Waspadai Sekularisasi Pendidikan

oleh Reporter

04 Mei 2020 | 17:26

Oleh: Arman Nurhakim Maulana - Ketua Ikatan Pelajar PP Persis
Pahlawan yang memperjuangkan pendidikan nasional yaitu Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada Tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berasal dari keturunan keraton Yogyakarta.
Pada saat Kabinet pertama Republik Indonesia, Beliau diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan mendapat anugerah gelar Doktor kehormatan Doctor Honoris Causa, Dr. (H.C)  dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Tahun 1957.
Salah satu Filosofi dan hasil karya Beliau seperti kutipan kalimat “Tut Wuri Hadayani” yang memiliki arti “di Belakang Memberikan Dorongan” makna dari kalimat ini dijadikan motto dan slogan pendidikan serta menjadi landasan dalam rangka memajukan pendidikan di tanah air.
Beliau wafat pada usia 70 tahun pada Tanggal 26 April 1959, berkat usaha kerja keras dan jasanya dalam rangka merintis pendidikan di tanah air, Beliau dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia atas dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959 pada Tanggal 28 November 1959, dan hari kelahiran Beliau ditetapkan dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Pada hari sabtu tanggal 02 Mei 2020 bersamaan dengan situasi dan kondisi yang tidak baik-baik saja karena wabah virus covid19 ini adalah hari dimana bertepatan dengan lahir nya tokoh pendidikan sekaligus pahlawan Indonesia, yakni Ki Hajar Dewantara ( 02 Mei 1889).
Yang mana kemudian bagi bangsa Indonesia itu tersendiri, dijadikanlah hari pahlawan (melalui kebijakan pemerintah), dengan ditandakan dalam kalender itu sebagai tanggal merah, artinya adalah bukan untuk diliburkannya sekolah atau belajar, namun untuk mempringati hari pendidikan nasional sekaligus hari dimana tokoh tersebut dilahirkan.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa Indonesia untuk kemudian di rayakan-di peringati, dan perayaan itu biasanya dengan cara apel akbar atau dengan melaksanakan upacara. Atau mungkin pada situasi dan kondisi hari ini ruang dan gerak yang begitu terbatas, semangat bangsa Indonesia tetap hadir untuk memperingati, dengan bagaimana kreatifitas bangsa Indonesia melalui berbagai cara untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional ini.
Tak salah jika kemudian hal itu dilaksanakan, dengan dasar agar bangsa Indonesia kemudian muncul keasadaran terhadap pentingnya Pendidikan, dan dengan catatan tidak menyalahi batasan dari norma-norma agama/keyakinan (tidak dikaitkan dengan unsur aqidah atau bercampur dengan hal-hal syirik/Iltibas).
Menurut ahli psikologi, nostalgia adalah kecenderungan alami manusia. Hepper, juga Clay Routledge (profesor psikologi di North Dakota State University), mengatakan rata-rata orang bernostalgia sekali dalam seminggu. Nostalgia ini bisa dipicu oleh berbagai hal: aroma, wangi, lagu, makanan, hingga foto. 
Marcel Proust, sastrawan besar Prancis, membuat istilah involuntary memory dalam novelnya yang terkenal  À la Recherche du Temps Perdu (In Search of Lost Time, atau Remembrance of Things Past). Orang-orang menerjemahkan involuntary memory dengan istilah: kenangan. Ia tak serta merta muncul, melainkan hadir karena pemicu khusus. 
Berbicara pendidikan rasanya tak akan habis pembahasan, dengan karena begitu banyaknya literatur atau khazanah seputar pendidikan, mau itu pendidikan yang berkaitan dengan barat, atau pendidikan yang berkaitan dengan Islam/timur tengah.
Tak terkecuali dengan negara Indonesia, bagaimana kemudian dalam bidang pendidikan mempunya cita-cita dan tujuan khusus yang hendak ingin dicapai, bisa kita lihat dan perhatikan apa yang termaktub didalam UUD 1945.
"Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Tujuan yang sarat akan makna/filosofis, tak lepas dari nilai-nilai spirtualitas dan agama. Juga untuk kepentingan duniawi dalam rangka menbentuk manusia yang dapat mengatur dan mengelola bumi ini dengan baik, yangb sesuai dengan perintah Allah Swt.
Mungkin juga kita perlu mengetahui apa yang di visikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pemerintahan sekarang, yakni Pak Nadiem Makarim. Penulis mencoba mengutip apa yang dilansir dalam berita nasional.tempo hari rabu, 06 november 2019, dengan menyebutkan 5 visi dibidang pendidikan, ulasannya sebagai berikut.
Pertama, Nadiem memaparkan visi dan misi dalam aspek pendidikan karakter. Nadiem menjelaskan, akar permasalahan itu muncul bersamaan dengan besarnya peran teknologi dan informasi.
Menurut dia, jika SDM tidak memiliki karakter yang kuat, maka akan tergerus dengan informasi yang tidak benar. "Sehingga ini bisa memojokkan pemikiran. Setiap pemuda, kita harus berpikir independen," kata Nadiem dalam Rapat Kerja Perdana Mendikbud dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen pada Rabu, 6 November 2019 .
