Dakwah Qur’ani: Makna, Metode, dan Kewajiban dalam Islam

oleh Redaksi

01 Februari 2025 | 08:41

Dr. Dedeng Rasyidin, M.Ag

Oleh: Dr. Dedeng Rasyidin, M.Ag



A. Arti Da’wah, Tabligh dan Khutbah


1. Arti Da’wah


Secara bahasa kata da’wah bentuk isim dari kata da’â artinya,


مُطْلَقُ الطَّلَبِ ِلأَيِّ شَيْئٍِ حِسِّيٌ كَطَعَامِ أَوْ مَعْنَوِيٌّ كَفِكْرَةِ.


“Tuntutan terhadap sesuatu yang bersifat umum baik bersifat Hissiyun (rasa) seperti meminta makanan atau bersifat Ma’nawiyyun (bukan rasa), seperti meminta pendapat/pemikiran” (al-Mu’jam al-Washit, Majma’ al-Arabiyath al-Qahirah: 1985)


Sedangkan menurut istilah da’wah itu adalah,


تَبْلِيْغُ الإِسْلاَمِ لِلنَّاسِ وَتَعْلِيْمُهُمْ إِيَّاهُ وَتَطْبِيْقُهُ فِي مَوَاقِعِ الْحَيَاةِ.


“Menyampaikan Islam kepada manusia, dan mengajarkan serta mengaplika-sikannya dalam kehidupan sehari hari” (Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuniy: 16)


Dan dalam pengertian lain,


اَلدَّعْوَةُ هِيَ فَنٌّ يَسْتَمِيْلُ النَّاسَ إِلَى الإِسْلاَمِ بِالْوَسَائِلِ الْمُنَاسَبَةِ لِيَتَعَلَّمُوْهُ وَيَطْبِقُوْهُ فِي وَاقِعِ الْحَيَاةِ.


“Da’wah itu adalah, suatu seni (ilmu) yang mengajak manusia pada Islam dengan menggunakan berbagai media yang cocok agar mereka mempelajarinya dan mengaplikasikan dalam kehidupan” (Ensiklopedi Islam)


Dari definisi di atas dapat difahami da’wah itu: bagi non muslim dan bagi muslim. Da’wah bagi non muslim berarti, mengajak mereka pada Islam, menjelaskan tentang bagusnya agama Islam, lurusnya aqidah Islam, tingginya syari’at Islam. Dan biasanya da’wah itu terjadi bagi masyarakat luar Islam. Sedangkan da’wah bagi masyarakat muslim berarti, untuk mengambil tangan mereka, membukakan fikiran dan hati mereka sehingga mengamalkan ajaran-ajaran Islam, dan menjadikan agama Islam itu sebagai pilihan dalam aqidah, ibadah, kehidupan, akhlak dan muamalah.

2. Arti Tabligh


Kata tabligh, dari Balagha artinya, matang, masak, sampai (Al-Munawwir, 115). Dalam Al-Qur’ân kita jumpai kata al-Balagh, misalnya pada Ali Imran 20,


فَإِنْ حَآجُّوكَ فَقُل أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ للهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَاْلأُمِّيِّينَ ءَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيرُُ بِالْعِبَادِ.


“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang ummi: Apakah kamu (mau) masuk Islam. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali Imran [3]:20)


Al-Raghib al-Ashafani (tt, 60) mengemukakan,


اَلْبَلاَغُ الإِنْتَهَاءُ إِلَى أَقْصَى الْمَقْصُدِ وَالْمُنْتَهَى مَكَانًا كَانَ أَوْ زَمَانًا أَوْ أَمْرًا مِنَ الأُمُوْرِ الْمُقَدَّرَةِ.


“Kata al-Balagh atau at-Tabligh artinya, sampai kepada tempat, waktu atau urusan yang dituju dan ditentukan”


Dan Ibnu Manzdur (3:1) menjelaskan at-Tablîgh artinya at-Tashrîh (menjelaskan), dan at-Tashîl (memudahkan). Artinya menjelaskan sesuatu dengan semudah mungkin sehingga gampang dicerna oleh pendengar. Al-Qur’ân telah menjelaskan An-Nisa: 63,


أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِي أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغًا.


