Sikap dan Aksi Para Aktivis Islam Indonesia terhadap Penjajahan Baitul Maqdis (2)

oleh Reporter

22 Mei 2021 | 06:07

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Ketua HMK PP PERSIS)

Baca tulisan sebelumnya klik disini. Untuk menelusuri bagaimana sikap para aktivis Islam di Indonesia terhadap masalah Baitul-Maqdis, penulis menggunakan sumber-sumber terpublikasi dalam bentuk koran dan majalah. Secara umum, di dalam beberapa terbitan majalah, masalah-masalah Baitul Maqdis sering dimunculkan sebagai salah satu bahasan rubrik internasional. Majalah yang penulis akses berasal dari majalah kalangan nasionalis dan Islam. Masing-masing menunjukkan cara pandanganya sendiri sesuai dengan ideologi yang dianutnya masing-masing. Kalangan Islam, melihat masalah Baitul-Maqdis ini sebagai penjajahan atas umat Islam; akan tetapi kalangan nasionalis-sekuler melihatnya hanya sebagai konflik agama belaka antara Islam dan Yahudi memperebutkan tempat ibadah di komplek Masjidil-Aqsha.

Sikap umat Islam Indonesia terhadap masalah Baitul-Maqdis ini memuncak setelah terjadinya perlawanan besar yang dilancarkan rakyat Baitul-Maqdis pada tahun 1936 yang mengundang perhatian dunia.[1] Perang-perang serupa sudah pernah terjadi sebelumnya, akan tetapi dalam skala yang lebih kecil dari perang tahun 1936 ini. Perang 1936 ini sendiri kemudian memberikan legitimasi kepada Ingris untuk membagi-bagi kawasan Palestina menjadi tiga bagian, yaitu: kawasan untuk Yahudi (Israel), Jordania, dan kawasan untuk rakyat Baitul-Maqdis (Palestina).

Respon sangat keras umat Islam Indonesia langsung datang dari para aktivis gerakan Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahadhatul-Ulama, Al-Irsyad, Persatuan Islam, dan lainnya yang sebelumnya telah mendeklarasikan berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1935, sebuah konfederasi berbagai organisasi gerakan Islam. Mereka membentuk suatu komite khusus sebagai tanda kepedulian yang sangat serius terhadap masalah-masalah Baitul-Maqdis. Komite ini diketuai oleh Wondoamiseno dari Sarekat Islam dengan nama Comite Palestina.

Peresmian Comite Palestina ini dilaksanakan dalam satu acara Rapat Akbar umat Islam di Gedung Al-Irsyad Surabaya pada tanggal 5 Juli 1937. Hadir dalam acara tersebut lebih kurang 2000 peserta. Terdapat 33 orang utusan perhimpunan dan 13 orang wartawan dari berbagai media. Dalam acara tersebut tampil tokoh-tokoh penting pergerakan Islam sebagai pembicara. Sebagai ketua komite, Wondoamiseno tampil membuka acara dengan menyampaikan pentingnya persaudaraan antar-sesama umat Islam sedunia dan pentingnya menolak rencana pembagian wilayah-wilayah Palestina oleh Inggris.

Pembicara berikutnya tampil K.H. Mas Mansur, Ketua Umum PB Muhammadiyah. Ia menyampaikan tentang kedudukan Baitul-Maqdis dan Masjidil-Aqsha bagi kaum Muslimin. Orasi kemudian dilanjutkan oleh Umar Hubeis, Ketua Umum Al-Irsyad, yang menyampaikan pidato dalam bahasa Arab dan Indonesia. Terkahir K.H. Abdul Qahhar Muzdakkir yang saat itu merupakan Ketua Komisi Luar Negeri Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) menyampaikan pidato yang cukup menarik perhatian hadirin.

Acara digelar dengan sangat baik dan rapi sehingga mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari hadirin. Pada akhir acara Ketua Komite Palestina membacakan mosi (petisi) yang berisi penolakan atas rencana Inggris yang akan membagi Palestina menjadi tiga bagian. Petisi ini sendiri sebelumnya sudah dikirimkan langsung ke sekretariat Liga Bangsa-Bangsa di Genewa Swiss, kepada Mufti Palestina, dan ke sekretariat Kongres Islam di Damaskus lewat telegram. Berikut isi petisi tersebut.

Muslems Sourabaya 33 organizations hold great meeting for Palestinian problem hoping mandates comission refuse deviding Palestine.

Palestinian Comittee

WONDOAMISENO

Sourabaya

 

  1. Mu’tamar Islamy Albaroudy Damascus
  2. Grand Mufti Yerussalem[2]

 

Bila kita merujuk pada berita ini, kita dapat melihat bahwa perhatian terhadap masalah Baitul-Maqdis di Indonesia sejak awal sudah menjadi urusan elit pemimpin Indonesia; paling tidak elit pemimpin Muslim. Respon terhadap masalah Baitul-Maqdis bukan digerakkan oleh para aktivis biasa, melainkan ketua-ketua pergerakan Islam yang besar-besar dan cukup berpengaruh di Indonesia. Ketua Komite Palestina ini adalah pengurus pusat Partai Sarekat Islam. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1947, ia memimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun ini pula ia menduduki jabatan Menteri Dalam Negeri; kemudian naik jabatan menjadi Wakil Perdana Menteri. Tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat di dalam Komite Palestina inipun merupakan tokoh-tokoh elit di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Karena yang ikut terjun adalah aktivis-aktivis penting, maka ketika membuat petisi, langsung disampaikan ke pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengatasi masalah ini. Petisi disampaikan langsung ke Liga Bangsa-Bangsa yang diharapkan dapat mengambil tindakan yang adil terhadap hak-hak rakyat Baitul-Maqdis dengan mengurungkan peretujuan kepada Inggris yang akan membagi-bagi Palestina menjadi beberapa kawasan. Surat kawat (telegram) ini juga ditembuskan kepada pemimpin pergerakan Islam di Baitul Maqdis (Islmic-Jerussalem) Mufti Amin Al-Husaini untuk menunjukkan bahwa Indonesia bersama mereka dan Kongres Islam untuk memperlihatkan bagaimana sikap umat Islam di Indonesia. Ini suatu tindakan diplomatik yang sangat penting dalam masalah Baitul Maqdis.

Bila melihat isi petisi yang disampaikan yang menggunakan kekuatan “umat Islam yang diwakili 33 gerakan Islam”, secara tidak langsung petisi menunjukkan bahwa alasan pokok pembelaan kaum Muslim Indonesia terhadap Baitul-Maqdis adalah masalah agama. Artinya kepedulian umat Islam terhadap Baitul-Maqdis merupakan bagian dari keyakinan umat Islam bahwa Baitul-Maqdis adalah milik umat Islam sedunia, bukan milik orang Palestina atau orang Arab semata-mata. Sebab, di sanalah terletak Masjidil-Aqsha, masjid milik kaum Muslimin seluruh dunia seperti halnya Masjidil-Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Apakah setelah aksi ini gerakan-gerakan pembelaan terhadap Baitul-Maqdis cukup sampai di sana? Rupanya tidak. Para aktivis Islam dari berbagai gerakan kemudian banyak yang secara khusus meyelenggarakan kegiatan serupa di atas untuk mengingatkan umat Islam agar peduli kepada Baitul-Maqdis. Salah satu wujud kepedulian umat Islam adalah dengan membantu secara finansial perjuangan umat Islam di Baitul-Maqdis melawan Zionis-Yahudi yang disokong sepenuhnya oleh Inggris. Pada berita yang dilansir oleh Al-Lisaan di atas tidak diceritakan ada penggalangan dana. Namun, pada koran lain yang terbit di Jawa Barat, yaitu Berita Priangan  dikutip berita singkat sebagai berikut.