Kedua, aspek deregulasi dan debirokratisasi. Nadiem mengatakan banyak guru dan dosen yang mengeluhkan beban administratif dan berdampak pada kegiatan belajar mengajar.
"Sering dibilang hal yang tidak ada hubungannya bagi murid. Banyak dari pemerintahan yang ingin meningkatkan mutu, ada aturan tapi apakah itu semua diperlukan atau berguna untuk pembelajaran murid?" kata Nadiem.
Nadiem mengatakan, perubahan yang dikehendaki Presiden Jokowi itu masih perlu melalui berbagai macam kajian. "Dia menginginkan penyederhanaan, jumlah buku dan konten sangat banyak dan pertanyaannya, apakah banyak ya konten? Atau pembelajaran kompentensi yang terpenting?" katanya.
Ketiga, aspek peningkatan investasi dan inovasi. Nadiem mengatakan, investasi memiliki dependensi dengan kualitas SDM. Menurut dia, banyak pelajaran, keterampilan serta kompetensi dalam pendidikan Indonesia yang tidak dibutuhkan di dunia pekerjaan, industri dan kewirausahaan.
"Kita harus menciptakan lingkungan pola pembelajaran dimana soft skill tadi yang paling banyak dibutuhkan dan harus dilatih. Bukan konten yang penting tapi bagaimana caranya," kata Nadiem.
Keempat, dalam aspek penciptaan lapangan kerja. Nadiem menyampaikan bahwa Kemendikbud harus menciptakan institusi yang tidak hanya menciptakan tenaga kerja, tapi juga yang bisa menciptakan lapangan kerja dan wirausahawan.
"Jadi aspek kreativitas dan enterpreneurship ini nyambung. Kreativitas dan seni itu adalah jiwa enterprenership. Apapun yang ingin kita ciptakan itu harus dilatih dari kecil," lanjut Nadiem
Kelima, dalam aspek pemberdayaan teknologi. Dia mengatakan saat ini banyak persepsi yang salah mengenai teknologi dan pendidikan. Apalagi ada yang menyebut pemilihan Nadiem sebagai Mendikbud akan mengganti semua sistem dengan aplikasi. "Saya cukup lucu dengan itu," katanya.
Nadiem menjelaskan, pendidikan adalah apa yang terjadi dalam dua ruang, yaitu di kelas murid dan guru, serta di rumah orang tua dan anak.
"Itu kuncinya. Teknologi tidak akan mungkin bisa menggantikan koneksi itu. Karena pemberlajaran terbaik itu adanya koneksi batin kuat dan bisa timbul rasa percaya," ujar Nadiem.
Begitulah ulasan apa yang disampaikan oleh Pak Nadiem Makarim selaku Kepala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang divisikan dalam bidang pendidikan, mudah-mudahan i'tikad baik beliau dapat trealisasikan dengan baik sesuai ekspetasi yang diharapkan.
Dari tujuan yang termaktub salam UUD 1945 dan visi pendidikan yang dibawakan oleh Pak Nadiem, kiranya perlu menjadi perhatian lebih, mustahil itu semua akan tercipta jika kemudian tidak didorong dan di support, atau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pemerintah jangan sampai lengah akan proses yang sedang ditempuh ini, apalagi sampai kecolongan, yang akhirnya yang mendidik itu bukanlah mereka yang diberikan tanggung jawab, tapi malah mereka yang tidak mempunyai rasa tanggung jawab, oknum-oknum yang mempunyai kepentingan pribadi, atau bahkan mereka yang ingin merusak tatanan pendidikan di Negri ini.
Kiranya kita patut memperhatikan secara global bagaimana problematika yang hadir dalam dunia pendidikan, seperti yang di angkat oleh penulis dalam tema ini, yakni mengenai sekularisasi pendidikan. 
Mungkin hal itu menjadi salah satu bagian dari keselurahan problematika yang ada dalam dunia pendidikan, mengenai sekularisasi pendidikan ini penulis mencoba menyampaikan ulasan secara singkat apa yang di bahas dalam buku "Paradigma Pendidikan Islam, Analisis Historis, Kebijakan, dan Keilmuan" karangan Prof. Dr. Faisal Ismail, MA. 
Berbicara sekularisasi apabila mengacu pada definisi Harvey Cox dalam karyanya yang terkenal, "The Secular City", Harvey Cox mengatakan:
Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds towards this one, (Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, yakni pengalihan perhatian manusia dari kehidupan ukhrawi kepada kehidupan duniawibsekarang).
Istilah sekularisasi berasal dari kata latin "secculum" yang berarti satu zaman (an age), satu abad atau lebih sedikit. Sekularisasi tidak bisa difahami dan tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah gereja dan Barat. Segala persoalan sekularisasi adalah dalam konteks kebudayaan barat atau "Christendom" (Alam Kristen), dan terjadinya adalah pada Abad Pertengahan.
Dari rentetan pristiwa yang terjadi dalam catatan sejarah mengenai sekularisasi ini, dapat dikatakan selesai pada Pertengahan Abad ke-20. Proses inilah yang pada akhirnya membawa masyarakat barat ke dalam kehidupan sekuler dan menganut sekularisme seperti yang kita saksikan sekarang ini. Demikianlah awal mula proses kemunculan dan perkembangan sekularisme di Barat.

Proses Sekularisasi di Barat
Di Barat, gelombang sekularisasi telah memasuki dan merasuki segala bidang kehidupan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, masyarakat Barat telah berbudaya sekuler, beridentitas sekuler, bermoral sekuler, berpandangan hidup sekuler, bersistem sosial sekuler, dan bersistem politik sekuler.
Tak terkecuali dengan sekularisasi juga telah merembes dan merasuki dunia pendidikan Barat. Sekularisasi pendidikan ini mengambil bentuk, misalnya, para murid di sekolah Barat tidak diperbolehkan berdo'a ketika mereka akan memulai pelajaran di kelas-kelas mereka. Dengan kata lain, membaca do'a di ruang kelas adalah tabu bagi murid-murid sekolah di Barat. Pendidikan di Barat lebih merupakan kegiatan transfer ilmu pengetahuan dari para guru kepada anak didik dan tidak terkait dengan pendidikan agama dan moral. Agama dan moral menjadi urusan pribadi masing-masing.
Implikasinya dari pendidikan model seperti demikian adalah terjadinya sistem moral sekuler. Dari moral sekuler ini kemudian menjalar pada bentuk cara hidup, prilaku, dan pandangan permisif-hedonis, contoh kasusnya adalah sehingga melegalkan praktik-praktik seks bebas dan legalisasi aborsi. Kemudian termasuk dalam konteks ini adalah tuntutan dan gerakan gencar dari sebagain masyarakat Barat untuk melegalisasikan perkawinan sejenis.
Demikianlah fotret keadaan kehiduoan sekuler di Barat. Proses inu kemudian mengakar menjadi masyarakat yang berfaham sekularisme. Agama sudah tidak lagi berperan atau diperankan dalam keduniawian dan tidak berfungsi atau difungsikan dalam ruang publik. Agama hanya menjadi urusan perorangan.

Sekularisasi Penggunaan Iptek di Barat
Telah lama terjadi sekularisasi penggunaan iptek dalam kehidupan masyarakat Barat. Pengembangan dan pemanfaatan iptek di Barat terlepas dari nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral. Prof Cantwell Smith secara tepar melukiskan hal ini:
"Peradaban Barat terdiri dari dua unsur yang tidak pernah bersatu: yang satu dari Yunani dan Romawi, yang lain dari Palestina. Sepanjang sejarah, dua unsur tersebut selalu berdampingan, kadang dalam konflik, kadang dalam ketegangan, dan kadang dalam harmoni, tetapi tidak pernah menjadi satu. Bagi orang Barat, gramatika, ilmu kesehatan atau ilmu politik (yang mempunyai latar belakang Yunani-Romawi) harus dibedakan dari kehidupan spritual. Orang Barat merasa harus mempertahankan dualisme ini, yaitu perbedaan antara yang duniawi dan yang agamawi."
Pemisahan hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi inilah yang menyebabkan terjadinya sekularisasi di Barat, termasuk sekularisasi iptek. Contoh sekularisasi iptek adalah legalisasi aborsi, bagi para wanita di Baray yang melakukan hubungan seks bebas kemudian hamil diluar nikah, maka dibenarkan untuk melakukan aborsi. Dan klinik-klinik tempat untuk praktik pengaborsian ini dilindungi secara hukum dan tidak boleh ada yang menghalangi, diganggu, atau bahkan ditentang oleh siapapun. Kemudian masih banyak lagi persoalan yang di sekularisakan dalam iptek.
Dari salah satu contoh diatas adalah sebagai bentuk nyata penggunaan iptek yang di sekulerkan yang dijauhkan dari nilai-nilai agama dan moral. Prinsip "Science for the sake of science" (ilmu untuk kepentingab ilmu) menjadi tujuan bagi sarjana-sarjana Barat dalam mengembangkan dan memanfaatkan iptek. Pandangan praktis-pragmatis-sekularistik ini tentu saja berakar secara kuat pada sekularisme dan antroposentrisme (segala sesuatunya berpusat dan berpangkal pada otoritas manusia), bukan pada otoritas Tuhan Toesentrisme (Tuhan merupakan pangkal dan pusat segalanya).

Islam dan Pengembangan Iptek
Islam adalah agama samawi yang bersifat integral dan komprehensif yang tidak mendikotomiskan/memisahkan masalah-masalah agamawi dan duniawi. Tak terkecuali dengan hungunan antara iptek dan agama, tandanya adalah Islam menolak sekularisme.
Islam menolak sekularisasi karena sekularisasi berarti proses penerapan sekularisme. Sekularisasi adalah proses menuju dan menjadi sekularisme. 
Para sarjana muslim, dengan menggunakan metode berfikir induktif dan deduktif, perlu menginterpretasi makna dan pengertian dengan menempatkan teks ke dalam konteks. Atau, mengungkap konteks dibalik teks. Kajian ilmiah dalam Islam akan tetap bertumpu pada sendi-sendi idealitas transendental-imaniyah-Ilahiyah.
Maka bisa disebutkan para ilmuan muslim selalu menganut paham Teosentrime dan tidak mengikuti paham Antroposentrisme. Kebalikan dari paham yang dianut oleh para sarjana Barat.

Bagaimana dengan Indonesia
Indonesia adalah bukan negara agama dan bukan lula negara sekuler. Secara tegas UUD 1945 menyatakan, "Negara berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Dan hal itu pun dikuatkan pula dalam teks Pancasila di sila pertama yang menjadi dasar negara kita. Walaupun Indonesia bukan negara agama, tetapi agama mendapat tempat yang baik dan subur di negri ini. Sepanjang sejarahnya, agama bahkan menjiwai pandangan dan prilaku manusia Indonesia. Agama menjiwai Undang-Undang, Produk Hukum, Keputusan, Ketetapan, dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di negara kita, agama berfungsi sebagai fondasi penting dalam pembentukan dan pengembangab watak dan karakter bangsa (nation character building). 
Contoh sederhana dalam penjiwaan agama dalam kenegaraan, seperti pelaksanaan ibadah haji, melalu Kementerian Agama mengurus dan mengelola penyelenggaraan haji. 
Adapun soal sekularisasi di negara kita, maka tidak berikan celah, ruang, dan tempat untuk bergerak mengarah pada sekularisasi pendidikan, sekularisasi kebudayaan, sekularisasi moralitas, dan sekularisasi iptek. Secara ketegasan Negara, maka jawabannya seperti itu, namun tidak menutup kemungkinan ada benih atau pandangan sekuler dalam kaitannya dengan pengembangan dan pemanfaatan iptek di Indonesia. Itu lebih merupakan pandangan secara personal/individu tertentu saja, dan ini tidak bisa dianggap spele, harus di luruskan dan ditindak lanjuti.
Yang paling memungkinkan terjadi dalam paradigma bangsa Indonesia adalah soal "Skeptisme" terhadap Tuhan dan agama di kalangan sekelompok orang karena mereka hanya melihat segi-segi praktis-aplikatif penggunaan, pemanfaatan, dan penerapan iptek (applied science). Salah satu contoh prilaku demikian adalah, fenomena penggunaan AC (air conditioner, alat pengatur udara), kemudian Heater (pengatur panas). Orang kadang beranggapan bahwa listrik, AC dan Heater (lebih luas lagi: ilmu dan teknologi) itulah yang bisa membuat hangat dan sejuk, bukan oleh Tuhan. Kemudian contoh lain soal hujan buatan dikala daerah yang sedang dalam keadaan kekeringan, orang lantas berfikir bahwa sains dan teknologi itulah yang membuat dan menurunkan hujan, bukan Tuhan. Maka dari jalan berfikir dua contoh diatas bisa menimbulkan skeptisme agama.