“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS. An-Nisa [4]:63)


Al-Maraghi (II:78) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Qaulân Balîghâ yaitu al-Muatsiru fî an-Nafsi (perkataan yang berkesan, berbekas pada jiwa). Dengan berusaha menyampaikan kalam dengan perkataan yang fasih, sesuai dengan perbedaan tempat, waktu dan daya fikir mustami. Ini seperti yang dilakukan Nabi Daud As.


وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَءَاتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ.


“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan”. (QS. Shad [38]:20)


Demikian juga Nabi Muhammad Saw, memiliki kebalaghahan dalam menyampaikan ajaran Islam, Fashâhat al-Lisân (kepasihan lidahnya), Balâghat al-Qaul (keindahan perkataannya), beliau tabligh pada setiap ummat dengan bahasanya. Beliau berbicara (tabligh) pada orang Quraisy, Anshar, Ahli Hijaj dan Najed tidak sama di saat beliau berbicara kepada pembesar Hadlralmaut dan raja-raja Yaman, seperti, al-Hamdaniy, Thuhfat an-Nahdiy, al-Asyats bin Qais, dan Wail bin Hajar al-Kindiy. Al-Raghib (tt:61) menyebutkan, perkataan yang baligh itu memiliki tiga sifat; a) Sesuai dengan ketentuan bahasanya. b) Sesuai dengan kandungan isi yang dimaksud. c) Didasari dengan jiwa yang benar.


Al-Qur’ân mengisyaratkan bahwa tabligh, itu dilakukan kepada siapa saja, baik muslim atau bukan muslim.


يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ.


“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Maidah [5]:67)


Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa, Tabligh adalah da’wah kepada muslim juga non muslim yang memperhati-kan ketepatan, kefasihan, kebalaghahan perkataan, sesuai dengan tempat, waktu dan pemahaman mustami sehingga mudah dipahami dan sampai pada tujuan yang diharapkan.


3. Arti Khutbah


Secara bahasa Khutbah dari kata Khathaba artinya Wa’adhza (menasihati) (Luwes Ma’luf, 181). Dan juga bermakna Ilqâu al-Kalam ila ghairi li ifĥâmihi (Mukhtar al-Shahah:110). Dan secara Ishtilah, Al-Maushuli (I:108) menye-butkan,


إِلْقَاءُ الْكَلاَمِ الْمَنْثُوْرِ سَجَعًا كَانَ أَوْ مُرْسَلاً لإِسْتِمَالَةِ الْمُخَاطَبِيْنَ إِلَى رَايٍ أَوْ تَرْغِيْبهِمْ فِي عَمَلٍ.


“Menyampaikan perkataan berupa prosa (bukan syair) baik bersaja (sama suara akhir) atau berupa mursal (tidak sama suara akhir), untuk mengajar para pendengar (mukhatab) pada satu ide atau mendorong mereka untuk beramal”


Yusuf Muhammad (1992:21) menyebutkan,


اَلْخِطَابَةُ: نَوْعٌ مِنْ فُنُوْنِ الْكَلاَمِ غَايَتُهُ إِقْنَاعُ السَّامِعِيْنَ وَاسْتِمَالَتُهُمْ وَالتَّأْثِيْرُ فِيْهِمْ.


“Khutbah atau khithabah itu suatu seni berbicara yang tujuannnya memberi kepuasan kepada pendengar, mengajak mereka dan mempengaruhi mereka”.


Dalam al-Qur’ân terdapat kata Fashl al-Khithab dalam surat Shâd: 20. Kata Khitab, artinya: 1) Perkataan yang jelas yang dapat difahami oleh orang yang mendengarnya. 2) Sesuai dengan kemampuan dan pemaha-mannya. 3) Penjelasan yang membedakan antara benar dan salah (Al-Shabuni, III:39). Ini memberi makna Qur`ani bahwa khutbah itu hendak-nya menjadikan mustami faham terhadap apa yang disampaikan khatib, materi khutbah disesuaikan dengan daya faham mustami, yang disampaikan berupa haq, bukan kebathilan. Dan biasanya khutbah itu dilakukan terhadap orang yang seagama, seperti khutbah jum’ah, khutbah ‘Îed, khutbah gerhana dll.



B. Kewajiban berda’wah


1. Wajib Kifayah



وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.


