Lafad “al-awwal fal awwal.”
Berkata imam ath-Thibiy: Huruf “fa” litta’qib dan mesti padanya ada perkiraan lafad, ya’ni “yang pertama” dari mereka lalu “yang pertama” dari sesisanya, demikian selanjutnya sehingga sampai kepada “hufaalah”. Seperti itu juga maksud lafad “al-afdlal fal afdlal”. Dan lafad “al-awwal” ini adalah sebagai badal dari lafad “ash- shalihun.” Lihat, al-Kasyif ‘an Haqaiq as-Sunan, 11: 3391.
Lafad “hufalah.”
Berkata imam ath-Thibiy: Makna “hufalah” adalah sesuatu yang rendah. Begitu juga “hutsalah.” Lihat, al-Kasyif ‘an Haqaiq as-Sunan, 11: 339. Hal senada disampaikan oleh al-Baghawiy pada Kitab Syarh as-Sunnah, Kitab al-Fitan, 8: 272, syarah hadits no. 4221.
Menurut imam ath-Thibiy juga: Dinakirahkan lafad “fi hufalatin” untuk tujuan merendahkan. Lihat, al-Kasyif ‘an Haqaiq as-Sunan, 11: 3391. Dan menurut Ibnu al-Mulaqqin:
وَالْحُفَالَةُ وَالْحُثَالَةُ: الرَّذَالَةُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَهِيَ سَفَلَةُ النَّاسِ.
Makna “hufalah” dan “hutsalah”: yang rendah dari segala sesuatu, yaitu orang-orang yang hina. (Lihat, at-Taudlih li Syarh al-Jami’ ash-Shahih, 29: 429). Hal senada disampaikan oleh al-‘Ammar pada Kunuz Riyadl ash-Shalihin, 21: 439 syarah hadits ke-1830.
Tidak ketinggalan, Ibnu al-Atsir menyebutkan:
أَيْ رُذَالَةٌ مِنَ النَّاسِ.
Ya’ni orang-orang yang rendah. (Lihat, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 1: 409).
Lafad “kahufalatisy-sya’ir awit tamri.”
Berkata Imam al-Qastalaniy:
اَلرَّدِيْءُ مِنْ كُلٍّ، أَوْ مَا يَتَسَاقَطُ مِنْ قُشُوْرِهِمَا، أَوْ مَا يَسْقُطُ مِنَ الشَّعِيْرِ عِنْدَ الْغَرْبَلَةِ وَيَبْقَى مِنَ التَّمْرِ بَعْدَ الْأَكْلِ.
(al-hufalah itu) yang jelek dari gandum dan kurma, atau apa yang berjatuhan dari kulit keduanya (ampas), atau apa yang jatuh dari gandum ketika disaring (ampas gandum), dan apa yang tersisa dari kurma setelah dimakan (dedak kurma). (Lihat, Irsyad as-Saariy li Syarh Shahih al-Bukhariy, 9: 249).
al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-‘Ainiy sama-sama menukil sebagai berikut:
وَقَالَ الدَّاوُدِيُّ: اَلْحُفَالَةُ مَا يَسْقُطُ مِنَ الشَّعِيْرِ عِنْدَ الْغَرْبَلَةِ وَيَبْقَى مِنَ التَّمْرِ بَعْدَ الْأَكْلِ.
Berkata ad-Dawudiy: al-hufalah itu apa yang jatuh dari gandum ketika disaring (ampas gandum), dan apa yang tersisa dari kurma setelah dimakan (dedak kurma). Lihat, Fath al-Baariy, 11: 285, lihat juga ‘Umdat al-Qariy, 15: 515.
Lafad “laa yubaalihimullaahu baalah.”
Berkata al-Muzhhiriy:
وَمَعْنَى الْحَدِيْثِ: أَنَّ اللهَ لاَ يُعَظِّمُهُمْ، وَلاَ يَكُوْنُ لَهُمْ عِنْدَ اللهِ وَقَارٌ.
Makna hadits: Sesungguhnya Allah tidak akan mengagungkan mereka dan mereka tidak memiliki kemuliaan di sisi Allah. (Lihat, al-Mafatih fi Syarh al-Mashabih, 5: 331).
Dan berkata Syamsuddin al-Birmawiy:
أَيْ: لَيْسَ لَهُمْ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةٌ.
Ya’ni mereka tidak memiliki kedudukan di sisi Allah. (Lihat, al-Lami’ ash-Shabih bi Syarh al-Jami’ ah-Shahih, 11: 223).
Berkaitan dengan hal ini diterangkan pada beberapa hadits:
Benar-benar akan Terjadi Zaman Yang diisi Orang-orang Hina
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَيْفَ بِكُمْ وَبِزَمَانٍ أَوْ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيَ زَمَانٌ يُغَرْبَلُ النَّاسُ فِيْهِ غَرْبَلَةً، تَبْقَى حُثَالَةٌ مِنْ النَّاسِ قَدْ مَرِجَتْ عُهُوْدُهُمْ وَأَمَانَاتُهُمْ وَاخْتَلَفُوْا،
Dari ‘Abdullah bin Amr bin al-‘Ash RA: Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bagaimana kondisi kalian pada zaman," atau beliau mengatakan: "Hampir-hampir akan datang kepada kalian suatu masa, orang-orang yang baik telah pergi dan tersisa orang-orang yang jelek. Janji-janji dan amanah mereka telah rusak, mereka berselisih,”al-hadits. Hr. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Malahim, 2: 330 hadits no. 4342.
Qiyamah Terjadi Kepada Mereka
عَنْ عَلْيَاءَ السُّلَمِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلَّا عَلَى حُثَالَةٍ مِنَ النَّاسِ.
Dari ‘Alya as-Sulamiy RA ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak akan terjadi qiyamah kecuali kepada orang-orang hina.” Hr. ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Kabir, 7: 230, no. 14578. Pada sanad ini, ath-Thabraniy menerima hadits tersebut dari ‘Abdullah bin Ahmad dari ayahnya.
Arahan Rasulullah SAW Bila Zaman Tersebut Terjadi
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ، كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كُنْتَ فِي حُثَالَةٍ مِنَ النَّاسِ؟» وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: «صَبْرًا صَبْرًا، خَالِقُوا النَّاسَ بأَخْلَاقِهِمْ، وخَالِفُوهُمْ فِي أَعْمَالِهِمْ
Dari Abu Dzar RA ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Hai Abu Dzar, bagaimana bila engkau berada di masa orang-orang hina?" dan beliau menganyam jari-jarinya. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang akan anda perintahkan kepadaku?” Beliau menjawab: “Sabarlah, sabarlah. Pergauli orang-orang dengan akhlaq mereka, tetapi selisihilah perbuatan-perbuatan mereka”. Hr. ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, 1: 147, no. 470.
Namun hadits ini dla’if, karena terdapat rawi ernama Yazid bin Rabi’ah ar-Rahabiy ad-Dimasyqiy, Abu Kamil. Kata Abu Hatim: Dla’iful hadits, munkarul hadits, wahil hadits. Kata al-Bukhariy: Hadits-haditsnya munkar. Kata an-Nasaiy dan ad-Daraquthniy: Matruk. Kata as-Sa’diy dan al-Jauzajaniy: Hadits-haditsnya batil, aku takut keadaannya maudlu. Lihat, Lisan al-Mizan, 6: 350, rawi no. 9246, Mizan al-I’tidal, 4: 422, rawi no. 9688, Mishbah al-Arib, 3: 392, rawi no. 29500, al-Jarh wa at-Ta’dil, 9: 322, rawi no. 16756, at-Tarikh al-Kabir, 8: 213, rawi no. 12548, adl-Dlu’afa wa al-Matrukin, an-Nasaiy, rawi no. 645, al-Mughniy fi adl-Dlu’afa, 2: 536, rawi no. 7097, adl-Dlu’afa wa al-Matrukin, Ibnu al-Jauziy, 3: 208, rawi no. 3779, al-Kamil fi Dlu’afa ar-Rijal, 7: 259, rawi no. 2160, Ahwal ar-Rijal, hlm. 160, rawi no. 284, Mausu’at Aqwal Abi al-Hasan ad-Daraquthniy fi Rijal al-Hadits wa ‘Ilalih, hlm. 719, no. 3907, Tuhfat al-Gharib bi Tarajim Rijal Mu’jamay al-Hafizh ath-Thabraniy al-Ausath wa ash-Shaghir Mimman Laysa fi at-Tahdzib, 3: 1346.
FAWAID HADITS
Berdasarkan uraian penjelasan dari hadits di atas, ada beberapa faidah yang dapat dipetik sebagai berikut:
- Meninggalnya orang-orang shalih termasuk tanda qiyamah
- Mulianya orang shalih dan tinggi derajat mereka di dunia dan di akhirat
- Jeleknya dan hinanya orang yang tidak shalih
- Haramnya menyakiti orang shalih dengan perbuatan menyakitkan apapun
- Wajib melakukan upaya memperbanyak jumlah orang-orang shalih baik dengan tarbiyah, dakwah, taujih dan lain-lain.
- Orang shalih layak dijadikan teladan dan mesti hati-hati mengikuti orang tidak shalih
- Jangan sekali-kali menyelisihi orang shalih, karena khawatir termasuk orang yang tidak dipedulikan Allah SWT
- Keshalihan harus jadi pijakan dan pertimbangan dalam memberi amanah untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Lihat, Syarah Shahih al-Bukhariy Ibnu Bathal, 10: 158, ‘Izhat wa ‘Ibar Min Ahadits Sayyid al-Basyar, hlm. 16, Kunuz Riyadl ash-Shalihin, 21: 441.
BACA JUGA:Qarun Dibenamkan Karena Kesombongan: Pelajaran dari Fenomena Flexing di Era Digital