Oleh: Dr Jeje Zainuddin
(Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat PERSIS)
Aparat telah mengusut kasus dugaan penistaan Holywings, sebagian pihak yang bertanggungjawab juga sudah ditahan. Begitu pula banyak outletnya yang ditutup dan dicabut ijin operasinya.
Apakah akar masalahnya selesai?
Tentu kita patut apresiasi sikap responsif aparat dan berhusnuzhan atas keseriusan pemerintah mengusut kasus ini. Dan semoga benar-benar sampai tuntas kepada penegakan hukum yang maksimal, sehingga berdampak pada efek jera bagi siapapun.
Tetapi bukan berarti masalah penistaan simbol-simbol suci agama ini sudah berakhir dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini sampai pada akarnya. Karena banyak faktor dan kepentingan lain yang terus memanfaatkannya dengan berbagai cara dan dari berbagai aspek.
Ada kemajemukan pemahaman antar agama, konflik ideologi, politik, hingga ekonomi. Yang paling berbahaya menurut hemat saya, dalam setiap kasus penistaan agama ini, ada dua hal.
Pertama, ada upaya yang sistematis untuk membongkar asas kehidupan berbangsa bernegara kita yang berbasis agama Ketuhanan Yang Mahaesa, yang faktanya adalah mayoritas muslim.
Kedua, ada upaya terus menerus meliberalisasi dan sekularisasi opini publik dengan cara mendesakralisasi simbol suci agama, kemudian menstigmatisasi penganut agama yang taat sebagai ancaman radikalisme, intoleran, dan ekstrim yang ujungnya difitnah sebagai akar terorisme.
Maka akar masalah dari maraknya penistaan agama ini yang harus diwaspadai dan dilawan oleh seluruh umat beragama adalah gerakan yang mirip konspirasi untuk "memonsterisasikan" agama dan umat beragama. Yang bernafsu menjadikan agama dan beragama sebagai sesuatu yang buruk dan intoleran yang tidak diperlukan dalam kehidupan bernegara.
Karena itu selain pemerintah harus tegas dan konsisten dalam penegakan hukum, seluruh masyarakat beragama, khususnya umat Islam wajib bersatu melawan gerakan anti agama dan gerakan anti Islam yang diusung para ekstrimis liberal, sekuler, dan ateis.
Karena kegagalan menghentikan gerakan Islamophobia ini akan berdampak salah satu dari dua keburukan yang sama sama menghancurkan kehidupan umat dan bangsa:
Pertama, kita dipaksa menerima maraknya narasi dan perilaku penistaan pada agama dan kita diam demi atas nama toleransi, keharmonisan, HAM dan demokrasi, dan dengan itu kita dipuji sebagai muslim yang moderat, toleran dan pro NKRI, meskipun dengan seperti itu kita telah mengkhianati agama kita dan telah khianat kepada kesepakatan pendiri bangsa;
Kedua, kita semua bersatu melawan dan menghentikan gerakan ini dengan cara yang benar secara agama dan sesuai koridor konstitusi, membela hak-hak agama kita. Meskipun dengan sikap demikian bangsa kita dikecam sebagai bangsa yang intoleran, bangsa fanatik, ekstrim, dan stigma-stigma buruk lainnya.
Pada setiap kasus penistaan agama, masyarakat kita seperti selalu jadi uji coba calo-calo survey dunia tentang corak keagamaan kita. Seberapa besar prosentase yang sudah pro liberal, sekuler, dan ateis, dan seberapa besar yang masih tetap konservatif, intoleran, dan radikal.
Mungkin dalam pikiran kaum penista agama, kalaupun mereka tidak bisa merubah opini publik tentang ketidak sucian agama, tapi mereka telah berhasil menunjukan pada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih radikal dan intoleran dalam agama.
Sehingga masih terus dibutuhkan bantuan finansial yang besar kepada kelompok dan LSM pro liberal dari negara-nagara barat, untuk proyek liberalisasi dan sekularisasi muslim Indonesia.
Di sisi lain, mereka juga berhasil memancing kelompok-kelompok radikal intoleran keluar dari sarangnya dan memetakan lembaga-lembaga dan ormas-ormas pendukungnya untuk segera dituduh sebagai musuh negara.
Benarkah seperti itu? Bukan hal mustahil!
Jika demikian, kenapa takut distigma bangsa radikal??!*
Editor: Fia Afifah R