar pertama hingga keempat Persis tidak disebut muktamar sebagaimana pada muktamar kelima hingga ke-16 yang akan datang, karena kegiatan sejenis muktamar tidak pernah digelar secara besar-besaran, cukup kumpulan beberapa orang pimpinan dan anggota untuk membicarakan perjalanan roda organisasi.
Muktamar pertama hingga keenam berlangsung di Bandung, dan tidak disebut muktamar sebagaimana lazimnya.
Tanggal 12 September 1923 ketika Persis didirikan bisa disebut sebagai Muktamar Pertama, disusul kemudian ketika Persis mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936 bisa disebut Muktamar kedua. Berikutnya pada tanggal 24-25 Desember 1936 berlangsung konferensi Persis yang bisa disebut muktamar ketiga, lalu pada tahun 1948---tanggal dan bulan tidak tercatat---ketika Persis direorganisasi kembali oleh KH. Isa Inshary sejak dibubarkan pada jaman Jepang bisa disebut Muktamar keempat.
Kemudian Muktamar ke lima (17-20 September 1953), Muktamar keenam (15-18 Desember 1956), Muktamar ke tujuh berlangsung di Bangil (2-5 Agustus 1960), Muktamar kedelapan kembali di Bandung (25-27 Nopember 1967), Muktamar ke sembilan dalam bentuk Muakhot (16-18 Januari 1981) di Bandung, Muktamar kesepuluh berlangsung di Garut (6-8 Mei 1990), Muktamar ke-11 (2-4 September 1995) di Jakarta, Muktamar ke-12 (9-11 September 2000) di Jakarta, dan Muktamar ke-13 (3-5 September 2005) juga di Jakarta; lalu Muktamar ke-14 (25-27 September 2010) di Tasikmalaya; dan
Muktamar ke-15 (20-23 November 2015) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta; insya Allah Muktamar ke-16 direncanakan akan diselenggarakan di Soreang Kabupaten Bandung tanggal 23-26 Oktober 2020.
Dari Muktamar ke muktamar nampaknya tidak konsisten waktu penyelenggaraannya, dan baru mulai tahun 1990 berlangsung secara periodik lima tahun sekali.
2. Muktamar Di Jaman Kolonial.
Muktamar pertama sesungguhnya adalah berkumpulnya suatu kelompok tadarusan (penelaahan agama Islam) di kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Bersama-sama jamaahnya dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji serta menguji ajaran-ajaran Islam, sehingga mereka---kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu---semakin tahu akan hakikat Islam yang sebenarnya, dan mereka pun menjadi sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, penutupan pintu ijtihad, taqlid buta, dan serangkaian praktek bid'ah, sehingga mereka mencoba melakukan gerakan tajdid dan pemurnian ajaran Islam dari faham-faham yang sesat dan menyesatkan.
Kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, dan berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menimbulkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karakteristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923 bertepatan dengan tanggal 1 Shofar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mengadakan kegiatan "muktamar" pertama untuk mendirikan organisasi baru yang kemudian diberi nama "Persatuan Islam" (Persis). Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad; berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Karena itu, mulai saat berdiri, Persis pada umumnya kurang memberikan penekanan bagi kegiatan organisasi. Ia tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin jumlah anggota. Pembentukkan sebuah cabang tergantung semata-mata pada inisiatif peminat dan tidak didasarkan pada suatu rencana yang dilakukan oleh pimpinan organisasi itu sendiri. Namun demikian, pengaruh organisasi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah cabang maupun anggotanya.
Muktamar pertama Persis mendasari kegiatan organisasi berikutnya untuk lebih memperluas aktivitasnya.
Sayang, beberapa dokumen sejarah yang saya telaah tidak menunjukkan waktu yang tepat penyelenggaraan Mukatamar Persis kedua. Hanya berdasarkan interpretasi faktual dapat ditemukan bahwa Muktamar kedua berlangsung ketika Persis mulai merancang sistem pendidikan sebagai sarana dakwah, karena pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham Al-Qur'an dan Sunnah melalui dakwah dan pendidikan.
Berbagai lembaga pendidikan yang telah didirikan kemudian dimusyawarahkan untuk melahirkan satu lembaga pendidikan yang khas dan terpadu berbentuk pesantren melalui Muktamar kedua Persis yang berlangsung pada tanggal 4 Maret 1936. Musyawarah Persis inilah yang kemudian melahirkan suatu keputusan penting dengan didirikannya secara resmi Pesantren Persatuan Islam yang pertama di Bandung pada tanggal 4 Maret 1936.
Muktamar yang cukup besar dan melibatkan banyak pihak baru digelar pada tahun 1936 yang bisa disebut muktamar ketiga dan diselenggarakan dalam bentuk konferensi Persis pada tanggal 24- 25 Desember 1936 di Gedung Persis Jalan Pangeran Sumedang.
Muktamar itu dihadiri oleh 300 orang anggota dari berbagai cabang sera para undangan diantaranya R.A.A. Wiranatakoesoemah Bupati Bandung, para wakil dari berbagai perkumpulan seperti Muhammadiyah dan Muhammadiyah bagian Pemuda Cabang Bandung, Al-Islah, Perguruan Islamiyyah, dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Cabang-cabang Persis yang hadir dalam konferensi ini antara lain Cabang Kutaraja Aceh, Betawi, Tanah Abang, Bogor, Cianjur, Cimenteng, Bandung, Cirebon, Majalaya, Mr. Cornelis (Jakarta) ditambah pula Cabang Persistri Bogor, Tanah Abang, dan Bandung.
Konferensi itu diliput oleh pers yang hadir saat itu antara lain; pers Amal, A.I.D., Nicorck, Pemandangan, Perbintjangan, dan Sin Po. Demikian pula wakil-wakil dari pemerintahan ikut hadir.
Muktamar ini membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembinaan internal organisasi, bukan memperluas jumlah cabang maupun anggota. Adapun keputusan dalam Muktamar Persis ketiga itu adalah: (1) Menetapkan Qanun Persis yang baru, (2) Menetapkan Qanun Persistri, sebagai bagian Istri dari Persis, dan (3) Menetapkan Qanun Pendidikan Islam, sebagai bagian sekolah dari Persis.
Untuk memantapkan roda jamiyyah dan legalisasi gerakan organisasi, Mohammad Natsir berusaha keras untuk mendapatkan status badan hukum organisasi dari pemerintah kolonial Belanda. Pengajuan badan hukum Persis oleh Mohammad Natsir diajukan pada tanggal 3 Agustus 1938, namun baru dapat disetujui pada tanggal 24 Agustus 1939 dengan keluarnya status badan hukum bagi Persis dari Directeur van Justitie (Badan Kehakiman) dengan nomor: A.43/30/20, tertanggal 24 Agustus 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Nipponisasi dan pemusyrikkan gaya Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para pimpinan dan anggota Persis menerjunkan diri dalam pergolakan kemerdekaan, dan karenanya tidak pernah ada lagi muktamar organisasi.
3. Muktamar di Jaman Orde Lama
Pasca kemerdekaan, atas ide KH. Mohammad Isa Anshary, Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali sistem organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang.
Melalui reorganisasi tahun 1948 yang dapat disebut sebagai Muktamar ke empat, memiliki tujuan utama yaitu reorganisasi Persis pasca pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan.
Pada Muktamar ini, kepemimpinan Persis berada pada para ulama generasi kedua di antaranya K.H. Mohammad Isa Anshary sebagai Ketua Umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurrahman, Fakhruddin Al-Khahiri, dan K.H.O. Qomaruddin Saleh.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukkan negara dan masyarakat dengan ideologi Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom). Reaksinya, Persis mengeluarkan sejumlah "manifesto politik" yang isinya kebanyakan menolak konsepsi Bung Karno tentang Nasakom; dibentuknya Front Anti Komunis oleh Isa Anshary untuk membentengi pengaruh komunis yang sudah sedemikian jauh dalam percaturan politik kenegaraan dan membahayakan umat Islam.
Masalah-masalah di atas menjadi topik pembicaraan yang digelar dalam muktamar Persis ke lima (17-20 September 1953) dan Muktamar ke enam (15-18 Desember 1956). Kedua muktamar itu tetap memilih Isa Anshary sebagai Ketua Umum PP. Persis. Karenanya dapat difahami apabila program utama Persis pada masa Isa Anshary adalah untuk memenangkan ideologi Islam dalam politik pemerintahan pada masa itu.
Persis kemudian terjun menjadi anggota istimewa Masyumi yang dipimpin oleh Mohammad Natsir. Isa Anshary dan beberapa tokoh Persis lainnya terpilih dalam unsur kepemimpinan Masyumi dan berjuang dalam percaturan politik melalui Masyumi baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Muktamar ke tujuh berlangsung di Bangil pada tanggal 2-5 Agustus 1960. Muktamar inilah yang memunculkan konflik internal dalam jamiyyah Persis yang saya istilahkan dengan "Gelombang Dalam Gelas".
Konflik ini diawali ketika KH. Isa Anshary menyampaikan pidato berjudul Ke Depan dengan Wajah Baru yang intinya menginginkan agar Persis berubah nama dan pola perjuangan sebagaimana layaknya partai politik dengan nama baru "Jamaah Muslimin".
Ide Isa Anshary ini mendapat reaksi keras dari muktamirin yang menolak pidato Isa Anshary. Akibatnya, Muktamar Bangil tidak menghasilkan apa-apa, karena segala keputusan Muktamar dibatalkan melalui hak Veto Majelis Ulama (sekarang Dewan Hisbah).
Karena tidak menghasilkan keputusan apapun, baru pada tahun 1962 diadakan referendum di Bandung untuk memilih ketua umum yang baru. Melalui referendum ini, Ketua Umum PP. Persis dipegang oleh KH. E. Abdurrahman yang mengakhiri masa kepemimpinan K.H. Mohammad Isa Anshary (1948-1960).
Melalui referendum tahun 1962 sebagai kelanjutan dari Muktamar ke tujuh di Bangil, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E.Abdurrahman (1962-1983) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jamaah, Darul Hadits, Inkarus-Sunnah, dan faham-faham sesat lainnya.
4. Dari Muktamar ke Muakhot.
Di bawah kepemimpinan K. H. E. Abdurrahman, terutama setelah terjadinya G. 30 S/PKI---karena diduga ada anggota-anggota yang diragukan itikad baiknya dalam organisasi Persis---dilakukanlah pengawasan ketat untuk menjaga kualitas pelaksanaan dan pengamalan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah serta mengutamakan kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang berdasarkan Qanun Asasi dan Qanun Dakhili, tata kerja, thausiyyah, dan seperangkat peraturan yang berlaku dalam jam'iyyah.
Adapun kuantitas, menurut K. H. E. Abdurrahman tidak berarti diabaikan, melainkan sangat dikhawatirkan manakala jumlah yang banyak itu hanya menambah beban dan merupakan buih saja; tidak memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya dikhawatirkan akan mendatangkan madharat bagi keutuhan dan tegaknya jam'iyyah.
Dasar pemikiran K. H. E. Abdurrahman yang tidak terlalu mementingkan jumlah cabang dan jumlah anggota dapat difahami, karena dalam kepemimpinannya ditekankan arti penting jam'iyyah yang senantiasa harus berada dalam mardhatillah, sebagaimana diungkapkannya pada muakhot Persis tanggal 16 januari 1981.
Di Masa kepemimpinan KH. E. Abdurrahman, hanya dilaksanakan Muktamar dua kali, yakni Muktamar kedelapan yang kembali digelar di Bandung pada tanggal 25-27 Nopember 1967 dan muktamar ke sembilan dalam bentuk Muakhot (16-18 Januari 1981). Kedua Muktamar ini tetap mempercayakan kepemimpinan Persis dibawah KH.E. Andurrahman.
Muakhot tahun 1981 adalah muktamar yang secara politis menempatkan Persis sebagai organisasi yang bersifat non-kooperatif terhadap pemerintahan Soeharto. Kebijakan pemerintah Soeharto yang militersitik, represif, dan otoriter serta membahayakan kelangsungan organisasi dan kepentingan umat Islam mendorong Ustad Abdurrahman untuk tidak menggelar muktamar besar-besaran, melainkan dikemas dalam bentuk muakhot yang bobot dan pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika Ustad Abdurrahman meninggal dunia pada tahun 1983, K. H. A. Latief Mukhtar, MA terpilih menggantikan kedudukannya sebagai ketua umum (1983-1997).
Pada masa Ustad Latief Mukhtar diadakan Muktamar dua kali, yakni Muktamar ke sepuluh berlangsung di Garut (6-8 Mei 1990) dan Muktamar ke-11 di Jakarta (2-4 September 1995). Ketika KHA. Latief Mukhtar meninggal dunia tahun 1997, kepemimpinan Persis dipegang oleh KH. Drs. Shiddiq Amien yang menjabat hingga Muktamar ke 12 di Jakarta (2000) dan ia terpilih sebagai ketua umum (2000-2005; dan 2005-2010), namun beliau wafat pada 31 Oktober 2009.
Masa kepemimpinan KHA. Latief Mukhtar (1983-1997) KH. Shiddiq Amien (1997-2009), Prof. Dr. KH. M. Abdurrahman (2009-2015), dan dilanjutkan saat ini oleh KH. Aceng Zakaria (2015-2020) merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya (Pemuda Persis).
Pola kebijakan jamiyyah terdapat perbedaan yang cukup mendasar; jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontroversial yang bersifat gebrakan shock therapy, pada masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif edukatif. Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.
Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada persoalan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran ke-Islaman.
5. Bermimpi Bandung Menjadi Lautan Persis
Muktamar Persis ke-14 di Tasikmalaya menjadi muktamar yang bersejarah, karena untuk pertamakalinya sepanjang berdirinya Persis, Muktamar kali ini dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, di kompleks Masjid Aisyah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketua Panitia Muktamar saat itu, Ketua Bidang Jamiyyah PP. Persis, Tuan Atip Latifulhayat, SH., LLM., Ph. D.
Presiden bersama Ibu Ani Yudhoyono hadir bersama sejumlah pejabat, antara lain, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi; Menko Kesra Agung Laksono; dan Menteri Agama Suryadharma Ali; serta Sekretaris Kabinet, Dipo Alam.
Muktamar Persatuan Islam ke-XIV berlangsung selama tiga hari, 25-27 September 2010. Muktamar itu dilaksanakan di tiga pesantren yang ada di Tasikmalaya dan Garut. Itulah muktamar yang paling meriah karena selain dihadiri oleh Presiden juga berlangsung di basis massa Persis dengan ribuan jamaah yang memeriahkannya.
Muktamar ke-XV kembali berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta yang ketuka itu, asrama haji pondok gede sedang direnovasi dan hanya mampu menampung sekitar 1000 jamaah. Dampaknya panitia mengurangi jumlah peserta dengan 150 orang diwakili satu orang peserta. Pilihan pelaksanaan Muktamar di Jakarta saat itu, tentu jauh berbeda kondisinya dengan muktamar sebelumnya. Sudah empat kali muktamar di Pondok Gede, gaung dan syiarnya kurang luas.
Insya allah, tahun 2020 ini, penyelenggaraan Muktamar ke-16 akan berlangsung di Soreang Kabupaten Bandung, yang dapat mengulang kemeriahan seperti Muktamar di Tasikmalaya dengan beberapa alasan:
Pertama; Persis berdiri di Bandung tahun 1923, Bandung sebagai akar dan basis perjuangan Persis sejak berdirinya hingga saat ini. Pimpinan Pusat Persis, juga berada di Bandung. Dengan demikian, mobilisasi jamaah, untuk memeriahkan Muktamar, agar lebih mudah dan lebih besar.
Kedua, Bandung dan sekitarnya, termasuk Soreang, belum pernah menjadi tempat muktamar yang melibatkan massa dan jamaah Persis dalam jumlah besar kecuali muakhot tahun 1982 padahal basis masa Persis ada di Bandung;
Ketiga, akomodasi dan transportasi lebih mudah. Bandung-Soreang saat ini, mudah dijangkau dengan terhubungnya jalan tol Soreang-Pasirkoja-Pasteur yang memudahkan akses bagi jamaah;
Keempat, pembukaan Muktamar dengan jumlah massa yang besar bisa saja diselenggarakan di stadion Jalak Harupat yang dapat dihadiri ribuan jamaah dan simpatisan Persis sehingga syiarnya akan lebih terasa;
Kelima, banyak pula pesantren dan mesjid yang siap menampung para muhajirin peserta muktamar, karena wilayah Soreang dan sekitarnya, juga merupakan basis jamaah Persis.
Keenam, tiga hari muktamar di Bandung bisa menghijaukan dan mempersiskan Bandung sekaligus memproklamirkan Bandung sebagai kota Persis;
Saya membayangkan, itupun kalau wabah covid19 sudah berlalu dan aman mengumpulkan masa melalui Muktamar ke-16, Bandung-Soreang akan menjadi Lautan Persis. Sepanjang jalan dimana mana berkibar bendera Persis. PERSIS nu Aing tea kalau mengutip bobotoh viking.
6. Esensi Muktamar itu, Musyawarah
Salah satu agenda muktamar Persis yang biasanya menarik perhatian jamaah adalah prosesi pemilihan Ketua Umum yang akan menakhodai kapal besar jamiyyah Persis.
Saat ini, Persis dipimpin oleh Al Ustad K.H. Aceng Zakaria, salah satu ulama besar yang dimiliki Persis saat ini. Jika beliau masih bersedia mengemban amanah melanjutkan kepemimpinannya, saya kira muktamar akan berlangsung cepat. Sebab harus diakui, Persis masih kekurangan tokoh ulama yang mumpuni.
Ulama generasi murid KHE Abdurrahman Allahu yarham, tidak banyak lagi yang berperan aktif di jamiyyah. Mungkin tinggal Prof. Dr. KH. Maman Abdurrahman dan KH. Romli yang juga sudah cukup sepuh. Rata rata diatas 70 tahunan
Lapis kedua setelah ustad Aceng, nampaknya belum ada yg menonjol. Dalam pandangan saya, Dr. KH. Dedeng Rosyidin mungkin salah satunya di lapis ini. Disamping ustad Dr. Uyun Kamiludin, Dr. Komarudin Saleh, Ustad Zae Nandang, Ustad Jalaludin dan ustad Daerobi yang rata rata menjelang usia 60 tahun.
Ada lapis ketiga setelah itu di kisaran usia 50 tahunan. Pada lapis ini, mereka mantan aktivis Pemuda Persis. Ada Prof. Atip Latifulhayat, Ph. D, ada Dr. Irfan Syafrudin, KH. Drs. Ustad Uus Ruhiyat, dan Ustad Wawan Sofwan misalnya.
Usia dibawah 50 tahunan, yang nampak menonjol saat ini ada Dr. KH. Jeje Zaenudin, Dr. Tiar Anwar Bahtiar, Dr. Haris Muslim, Dr. Ihsan Setiadi Latif, Dr. Latif Awaludin, Dr. Nasrudin Syarif, Dr. Nurmawan, KH. Amin Mukhtar, dan masih banyak lagi kader lain yang dari sisi pendidikan cukup mumpuni.
Saya berharap muktamar tahun 2020 lebih mengedepankan musyawarah mufakat dibandingkan dengan pemungutan suara ala demokrasi yang terkadang dapat memecah belah umat.
Jika KH. Aceng Zakaria masih bersedia melanjutkan kepemimpinannya, saya kira aklamasi menjadi solusi. Jika beliau tidak lagi bersedia karena faktor usia misalnya, maka para inohong persis bermusyawarah untuk menentukan penggantinya. Tanpa harus mempertandingkan atau adu geulis antar ulama Persis. Dengan cara itu, jamiyah akan tetap utuh, musyawarah untuk mufakat menjadi pilihan terbaik daripada pemilihan langsung.
Semoga muktamar kali ini lebih kental nuansa musyawarahnya dibanding nuansa demokrasinya. Tunjukan kepada umat dan bangsa Indonesia, jamaah Persis jamaah yg taat pada Allah, Rasul, dan imamah.
Yang juga cukup penting, mudah-mudahan Muktamar tahun ini dapat menghasilkan tasykil Pimpinan Pusat yang tangguh, amanah, ikhlas, dan istiqomah sekaligus melahirkan program jihad yang lebih implementatif. Agenda utama yang perlu dibahas dalam Muktamar ke-16 adalah bagaimana menempatkan kembali posisi organisasi Persis sebagai organisasi yang bergelut dalam bidang pengkajian, penelitian, dan menghasilkan produk hukum (Islam) sebagai jawaban terhadap berbagai persoalan umat. Tampilkan kembali ruh utama jamiyyah Persis sebagai penggerak pemikiran Islam di Indonesia.
Wallahualam