 

H. Otjoh dalam perajaan Mi’radj di sebuah madrasah di kampung Station Tjitjalengka mengajak hadirin untuk berderma bagi Palestina. Karena itu tanpa izin, ia kemudian berurusan dengan polisi.[3]

 

Berdasarkan berita ini, saat itu umat Islam pun sudah memikirkan membantu perjuangan saudara-saudara mereka di Baitul Maqdis. Hanya saja, penulis belum mendapatkan informasi bagaimana dana-dana yang dikumpulkan saat itu bisa sampai ke para aktivis di Baitul-Maqdis. Akan tetapi, kalau melihat perhatian Mufti Baitul-Maqdis Amin Al-Husaini terhadap Indonesia pada saat awal kemerdekaan Indonesia, kemungkinan besar dukungan dan partisipasi umat Islam Indonesia sampai juga ke sana.

Bila yang diberitakan dalam majalah Al-Lisan terlihat lebih menonjolkan peran gerakan Islam yang tergolong modernis, maka sumber berikutnya akan menunjukkan bahwa di kalangan tradisionalis yang diwakili oleh Nahdhatul Ulama (NU) pun sikap terhadap masalah Baitul-Maqdis adalah sama. NU melihat bahwa apa yang dilakukan oleh umat Islam di Baitul-Maqdis merupakan perjuangan melawan penjajahan yang patut didukung oleh umat Islam seluruh dunia termasuk Indonesia. Perjuangan rakyat Palestina bahkan dijadikan sebagai teladan dan ruh perjuangan bagi umat Islam di Indonesia yang juga sedang sama-sama menghadapi penjajahan bangsa asing Belanda. Dikatakan dalam Berita Nahdlatul-Oelama (BNO) sebagai berikut.

Orang mengatakan bahwa Oem. Islam sekarang sudah roesak lahir bathinnja, soenggoehpoen oetjapan iteo ada djoega benarnja, bilamana kita bertjermin pada riwajat dan tarichnja oemat Islam bahari, aken tetapi perdjoangan Oem. Islam Falasthina, memberikan pengertian dan pengharepan pada kita, bahwa Oem. Islam sesoenggoehnya tiada mati, roeh Islam sesoenggoehnja masih besar fi’ilnya.

Oem. Islam Falasthina, soedah hampir seperempat abad melawan Inggris, seboeah keradjaan jg. maha besar diatas doenia ini. Seperempat abad Oem. Islam itoe berdjoeang, kadang-kadang berhenti sebentar sekadar mengasoeh dan menghimpoenkan kekuatannja poela jg. loempoeh beradu dengan besi dan api....[4]

 

Dalam tulisan redaksi BNO di atas tersirat bahwa masalah Baitul-Maqdis menjadi perhatian disebabkan karena mereka adalah umat Islam. Persaudaraan seiman inilah yang menyebabkan nasib rakyat Baitul-Maqdis harus diperhatikan. Karena alasan inilah kemudian BNO menganjurkan supaya umat Islam di Indonesia ikut membantu perjuangan mereka, terutama dengan dana. BNO sekaligus mengumumkan bahwa Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) Nahdhatoel Oelama siap menerima titipan bantuan dari kaum Muslimin di Indonesia untuk diteruskan kepada para pejuang di Baitul-Maqdis.

Kesengsaraan mereka soenggoeh wadjib mendapet perhatiannja Oem. Islam seloeroeh doenia, Oem. Islam wadjib menoeloeng saudaranja jang ditimpah malapetaka. Bintjana jang maha heibat itoe (para djanda, jatim).

Disini ada baiknja kami terangkan, bahwa Hoofbestuur N.O. bersedia aken menjampaiken dermanja siapapeon, kepada Oem. Islam Falasthiena, dan bersedia pula akan mengoeroeskannja.[5]

 

Dalam keterangan di atas, jelas kalangan tradisionalis pun sikapnya sama seperti kalangan modernis yang menganggap masalah di Baitul-Maqdis ini adalah masalah umat Islam seluruh dunia. Alasan pertama karena sesama Muslim adalah saudara. Alasan kedua karena di Baitul Maqdis ini terdapat kiblat pertama umat Islam, yaitu Masjidil-Aqsha. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila para aktivis gerakan Islam terkemuka di Indonesia sama-sama berlomba-lomba memberikan perhatian terhadap nasib dan pejuangan umat Islam di Baitul-Maqdis, baik dengan menyatakan sikap kepada pihak-pihak yang berkompeten maupun menggalang dana untuk disampaikan kepada saudara mereka di Baitul Maqdis.

Bila para aktivis Islam di Indonesia melihat masalah di Baitul-Maqdis adalah penjajahan, lain halnya dengan kalangan sekuler. Pada umumnya mereka tidak memberikan perhatian sebagaimana para aktivis Islam. Walaupun mereka tidak menyetujui perang yang terjadi di kawasan tersebut, akan tetapi dalam pemahaman mereka perang ini bukan sebagai penjajahan sebagaimana terjadi di Indonesia. Mereka melihatnya hanya semata-mata sebagai konflik antara kaum Muslim dengan Yahudi karena memperebutkan tempat ibadah yang sama-sama berada di kompleks Masjidil-Aqsha. Bahkan disebutkan bahwa konflik ini adalah konflik antar-saudara, bukan suatu penindasan yang zhalim.

Dalam sebuah koran berhaluan sekuler Pandji Peostaka, misalnya, disebutkan mengenai sebab-sebab terjadinya perang di Palestina sebagai berikut.

Sampai kini keriboetan di Palestina itoe roepanja beloem lagi padam benar....Apa gerangan sebabnja? Kalau orang boeka tambo Palestina, njatalah bahwa sedjak dahoeloe Palestina itu ta’ poetoes diroendoeng bahaja, oleh peperangan, oleh gempa boemi dll. Akan tetapi sekarang ini lebih memiloekan lagi, sebab pendeodoek negeri mengangkat sendjata tidak memerangi pihak lain, melainkan berperang-perangan antara sendirinja, antara saudara dan saudara.

Apakah gerangan awal moelanja? Perkara agama! Pembatja ma’loem bahwa Palestina itu ada dua roepa pendoedoeknja, Arab dan Jahoedi, jang berlain-lainan agamanja. Iboe negeri Palestina itu Jeruzalem namanja. Disitoe ada tempat jang dipandang soetji oleh keduanja; ja’ni Masdjid Al-Aksa, jang masjhur itoe, dipandang soetji oleh pendoedoek Arab-Islam; dan disisi mesdjid itoe ada tempat jang disebut “tembok ratap” jang ta’ koerang masjhoernja, dipandang soetji oleh pihak Jahoedi.

Pemimpin pendoedoek Jahoedi ingin leloeasa tida tergangoe-ganggoe, mendjalankan agamanja ditembok ratap itoe. Oleh sebab itoe, ia minta kepada pembesar Inggris supaja diadakan peratoeran boeat mengawasi tembok ratap itoe dengan gedoeng-gedoeng jang berbatasan dengan dia.

Perboeatan ini oleh pemimpin Arab dirasa berlebih-lebihan dan meroegikan pihaknja. Karena ternjata pihak Arab salah paham, maka oleh pemoeka Jahoedi segera diterangkan, bahwa ia hanja ingin leloeasa mendjalankan agamanja sadja, sebagai telah berlakoe berabad-abad lamanja....[6]

Sejak awal hingga akhir tulisan ini mengarahkan pembaca untuk melihat konflik di Baitul-Maqdis sebagai konflik internal antar-penduduk Palestina yang beragama Islam dan Yahudi. Tulisan ini terasa sekali mengarahkan pembaca untuk tidak melihat akar masalah pencaplokan Inggris terhadap kawasan ini dan setlement Yahudi secara paksa. Bahkan data-data yang diturunkan pun banyak yang tidak valid seperti keterangan bahwa tembok ratapan sudah digunakan orang Yahudi selama berabad-abad. Ini jelas fakta menyesatkan, karena tembok ini baru dibuat oleh orang Yahudi ketika Inggris berkuasa di kawasan ini. Selain itu, banyak pula fakta-fakta lain yang dipaksa-paksakan seolah-olah memang akar masalahnya semata-mata masalah kesalahpahaman masalah tempat ibadah.

Kutipan dari Pandji Poestaka di atas sebetulnya mewakili pandangan umumnya kalangan sekuler dan non-Islam terhadap masalah Baitul-Maqdis. Mereka berusaha untuk tidak mengaitkannya dengan masalah kemanusiaan, penjajahan, dan semisalnya agar mereka tidak harus ikut berpartisipasi dalam konflik ini sekalipun kadang-kadang mereka beragama Islam. Konflik ini direduksi menjadi konflik sektarian yang tidak perlu terlalu diributkan, walaupun faktanya hak-hak penduduk Baitul-Maqdis dirampas tanpa rasa kemanusiaan oleh penjajah Yahudi yang dibeking sepenuhnya oleh Inggris. Beruntung pandangan ini nantinya tidak menjadi kebijakan politik luar negeri Indonesia setelah merdeka terhadap masalah di Baitul-Maqdis. Sebab, pada awal Republik ini berdiri, yang banyak menentukan kebijakan luar negeri Indonesia adalah para pemimpin dari kalangan Islam yang sikapnya sangat tegas dalam membela hak-hak warga Baitul-Maqdis.

Kebijakan luar negeri Indonesia berkait masalah Palestina hingga saat ini masih menunjukkan semangat yang sama seperti pada awal mulanya sebelum Indonesia merdeka. Negara Republik Indonesia secara resmi menolak hubungan diplomatik dengan Israel sebagai isyarat bahwa Indonesia tidak mau mengakui keberadaan Israel dan menganggapnya sebagai negara penjajah ilegal yang merampas hak warga Baitul-Maqdis. Untuk menguatkan sikap ini, sebaliknya Indonesia mengizinkan Palestina membuka kedutaannya di Jakarta. Walaupun hubungan diplomatik langsung Indonesia-Palestina belum bisa memberikan kontribusi berarti bagi kemajuan kemerdekaan Baitul-Maqdis dari Israel, namun hal ini telah menunjukkan pada posisi mana Indonesia berada. Indonesia berada di pihak rakyat Palestina. Terkahir dalam pertemuan pemimpin dunia di Bali tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mengagendakan pembahasan masalah Palestina dan menyampaikan dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina.[7]

Sikap seperti ini bila ditarik akarnya ke belakang merupakan kelanjutan dari sikap para aktivis dan pemimpin Islam di Indonesia sejak paruh pertama abad ke-20. Para pemimpin dan aktivis Islam sejak awal mengecam tindakan Inggris dan Yahudi di kawasan Baitul-Maqdis. Tindakan itu dikategorikan sebagai bentuk penjajahan (kolonialisme). Semangat perlawanan terhadap kolonialisme inilah yang menjadikan para pemimpin Indonesia tidak ragu untuk turut membela perjuangan rakyat Palestina. Mereka mewujudkan dukungannya ini dengan berbagai cara. Pertama, para aktivis dan pemimpin Indonesia ini berusaha terus menyampaikan kepada masyarakat Indonesia tentang kondisi rakyat Palestina yang terjajah, baik melalui rapat-rapat akbar, pengajian-pengaian, maupun melalui media masa. Kedua, para aktivis ini melalui organisasinya masing-masing berusaha mengumpulkan bantuan dana untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Walaupun ada saja dari kalangan sekuler yang menganggap masalah di Baitul-Maqdis ini sebagai konflik antar-penduduk Palestina Arab dan Yahudi yang tidak ada sangkut pautnya dengan rakyat Indonesia, namun pandangan ini tidak memengaruhi kebijakan resmi pemerintah yang tetap ikut memberikan perhatian terhadap masalah Palestina ini hingga saat ini.

Salah satu bentuk perhatian serius pemerintah terlihat saat digelar Muktamar Internasional tentang Baitul Maqdis yang pertama pada tahun 1953 di Baitul-Maqdis (Jerussalem).[8] Pemerintah Indonesia secara resmi mengutus menteri luar negerinya saat itu, yaitu Ahmad Subardjo, bersama dengan Sirajuddin Abbas, M. Rasjidi, dan Abdul Mukti Ali.[9] Dalam Muktamar ini Indonesia menyetujui dibuat Majelis Umum Muktamar yang akan berkumpul di Baitul Maqdis setiap enam bulan untuk mengevaluasi pencapaian muktamar. Dari Indonesia diusulkan dua nama tokoh yang sangat penting, yaitu Mohammad Nasir (mantan Perdana Menteri Indonesia) dan Ahmad Dahlan (menteri agama saat itu).[10]

Walaupun dalam perkembangannya kalangan aktivis Islam setelah tahun 1960-an semakin dipinggirkan peran politiknya di Indonesia, namun konstitusi Indonesia yang secara tegas menolak segala bentuk penjajahan di seluruh dunia telah memaksa kebijakan politik luar negeri Indonesia untuk mengutuk penjajahan Israel terhadap Baitul-Maqdis. Ini merupakan sikap dan kebijakan dasar negara, walupun pelaksanaannya naik turun bergantung kepada siapa yang berkuasa di negeri ini. Penguasa yang dekat dengan kalangan aktivis Islam akan memberikan perhatian lebih besar dibandingkan penguasa-penguasa yang sekuler. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwab

 

[1] Abdul Fattah Al-Awaisi secara khusus melalukan kajian terhadap perang ini dalam salah satu publikasinya Idhrâb Filistîn ‘Âm 1936; Dirâsah fi Al-Asbâb (Hebron: Dâr Al-Hasan, 1992).

[2] Berita pembentukan Komite Palestina dan Rapat Akbar di Gedung Al-Irsyad Surabaya ini diperoleh dari laporan majalah Al-Lisaan, 20 Juli 1937; majalah ini sendiri merupakan terbitan berkala dari perkumpulan Persatuan Islam yang berpusat di Bandung.

[3] Berita Priangan No. 214; Jumat, 22 September 1939

[4] Berita Nahdlatoel-‘Oelama; No. 21, 6 Redjeb 1357/1 September 1938; hal. 1

[5] Ibid. hal. 1

[6] Pandji Peostaka; No. 81, 1 Oktober 1929.

[7] http://www.viva.co.id/berita/dunia/532885-di-bali-sekjen-pbb-dan-sby-bahas-masalah-israel-palestina

[8] Informasi mengenai Muktamar ini secara detail telah diteliti oleh Abdul Fattah Al-Awaisi dan dipublikasikan pada tahun 1989 di Baitul-Maqdis dengan judul Al-Mu’tamar Al-Islâmy Al-‘Âm Baitul Maqdis 1953 wa 1962. Buku ini dituliskan oleh Al-Awaisi untuk membuktikan bahwa masalah Baitul-Maqdis ini sejak awal meupakan masalah umat Islam seluruh dunia.

[9] Abdul Fatah Al-Awaisi. Al-Mu’tamar Al-Islâmy Al-‘Âm Baitul Maqdis 1953 wa 1962. (Baitul-Maqdis, 1989) hal. 51

[10] Ibid. hal. 70; di Indonesia terdapat nama Ahmad Dahlan yang masyhur sebagai pendiri Muhammadiyah, namun beliau sudah meninggal tahun 1923. Ahmad Dahlan yang dimaksud di atas adalah tokoh Nahdhatul Ulama yang sempat menjadi menteri agama pada era Presiden Sukarno.

Reporter: Reporter Editor: admin