Dari KTT Luar Biasa Gabungan (Joint Summit) OKI-Liga Arab: Antara Harapan dan Kenyataan

oleh Reporter

20 November 2023 | 13:24

Oleh: Drs. Muhammad Yamin, M.H. (Sekretaris Majelis Kehormatan PP PERSIS - Calon DPD RI JAWA BARAT No. 42)

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Negara-negara Arab berupaya mengmbil langkah praktis-strategis dalam merespon agresi kriminal Israel terhaap warga Palesina di Gaza.

Indonesia bergabung bersama 56 Negara islam lain dalam KTT Luar Biasa Gabungan Arab-Islam di Riyadh Saudi Arabia pada 11/11/2023 lalu. 

KTT OKI tadinya akan dilaksanakan terpisah sehari setelah KTT Liga Arab. Tapi berkat inisiatif Pangeran Arab, Mohammad Bin Salman, dua KTT ini di gabung pelaksanaannya menjadi joint summit dalam waktu bersamaan.

Digabungnya pelaksanaan dua KTT ini diklaim untuk memberi kesan dan pesan kuat pada dunia. 

Sebagaimana yang diharapkan para peserta dan penyelenggara KTT, tentu inisiatif ini boleh diapresiasi.

Meski terhitung sangat terlambat, dimana dilakukan Setelah 35 hari agresi yang jelas-jelas merupakan 'kasus genosida', dan telah menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina.

Agresi kriminal terbaru Israel ini juga telah menghancurkan gedung-gedung perumahan dan pemerintahan, rumah sakit, fasilitas sekolah, serta membakar lahan pertanian dan ladang.

Apa yang diharapkan dari KTT ini?

Sebelum mengkaji KTT ini lebih jauh, penting untuk memahami bagaimana sikap dan pandangan Israel terhadap Gaza serta rakyat Palestina secara keseluruhan.

Penolakan Israel untuk membuka pintu perbatasan bagi bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan dalam jumlah yang cukup –termasuk makanan dan air–, menunjukkan bahwa Israel mengabaikan seruan internasional, bahkan mendesak  penduduk Palestina hingga pada tahap menyerah pada kelaparan dan penyakit.

Pejabat pemerintah dan militer Israel juga telah mengungkapkan niat genosida mereka terhadap rakyat Palestina.

Pada 9 Oktober 2023 ketika mengumumkan blokade penuh, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menggambarkan 2,3 juta orang di Gaza sebagai 'manusia hewan'.

Pada 29 Oktober 2023, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggunakan kitab suci Yudaisme untuk membenarkan pembunuhan warga Palestina. 

Pada 5 November 2023, Menteri Warisan Budaya Amihai Eliyahu mengatakan salah satu opsi Israel di Gaza adalah menjatuhkan bom nuklir.

Dia juga menjelaskan bahwa tidak ada bantuan kemanusiaan yang boleh diberikan kepada warga sipil Palestina karena 'tidak ada warga sipil yang tidak terlibat di Gaza'.

Meskipun pernyataannya mendapat kritik dari para pejabat Israel, kekhawatiran yang muncul terutama berpusat pada potensi dampak terhadap 'citra Israel' daripada mengakui implikasi serius dari pernyataan tersebut sebagai potensi alat genosida.

Ada banyak pernyataan resmi lainnya yang menggunakan bahasa yang tidak manusiawi terhadap warga Palestina, serta hasutan dari masyarakat umum Israel untuk 'pemusnahan Gaza'.

Hal ini mengungkapkan niat untuk melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan, tentu saja, genosida.

Retorika semacam Ini jelas merupakan salah satu tahapan yang paling penting untuk dipertimbangkan oleh pemimpin negera-negara Islam dan Liga Arab.

Mendengar bahasa yang secara terbuka dan tidak manusiawi diucapkan dengan penuh semangat di media dari para pemimpin pemerintahan, dan juga dari masyarakat biasa, adalah hal yang mengerikan.

Semuanya membawa kita ke titik di mana kita berada saat ini, yaitu fakta bahwa apa yang terjadi di Gaza adalah lebih dari sekedar genosida, tapi nihilisasi peradaban Islam dan sebuah bangsa di bumi Palestina.

Selain itu, inti dari tragedi ini terletak pada wacana dehumanisasi, yang berfungsi sebagai strategi dan hasil.

Wacana anti-Palestina yang sudah berlangsung lama, yang berlangsung sejak lahirnya Zionisme, secara sistematis telah menyangkal keberadaan dan hak-hak warga Palestina.

Narasi Israel sebagai 'tanah tanpa rakyat, untuk rakyat tanpa tanah' telah secara efektif menghapus seluruh penduduk asli, beserta sejarah, warisan, dan keluhan mereka.

Warga Palestina secara sistematis dirusak dengan di jelek-jelekan melalui narasi yang menggambarkan mereka sebagai teroris, anti-Semit, dan bahkan Nazi.

Dengan memunculkan klaim-klaim yang tidak masuk akal mengenai 'Nazifikasi Palestina'.

Israel, sebuah negara kolonial pemukim kuat yang telah memimpin pendudukan terpanjang dalam sejarah modern, mencoba untuk menggambarkan dirinya sebagai korban; penyiksanya -yaitu orang-orang yang secara sistematis ditindas dan dirampas haknya selama beberapa dekade. Sebuah pemutar balikan fakta yang absurd.

Sangat penting untuk memahami aspek-aspek berbeda dari genosida yang terjadi di Gaza, saat kita terutama para pemimpin negara Islam menghadapi dan meresponsnya.

Tidak boleh lupa bahwa apa yang terjadi saat ini adalah bagian dari sejarah panjang tindakan Israel terhadap warga Palestina, melampaui Jalur Gaza, dengan niat dan praktik genosida yang menargetkan komunitas Palestina lainnya.

Kita tidak boleh melupakan hal ini ketika Israel dan sekutunya mencoba mendekontekstualisasikan apa yang terjadi di Gaza dan menggambarkannya sebagai perang yang 'diprovokasi' dan dimulai oleh serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023.

Pembicaraan tentang pembelaan diri bagi Israel mendominasi retorika Barat, dengan tanpa mempertimbangkan nyawa manusia dan kepatuhan terhadap aturan konflik bersenjata, apalagi pendudukan militer selama 56 tahun dan pengepungan Gaza selama 16 tahun. 

Apa yang disajikan media barat saat ini adalah kampanye dehumanisasi global yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap warga Palestina, yang mendorong narasi, pengalaman, dan sejarah mereka hingga ke pinggir jurang kemusnahan.

Secara historis, permulaan kampanye semacam ini merupakan puncak terjadinya genosida yang menuju kearah nihilisme, sebuah pemusnahan total.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memulihkan kemanusiaan rakyat Palestina dan mengakui sejarah dan hak-hak mereka bersama, sebagai sebuah bangsa, seiring dengan upaya dari dunia internasional terutama dunia Islam untuk segera menghentikan genosida yang sedang berlangsung melalui aksi nyata yang berdampak langsung.

Bagaimana Situasi Setelah KTT?

Saat KTT berlangsung, kekerasan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat terus berlanjut.

IDF melakukan serangan lain: kali ini di bangsal bersalin rumah sakit Al-Shifa, yang menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka.

Puluhan bayi harus menggunakan oksigen karena inkubator musnah yang disebabkan serangan Israel.

Beberapa hari setelah KTT OKI dan Liga Arab  berlangsung, Penindasan meningkat di Israel.

Ketua komite minoritas Arab-Palestina, Mohammed Barakeh, dan mantan anggota Knesset Hanin Zoabi dan Sami Abu Shadeh ditangkap. Warga Arab biasa juga ditahan.

Kantor berita resmi Palestina WAFA melaporkan bahwa pesawat Israel mengebom beberapa rumah di lingkungan Sheikh Radwan, di Jalur Gaza utara, menewaskan 25 warga Palestina, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.

Menurut Al-Jazeera, artileri Israel juga membom Pabrik Al-Salam di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, bertepatan dengan serbuan kendaraan dan tank Israel.

Itu membuktikan pertemuan puncak luar biasa kedua organisasi itu tidak berdampak.

Meskipun ada harapan akan adanya tindakan nyata, tapi tidak ada hasil nyata yang terjadi.

Mungkin masih ada beberapa konsekuensinya, namun mengingat seluruh pengalaman konflik Israel-Palestina sebelumnya dan peran negara-negara dari kedua organisasi tersebut, tidak ada harapan untuk tindakan serius apa pun.

Meskipun tentu saja ada perubahan-perubahan tertentu yang menunjukkan kohesi regional.

Misalnya, sebagai bagian dari acara tersebut, presiden Iran dan Suriah datang ke Arab Saudi untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.

Beberapa usulan telah disiapkan sebelum KTT, seperti mencegah penggunaan pangkalan militer AS dan negara-negara Arab lainnya untuk memasok senjata dan amunisi kepada Israel,

Juga membekukan hubungan diplomatik, ekonomi, keamanan dan militer Arab dengan Israel dan menggunakan minyak dan kemampuan ekonomi Arab untuk menekan Israel agar menghentikan serangannya.

Selain itu mencegah pesawat Israel menggunakan wilayah udara Arab dan membentuk komite Arab di tingkat menteri yang akan berangkat ke New York, Washington, Brussels, Jenewa dan Paris untuk menghentikan agresi Israel terhadap Gaza.

Tapi sebagaimana dugaan banyak pengamat, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Yordania menolak proposal yang lemah dan minimal ini.

Pernyataan penutup KTT yang akhirnya disepakati sangat memalukan, menghancurkan harapan orang-orang naif yang menunggu kebaikan datang dari Riyadh, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mendukung rakyat Gaza dan menghentikan genosida Zionis. 

Merupakan sebuah momen yang ironi sekaligus memalukan ketika negara-negara muslim dan tetangga di semenanjung Arab yang mayoritas penduduknya beragama Islam justru menjadi saksi tak berdaya atas ketidakadilan yang terjadi di Palestina.

Naskah hasil KTT Luar Biasa OKI terlihat standar dan normatif sebagaimana biasanya.

Meski Pemerintah Indonesia, bahkan OKI dan Liga Arab sendiri merasa  bahwa resolusi yang berisi 31 keputusan ini merupakan pesan yang paling keras yang pernah dilakukan kedua organisasi  sejauh ini.

Salah satu keputusan KTT, yaitu Paragraf 11 resolusi tersebut menugaskan menteri luar negeri Arab Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, Turki, Indonesia, Nigeria, dan Palestina untuk segera memulai tindakan internasional guna merumuskan langkah internasional untuk menghentikan perang di Gaza.

Presiden Jokowi yang terhormat didampingi Menlu Retno Marsudi bertindak mewakili Indonesia, rumah bagi sekitar 231 juta muslim yang merupakan 13% dari total populasi muslim dunia.

Setelah KTT dengan bangga dan merasa cukup terhibur menjadi salah satu negara yang diberi mandat untuk merumuskan langkah internasional guna mewujudkan perdamaian di Gaza.

Dengan jumawa menggambarkannya sebagai 'bentuk pengakuan terhadap peran dan konstribusi Indonesia'.

Presiden Jokowi yang langsung bertolak Ke Amerika Serikat dan bertemu Presiden AS, Joe Biden, menjelang Pertemuan APEC, merasa terhormat diberi amanah untuk menyampaikan hasil –hasil KTT.

Tetapi seperti hasil KTT itu sendiri, Jokowi sama sekali tak melakukan penekanan yang cukup dan diperlukan untuk setidaknya berusaha merumuskan langkah kongkrit terkait penindasan Israel terhadap rakyat Palestina.

Presiden Jokowi bahkan tidak berani sekedar untuk menyatakan, akan mendukung Fatwa MUI dan mensupport muslim Indonesia dalam aksi boycott produk Pro-Israel.

Padahal, bila saja Presiden Jokowi bersedia menjadikan kampanye boycott produk Pro-Israel sebagai kebijakan negara, itu akan meningkatkan popularitasnya di dalam negeri.

Dan Indonesia pun akan memiliki posisi tawar luar biasa di mata Israel dan negera barat Pro-Israel, mungkin juga akan cukup menggoyahkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, soal sikap agresif nya terhadap rakyat Palestina.  

Kesimpulan

Seperti halnya Indonesia, tidak ada keraguan bahwa negara-negara Arab dan Islam mempunyai banyak kartu politik, diplomatik dan ekonomi yang dapat mereka gunakan untuk membuat Israel segera menghentikan perang.

Persediaan energi saja sudah cukup. Cadangan energi di negara-negara Eropa hanya cukup untuk dua hari; di negara-negara NATO hanya selama 15 hari; dan negara-negara Islam menghasilkan setengah energi dunia.

Mengapa ini tidak digunakan sebagai keunggulan utuk alat penekan Israel dan barat?

KTT Islam-Arab sebenarnya cukup menghasilkan satu kesepakatan saja, yaitu untuk menghentikan ekspor energi selama seminggu jika Israel tidak mengakhiri perangnya dan menghentikan genosida.

Jika mereka melakukan hal ini, Eropa akan bertekuk lutut dan menjadi pembela terbesar Palestina.

Negara-negara yang paling mendukung genosida Israel – Perancis, Jerman dan Inggris – akan mengubah posisi mereka. 

Tapi itu tidak diakukan, bahkan sekedar dijadikan agenda pembahasan selama KTT.

Tidak ada tindakan tegas atau keputusan berani yang bisa diharapkan dari Liga Arab, karena pihak yang mati tidak dapat berbicara, dan organisasi tersebut pada dasarnya telah mati selama bertahun-tahun.

Sedangkan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada dasarnya hanya digunakan untuk mempromosikan kepentingan pemimpin-pemimpin negara anggota, terutama Saudi, dalam menarik simpati umat Islam.

Seperti KTT itu sendiri yang kemudian hanya sebuah drama untuk menarik simpati umat islam dunia, tapi tanpa solusi untuk umat.

Kini semuanya sangat bergantung pada masyarakat muslim non-pemeritahan, dan tentu saja pada akhirnya Allah sudah cukup sebagai penentunya.

Sementara rakyat Palestina di Gaza telah berjanji kepada Tuhan dan Rasul-Nya untuk melawan perampasan pendudukan ini, sebagaimana hak mereka untuk menjaga Al-Aqasa, dan untuk membebaskan Palestina.

Seperti halnya keyakinan umat Islam di seluruh dunia, rakyat Palestina faham ini masih agak jauh dan membutuhkan perjuangan, tapi semuanya yakin pembebasan itu akan segera terjadi, Insya Allah.

Wallahu’alam Bisshawab.

[]

Reporter: Reporter Editor: admin