Menangkal Skeptisme Agama
Sikap skeptis terhadap Tuhan dan Agama, sebagaimana digambarkan di atas, bisa dihilangkan dengan memperkuat politik dan kebijakan pendidikan Islam sebagai berikut.
Pertama, memperkuat dan memberdayakan pendidikan spritual-keimanan pada setiap satuan dan jenjang pendidikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya proses sekularisasi di bidang iptek.
Kedua, menanamkan kesadaran keagamaan dalam jiwa para peserta didik sebagai tameng yang yang kuat untuk mencegah timbulnya pandangan pragmatis-hedonis-permisif.
Ketiga, menggunakan metode dan pendekatan keagamaan dalam melaksanakan pembelajaran dan pendidikan.
Keempat, menanamkan kesadaran keagamaan dalam jiwa peserta didik sebagai benteng untuk menangkal paham antroposentrisme.
Kelima, menanamkan kesadaran keagamaan dalam jiwa para peserta didik agar mereka terjauh dari paham "scientism". paham ini berdalil bahwa segala sesuatu di dunia ini dinilai benar kalau seuai dengan ukuran-ukuran ilmiah.
Keenam, menanamkan kesadarab keagamaan dalam jiwa para anak didik agar mereka terhindar dari paham agnotisime. Paham ini berpandangan "percaya kepada tuhan tidak, tidak percaya juga tidak", kesananya bisa berfahamkan menjadi ateis.
Ketujuh, menanamkan kesadarab keagamaan dalam jiwa para peserta didik agar mereka terjauh dari prinsip "science for the sake of science". (Ilmu untuk ilmu).
Kedelapan, melakukan penelitian murni (pure science) secara intensif yang akan menghasilkan pemahaman bahwa dibalik kerja listrik, mesin dan teknologi (iptek) itu ada zat yang maha pencipta, maha kuasa dan maha peekasa yang memelihara, menata, mengatur, dan mengendalikan jalannya alam semesta ini, yakni Allah Swt.
Pandangan teologis seperti ini akan membawa kepada pemahaman bahwa pendidikan keagamaan-keimanan harus menjadi landasan yang kukuh dan kuat dalam pengembangan ilmu dan teknologi dalam sisten pendidikan Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia hendaknya dapat menghasilkan "sarjana yang ulama" atau "ulama yang sarjana" yang pada sosok dirinya terpancar paduan imtak (iman dan takwa) dan imtek (iman dan teknologi). Politik dan kebijakan pendidikan Islam hendaknya mampu menghasilkan ahli pikir dan ahli dzikir yang mampu mengembangkan iptek yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia dan kemanusian.
Akhirul kalam Mudah-mudahan Negara Indonesia dalam bidang pendidikan mampu melahirkan generasi atau SDM yang diharapkan Ummat dan Bangsa, kuat jasadiyah dan rohaniyahnya, kuat spirtualitas dan intelektualitasnya, tentunya kemudian dapat menghadirkan Baldatun Thoyyibun Warabbun Ghafur, Aamiin Yaa Rabbal'aalamin.

Wallahu 'alam Bishshowab

Reporter: Reporter Editor: admin