Siang Hari di Mina : Haji dan Nasi Kebuli
Kota Mina bernafas dengan udara yang sarat harap dan doa, siang hari itu. Tenda-tenda putih terbentang seperti hamparan bulan di bumi, tetapi masih senyap.Sebentar lagi, tenda-tenda putih itu akan ramai oleh jamaah dari penjuru dunia. Mereka bergerak pelan dalam irama ibadah yang suci. Tanggal 8 Zulhijah, hari tarwiah itu, memang tinggal menghitung hari.
Di lantai 4, gedung Rabithah al-‘Alam al-Islami, Mina, suasana siang itu bercorak lain. Ada obrolan hangat, penuh hormat, dan senyum. Belasan calon haji asal Indonesia, undangan Pemerintah Saudi Arabia (2019), memang menginap di sini. Termasuk, Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nurwahid, yang kelak dijadwalkan bertemu dengan Raja Salman.
Di ruang makan yang lengkap dan tertata rapi, Dr. Hidayat Nurwahid duduk bersama para jamaah haji undangan dari Indonesia. Meja bulat dipenuhi aroma masakan Arab: nasi kebuli yang harum, daging kambing yang lembut, kurma segar, dan buah-buahan. Ada pula minuman dingin buatan Eropa yang menyegarkan. Maka, tenggorokan yang lelah oleh panas gurun pun mendadak hilang. Makan siang terasa lebih nikmat.
Sendok beradu pelan dengan piring. Gelas putih disentuh tangan-tangan lelah yang baru saja berkeliling Kota Mina. Namun, lebih dari sekadar makan, atau minum air mineral yang bening, ruang itu disulap jadi tempat percakapan besar tentang masa depan. Jamaah haji asal Indonesia ini bebas bertanya apa saja kepada Dr. Hidayat Nurwahid. Tanpa pemandu acara, tanpa batasan waktu. Percakapan santai mengalir begitu saja, tentang negeri, tentang politik, tentang masa depan umat Islam.
“Indonesia,” kata Hidayat Nurwahid, dan dengan suara yang meyakinkan, “Memang sudah saatnya memiliki Kementerian Haji dan Umrah sendiri. Negara kita, dengan jamaah haji terbesar di dunia, tak bisa hanya menjadi tamu. Kita harus menjadi tuan dalam pelayanan umat. Sudah banyak yang usul. Kami ikut memperjuangkannya”. Jawaban politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu untuk merespon salah satu pertanyaan tentang kemungkinan terbentuknya Kementerian Haji dan Umrah.
Jawaban Hidayat Nurwahid menggema lembut, seolah mengikuti alunan doa yang naik dari jutaan bibir di lembah Mina. Jamaah haji asal Indonesia yang duduk di sekelilingnya seperti berbinar, merasakan getar harapan yang sama. Orang yang berbicara, dan berjanji akan ikut memperjuangkannya, adalah seorang politisi yang mewakili suara umat Islam.
Percakapan itu tidak kaku. Sesekali kami tertawa, menyisipkan cerita ringan tentang pengalaman di Mina : ada yang tersesat naik bus ke Masjid Al-Haram, ada pula yang nyaris kehilangan sandal di masjid. Namun, setiap tawa kembali bermuara pada percakapan serius : bagaimana Indonesia bisa melayani umat lebih baik, lebih terhormat, terutama dalam perjalanan ibadah haji dan umrah.
Siang hari merayap perlahan. Langit Mina terang tak berawan. Di meja makan bundar itu, ada semangat, memantul di wajah-wajah yang berseri-seri. Percakapan sederhana, selepas nasi kebuli, menjelma jadi titik kecil dari sejarah besar. Gagasan lahirnya Kementerian Haji dan Umrah Indonesia terasa jadi menu utama percakapan santai di meja makan ber-nasi kebuli itu. Tidak ada pidato resmi, tidak ada mikrofon yang berteriak. Hanya gelora percakapan, hati yang tulus, dan keyakinan bahwa ibadah ini terlalu agung untuk dikelola dengan setengah hati.
Ketika mereka bangkit meninggalkan meja makan, aroma kebuli masih tertinggal, bercampur dengan aroma doa dan harapan. Di Mina, pada siang hari itu, lahir sebuah harapan. Indonesia harus menata jalannya sendiri dalam mengantarkan tamu-tamu Allah menuju tanah suci.
Dan, Indonesia kini, punya Kementerian Haji dan Umrah. Lahir tanpa perdebatan panjang dan melelahkan. Tak seperti pembahasan undang-undang politik atau APBN. Para anggota DPR RI, sebetulnya, sedang menghadapi aksi massa. Juga, Presiden Prabowo Subianto mungkin sedang marah karena ada anggota kabinetnya yang “menyimpang” dan “menyamping”.
Selain Kementerian Haji dan Umrah, juga mendirikan Bank Haji (kampanye Prabowo Subianto, tahun 2014) dan pembangunan Kampung Haji (kampanye Anies Baswedan, 2024) bisa dipertimbangkan untuk melengkapi pelayanan prima ibadah di Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah itu. Satu paket pembentukan tiga komponen ini, boleh jadi, terhitung berbiaya rendah jika dibandingkan dengan biaya pembangunan IKN.
(Dean Al-Gamereau, warga negara biasa, sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja, tinggal di Kota Serang, Provinsi Banten).
BACA JUGA:KBIHU PERSIS Sukses Laksanakan Rangkaian Puncak Ibadah Haji: Tarwiyah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina