Salaf: Makna, Mazhab, Manhaj, dan Masalahnya.
(Bagian 1)
Istilah salaf dan khalaf bukanlah istilah yang asing dalam kajian turats (warisan kekayaan ilmu) ulama-ulama Islam sejak berabad-abad dahulu. Terutama setelah pergantian abad ke dua kepada abad ke tiga Hijriyah, seiring telah berakhirnya tiga generasi awal Islam yang dipuji dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw.[1] Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batasan persis akhir dari generasi salaf, namun pembedaan penyebutan salaf dan khalaf pada masa itu lebih ditekankan pada pembedaan periode kehidupan para ulama Islam tiga generasi awal dengan generasi sesudahnya. Istilah salaf merujuk kepada tiga generasi setelah Nabi, sedang istilah khalaf menunjuk kepada para ulama generasi setelah mereka.
Saya berkeyakinan bahwa seluruh kaum muslimin wajib mencintai dan memuliakan salafusshalih, menerima mazhab mereka, mengikuti manhaj mereka dalam beragama, serta meneladani keagungan akhlak mereka sesuai dengan yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hanya saja dalam implementasi dan detail-detailnya terjadi perbedaan persepsi dan pemahaman tentang batasan siapa saja salafushalih itu, dalam bidang apa mazhab-mazhab mereka yang disepakati dan diperselisihkan, serta tafsiran terhadap manhaj-manhaj mereka dalam bidang akidah, ibadah, maupun muamalahnya.
Oleh karena itu, kita semua dan juga saya tentu menginsafi bahwa persepsi dan penafsiran yang kita peroleh dari berbagai sumber; baik langsung dari guru-guru maupun dari kitab-kitab referensi yang begitu banyaknya tentang makna salaf, mazhab, dan manhaj mereka, tentu tidak akan sama persis seratus persen, dan tidak juga pasti bisa diterima semua pihak. Selalu ada ruang dan celah menimbulkan pro-kontra. Sebagian pihak mungkin sepakat dan menerima hasil rumusan kita, sedang sebagian yang lain bisa jadi tidak setuju bahkan mungkin menentang dan membencinya. Begitulah memang kedudukan pendapat dan pandangan manusia, sebagaimana pernyataan Imam Malik rahimahullah, “Perkataan seseorang itu bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali perkataan penghuni kubur ini! (yaitu Nabi Saw)." [2]
Yang sangat disayangkan, beberapa dekade terakhir ini muncul fenomena di kalangan orang awam dan para pemuda penggiat ilmu agama yang dipelopori sekelompok ahli ilmu, yang sangat intensif mendakwahkan mazhab dan manhaj salaf menurut versi pemahaman dan tafsirannya sendiri, dan menjadikannya sebagai patokan kebenaran dalam menilai dan menghukumi pemahaman serta tafsiran dari para ahli ilmu di luar kelompoknya. Pemahaman dan tafsir mazhab serta manhaj salaf dari kelompok lain divonisnya sesat, atau syubhat, bahkan dituduh keluar dari manhaj salaf yang sebenarnya. Padahal, yang dipertentangkan itu bukan manhaj salafnya, melainkan “pemahaman tentang mahaj salaf” yang diklaim secara absolut oleh mereka.
Bagi masyarakat awam dan para pemula penuntut ilmu agama, tentu saja tidak mudah membedakan mana hakikat manhaj salaf dan mana “tafsiran tentang manhaj salaf” yang diklaim oleh masing-masing kelompok itu. Bagaimana tidak, jika memahami tafsir satu ayat Al-Qur'an dan Hadits saja bisa terjadi perbedaan di kalangan para pakarnya, apalagi untuk memahami dan menafsirkan tentang salaf, mazhab, dan manhaj mereka yang terdiri dari ratusan ribu ulama dari tiga generasi Islam yang mulia.
Memang tidak diketahui secara pasti sejak kapan persisnya dunia dakwah Islamiyah di seantero negeri muslim mulai diramaikan dengan polemik yang destruktif ini. Polemik tersebut terkadang sampai pada perdebatan keras hingga cela-mencela, tahdzir-mentahdzir, atau boikot-memboikot; antara satu orang alim kepada orang alim lainnya, dan satu komunitas muslim kepada komunitas lainnya, dengan membawa istilah “salaf” dan “bukan salaf” untuk memosisikan klaim kebenaran kelompoknya.
Di Indonesia, gejala semacam ini mulai muncul secara terbuka pasca tahun 1998, seiring dengan terbukanya keran kebebasan berpendapat dan berkumpul, sebagai perwujudan kemenangan gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang cukup otoriter dalam menghadapi kebebasan gerakan dakwah. Mulailah media massa kita dibanjiri polemik perebutan “tafsir salaf” dan “siapa yang paling salaf”. Periode-periode sebelumnya, polemik pasti terjadi tetapi tentu tidak dalam skala massif dan tidak di ruang publik dengan menggunakan persenjataan media massa dan media sosial.
Banyak peneliti yang berpendapat bahwa gerakan yang mengusung tema kembali kepada pemahaman salaf ini secara substantif dan geneologis berkesinambungan dari gerakan pemurnian sejak tokoh Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah abad ke-3 Hijriyah, yaitu Imam Ahmad bin Hambal yang menentang aliran-aliran teologi Rafidhah, Khawarij, Muktazilah, Jabriyah, dan sebagainya dengan hujjah dari sunah Nabi, perkataan para ulama generasi sahabat, tabi’in, dan tabiut-tâbi’in.
Kemudian muncul gerakan "menghidupkan atsar salaf”-nya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, lalu gerakan tajdidnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, dilanjut gerakan salafnya Syekh Muhammad Rasyid Ridha, hingga gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang dipelopori beberapa kalangan ulama dari Minangkabau, Sumatera yang dipelopori para murid Syekh Ahmad Chatib seperti: Abdul Karim Amrullah (ayah HAMKA), Muhammad Djamil Djambek, Ibrahim Musa, Abdullah Ahmad, Abdul Latif Syakur dan lain-lain. Lalu di Jawa melalui tokoh-tokoh ulama di antaranya Syekh Ahmad Syurkati, KH. Ahmad Dahlan, Tuan A. Hassan, dan cukup banyak pula yang lainnya. Intisari gerakan dakwahnya adalah bagaimana memahami ajaran Islam sedekat dan semurni mungkin sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Hanya saja pengikut salaf (salafy) pada periode belakangan ini, penekanannya berubah menjadi lebih kepada gerakan kembali kepada tradisi dan mazhab generasi salafnya daripada seruan kembali kepada manhaj Al-Qur'an dan sunnah. Dari situlah kemudian digaungkan klaim “manhaj salaf”, di mana kembali kepada pemahaman salaf lebih mengemuka dan lebih penting daripada kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah itu sendiri. Dengan alasan sederhananya bahwa kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah itu tidak menjamin keselamatan dan kebenaran berislam, sebab semua orang muslim dari mazhab manapun bahkan dari sekte yang sesat sekalipun, pasti akan mengklaim kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah; tetapi jika kembali itu tidak kepada pola pemahaman atau metode dan manhaj yang sama yang sudah dijamin kebenarannya, tentu tetap saja akan menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Padahal masalah yang sama juga bisa terjadi, jika kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah membutuhkan metode atau manhaj, maka memahami mazhab dan manhaj salaf secara benar juga pastinya membutuhkan metode dan manhaj penafsirannya yang akurat juga. Tidak cukup hanya dengan mengklaim mengikuti manhaj salaf. Faktanya tetap saja terjadi perbedaan bahkan perselisihan yang tajam di kalangan para pengklaim pengikut salaf itu sendiri, terutama dalam implementasi dari rumusan-rumusan kaidah manhaj tersebut pada tataran realitas nyata di tengah masyarakat.
Meski demikian, jika hal itu dipegang sebagai keyakinan dan pengamalan pribadi atau kelompok dengan tidak mentahdzir atau menafikan kesalafan kelompok lain, tidaklah menimbulkan masalah. Sebab seluruh mazhab pengikut ahlu sunnah wal jamaah mencintai dan mengikuti generasi salaf. Hanya tentu dengan kadar pemahaman dan pengamalan dengan derajat yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan ijtihad dan penerapannya pada masing-masing kelompok.
Namun, menjadi lain masalahnya ketika kemudian istilah “salaf, mazhab salaf, manhaj salaf” dipahami, ditafsirkan, dan diklaim sepihak oleh satu kelompok tertentu secara absolut dengan menafikan pemahaman dari luar kelompoknya. Manhaj salaf di sini telah menjadi semacam identitas khusus milik kelompok tertentu, yang jika tidak sesuai dengan mereka divonis bukan salaf. Sikap seperti ini tentu saja menjadi masalah bagi keharmonisan umat Islam dan bagi keagungan Islam itu sendiri. Kenapa demikian? Sebab secara umum rumusan manhaj salaf itu tiada lain adalah manhaj ahlus sunnah wal jamaah yang dijamin sebagai firqatun najiyah. Manhaj salaf adalah manhaj Al-Qur'an dan Hadits. Akhirnya bahwa manhaj salaf adalah manhaj Islam itu sendiri.
Dengan rumusan manhaj salaf seperti itu, maka ketika ia dijadikan identitas kelompok tententu dengan ciri-ciri penampilan tersendiri; pola perilaku, komunikasi, hingga mazhab beragama hasil interpretasi kelompoknya sendiri diklaim sebagai Islam itu sendiri; maka konsekwensinya, baik disadari atau tidak, disengaja atau tidak, sebagiannya atau semuanya, timbullah sikap arogan, kesombongan dan tinggi hati. Menganggap semua kelompok muslim yang berbeda paham dengannya atau yang tidak mengikuti doktrin pemahamannya tentang manhaj salaf dipandang sebagai kelompok yang tidak mengikuti Al-Qur'an dan Hadits, tidak bermanhaj Islam, sama artinya tidak lagi patut diakui sebagai muslim yang sebenarnya.
Kelompok lain dipukul rata sebagai sekte bid'ah, pengikut hawa nafsu, hizbiyah, dan sebagainya. Atau paling ringan dicap sebagai kelompok Syubhat, sekalipun kelompok yang dituduh syubhat oleh mereka itu bisa jadi para ulama yang sangat memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta mazhab para sahabat dan beramal di atas manhajnya. Mereka tetap saja akan dipandang rendah dan diperlakukan dengan tidak patut dengan cara dijauhi, tidak diakui kapasitas ilmunya, tidak boleh duduk pada majelisnya, dan perlakuan-perlakuan yang tidak mencerminkan akhlak generasi salaf yang sesungguhnya.
Atas dasar fenomena yang berkembang seperti itu, pantaslah jika Syekh Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullah, salah seorang ulama kontemporer bermanhaj salaf yang sangat dibanggakan oleh banyak kalangan muslim, memberikan statemen yang keras kepada kelompok yang mengaku para pengikut salaf tapi berperilaku seperti itu. Dalam salah satu dokumen rekaman tanya jawab tentang makna salafiyah dan hukum menisbatkan diri kepada mazhab salaf, beliau menjawab dengan lugas:
“Salafisme ialah mengikuti manhaj Nabi saw. dan para sahabatnya, karena mereka adalah para pendahulu yang mendahului kita. Maka para pengikut mereka itulah salafiyah. Adapun menjadikan salafisme sebagai suatu manhaj khusus yang menyendiri dengannya manusia, dan menyesatkan kaum muslimim yang berbeda dengan mereka meskipun mereka juga di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa ini bertentangan dengan faham salafiyah (yang sebenarnya).
Kaum salaf semuanya menyeru kepada Islam dan bersatu padu di sekeliling sunah Rasulullah saw. Mereka tidak menyesatkan orang lain yang berbeda karena perbedaan penakwilan, kecuali pada masalah akidah karena mereka berpendapat bahwa orang yang menyelisihi mereka dalam akidah adalah sesat.
Tetapi sebagian dari mereka yang menganut salafisme di zaman kita menjadi menyesatkan setiap orang yang tidak sependapat dengannya meskipun kebenaran itu bersamanya. Seperti halnya sekte-sekte lain yang menisbatkan diri kepada Islam. Maka hal seperti ini yang mesti diingkari dan tidak mungkin diterima. Dan perlu dikatakan: ‘Lihatlah mazhab salaf yang shalih, apa yang mereka lakukan dalam metode mereka dan dalam keterbukaan mereka ketika menyikapi perselisihan yang diperkenankan berijtihad padanya!’
Sampai-sampai mereka (para salaf generasi shahabat dan tabi’in) berbeda dalam masalah besar: yaitu dalam masalah-masalah aqidah, dan dalam masalah ilmiah. Maka kamu akan menemukan beberapa dari mereka -misalnya- menyangkal bahwa Rasul pernah melihat Allah, sementara yang lainnya berpendapat Rasul melihat Allah; sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang ditimbang pada hari kiamat adalah amal-amal sedang yang lain berpendapat bahwa yang ditimbang adalah kitab catatan amalnya.
Kamu juga akan melihat dalam masalah fikih, mereka (salafushalih) berbeda pendapat dalam masalah pernikahan, hukum faraidh, masalah iddah, jual beli, dan yang lainnya. Namun meskipun demikian mereka tidak saling menyesatkan satu sama lain.
Salafisme dalam pengertian sebagai hizb khusus (partai/sekte/kelompok tersendiri) yang memiliki keistimewaan dan para individunya menyesatkan orang-orang yang di luar kelompoknya, maka mereka sama sekali bukan pengikut manhaj salaf.
Adapun salafisme (yang sebenarnya) yaitu yang mengikuti manhaj salaf dalam masalah aqidah, perkataan dan perbuatan mereka, dalam hal perbedaan dan kesepakatan mereka, dalam hal berkasihsayang dan saling mencintainya seperti yang disabdakan Nabi, 'Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berempati, laksana satu seperti tubuh. Jika ada satu anggota yang sakit maka semua tubuhnya ikut merasakan dengan merasa demam dan tidak bisa tidur.' Maka seperti itulah salafisme yang sejati.” [3]
Sengaja saya terjemahkan kutipan pernyataan dari jawaban Syekh Muhammad Shalih Bin Utsaimin secara lengkap, demikian juga teks aslinya yang disadur dari rekaman audionya dari situs resmi, agar kita dapat memahaminya secara utuh dan tidak sepenggal-sepenggal. Dengan demikian, kemuliaan salaf saleh dari generasi sahabat, tabiin, dan atbaut tabi’in tidak menjadi ternistakan oleh sikap dan ulah kita sendiri yang mengklaim sebagai para pengikutnya tetapi tidak mencerminkan kemuliaan perilaku mereka yang kita ikuti. Wallahu A’lam bishawab.
Bersambung.
Bekasi, 15 Syawal 1442 H
DR. J. Zaenudin Abu Himam
(DH)
[1] Keterangan secara rinci tentang dalil-dalil Quran dan Hadits tentang “Salaf” insya Allah disajikan pada tulisan berikutnya.
[2] Pernyataan aselinya dari perkataan Al Imam Malik yang sangat Masyhur
: كل يُؤخذ من كلامه ويُرد إلا صاحب هذا القبر
[3] Naskah bahsa Arabnya Fatwa Syekh Al Utsaimin di atas dapat diakses dengan mudah baik di Youtube ataupun situs resminya: https://binothaimeen.net/content/8970 . Atau disalinan transkripnya :
لقاءات الباب المفتوح " السؤال رقم 1322 http://www.saaid.net/Doat/ehsan/122-2.htm