Shaum Ramadhan merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dewasa, baik laki-laki maupun perempuan yang dilaksanakan pada bulan ramadhan.
Kewajiban tersebut disebut dengan azimah atau ketentuan asal, berdasarkan ayat berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (al-Baqarah : 183)
Bagi orang yang sakit atau dalam keadaan safar, rukhsahnya diperbolehkan untuk berbuka, namun bagi keduanya, wajib membayar qadha atau mengganti shaum pada hari yang lain.
Adapun bagi yang terkategori mutiq, yaitu orang yang payah atau tidak mampu shaum, maka wajib menggantinya dengan fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan orang miskin (al-Baqarah: 184)
Adapun orang yang haid mereka diharamkan shaum, namun wajib untuk mengqadha atau menggantinya pada hari lain, sebagaimana orang yang sakit dan safar, berdasarkan keterangan dari Aisyah sebagai berikut :
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
'Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'." (HR Muslim, Sahih Muslim, 1/182)
Begitu juga dengan orang yang nifas, karena illatnya sama dengan haid, maka hukum nifas sama dengan orang yang haid.
Adapun maksud kalimat
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain
Pelaksanaan kewajiban qadha atau mengganti shaum pada hari yang lain itu sifatnya mutlaq, tidak dibatasi oleh ramadlan setelahnya, namun kemutlaqannya dibatasi selama bukan pada hari yang diharamkan shaum yaitu pada hari raya idul fitri, idul adha dan hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Dari Ibu Said al-Khudri berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ
Nabi Saw melarang shaum pada hari raya idul fitri dan hariraya idul adha (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/42)
Begitu juga dari Nubaisyah al Hudzdzali berkata, Rasulullah saw bersabda :
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ
Hari-Hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum serta Dzikir kepada Allah (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 3/153)
Adapun keterangan dari Aisyah yaitu
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Muslim, Sahih Muslim, 3/154)
Tidak menunjukan sebagai batas pelaksanaan qadha, namun hanya menunjukan beliau bermaksud untuk menyegerakan pembayaran qadha shaum, namun hanya dapat dilaksanakan pada bulan Sya’ban karena kesibukan beliau mendampingi Rasulullah Saw. Kendatipun demikian, tentu pelaksanaan qadha shaum sebagai sebuah ibadah, lebih cepat ditunaikan maka lebih baik daripada diakhirkan.
Dengan demikian kesimpulannya, pelaksanaan qadha, pertama, tidak dibatasi oleh ramadlan setelahnya. Kedua, bukan pada hari-hari yang diharamkan shaum yaitu hari idul fitri, idul adha dan hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) Ketiga, sebagaimana hutang, pelaksanaan qadha, semakin cepat ditunaikan, maka lebih baik, sehingga tidak menumpuk, khususnya bagi yang haid dan nifas. Wallahu’alam.
BACA JUGA: [Istifta] Hukum Bermakmum pada Imam yang Bacaannya Terlalu Cepat