“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran [3]:104)


Al-Maraghi (II:21) menjelaskan, Ummatun yaitu sekelompok individu yang mempunyai ikatan dan persatuan. Dengan ini maka hendaklah ada sekelompok orang yang khusus melakukan da’wah. Perintah Allah ini kepada orang-orang mu’min untuk membentuk kelompok yang bertugas berda’wah. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Shabuni (I:151), sementara Ibnu al-Jauzi (I:434) menyebutkan, hendaklah kamu semua menjadi ummat yang berda’wah pada kebaikan, dan dapat pula ditafsirkan, bahwa perintah itu untuk membentuk ummat da’wah. Karena para da’i itu adalah orang yang berilmu (ulama), sementara tidak semua orang muslim adalah ulama. Kewajiban ini, disebut fardhu Kifayah. Kata al-Khair di sini adalah al-Islam, dan al-‘Amalu bi Tha’atillah (Ibnu al-Jauzi, I:434), dan menurut al-Maraghi (II:21) Mâfîhi shalâhu al-Nâs fî al-Dîn wa al-dunya. Sementara kata al-Ma’ruf ialah Mâ istahsanahu al-Syar’u wa al-‘Aqlu (apa yang dipandang baik oleh syara dan akal), dan sebaliknya ialah al-Munkaru yaitu sesuatu yang dipandang buruk oleh syara dan akal. Ibnu al-Jauzi menambahkan, al-Ma’ruf ialah Thâ’atullâh, dan al-Munkaru ialah Ma’shiyatihi (ma’siat kepada Allah). Ayat tersebut di atas mengisyaratkan, akan dua kewajiban,


a. Hendaklah ada sekelompok manusia yang mempunyai ikatan yang kuat untuk melakukan da’wah, di mana masing-masing mukmin hendaklah tergugah punya rasa yang sama terhadap kewajiban berda’wah, membentuk ummat da’wah. Sabda Nabi,


اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا {البخاري}


“Mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya”


b. Hendaklah ada sekelompok manusia yang melakukan Amar ma’ruf Nahyi munkar.

Hasbi As-Shiddieqi (Al-Islam, II:470) menyebutkan, tugas menyeru-kan ummat lain kepada Islam, tugas ini disebut “Tugas da’wah”. Sementara tugas menyerukan sesama Islam kepada ma’ruf dan mencegah munkar, tugas ini disebut “Tugas hisbah”. Di awal Islam tugas hisbah pertama kali dilakukan untuk memperhatikan pasar, yaitu bagi orang yang jual-beli di pasar untuk tidak bersipat curang tetapi mesti bersifat jujur. Kemudian tugas ini berkembang untuk memperhatikan orang-orang yang shalat. Dan yang pertama menetapkan tugas ini Umar bin Khatab, beliau mengangkat Abdullah bin Utbah menjadi Muhtashib di kota Madinah. Orang muslim pada masa keemasan Islam sangat memperhati-kan tugas da’wah dan Hisbah. Misalnya, saat Umar bin Khattab berkhutbah Ia berkata:


إِذَا رَأَيْتُمْ فِي إِعْوِجَاجًا فَقَوِّمُوْهُ: فَقَامَ أَحَدٌ رَعَاةُ الإِبِلِ: وَقَالَ: لَوْ رَأَيْنَا فِيْكَ إِعْوِجَاجًا لَقَوَّمُنَاهُ بِسُيُوْفِنَا.


“Jika kalian melihat kebengkokan (dalam kepemimpinanku) maka luruskanlah! Lalu berdiri seorang pengembala unta, diapun berkata; Kalau kami melihat kebengkokan (dalam kepemimpinanmu) maka pasti akan kami luruskan dengan pedang-pedang kami” (al-Maraghi, II:22)


2. Wajib ‘A’în


اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.


“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Nahl [16]:125)


Ayat di atas menjelaskan bahwa kewajiban berda’wah itu merupakan kewajiban individu (wajib ‘A’în) untuk mengajak orang lain pada jalan Allah dengan cara hikmat, mauidhah hasanah, mujadalah hasanah (penjelasan-nya berikut) Demikian pula kewajiban untuk melakukan Hisbah, termasuk kewajiban ‘A’în,


مَنْ رَآى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ {متفق عليه}


“Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubah dengan tangan-nya, jika tidak sanggup maka ubah dengan lidahnya, jika masih tidak sanggup maka ubah dengan hati, tetapi yang terakhir ini menunjukkan selemah-lemahnya iman”



BACA JUGA:

Thaghut Dalam Al-Quran

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon