(Tinjauan Astronomis Atas Penetapan Awal Dzulhijjah 1428 H)[1]
Oleh: Syarief Ahmad Hakim[2]
PENDAHULUAN
Memahami dasar-dasar astronomi –lebih tepatnya astronomi praktis– dalam menentukan dan menetapkan Awal Bulan Qomariyah (ABQ) mutlak diperlukan, karena tanpa memahaminya seringkali melahirkan kesimpulan yang salah sampai pada tingkatan yang fatal sekali.
Adanya itsbat atas pengakuan hasil ru’yat yang menurut berbagai hasil hisab kontemporer secara mutawatir masih di bawah ufuk merupakan akibat dari ketidakfahamannya.
Demikian juga munculnya pertanyaan, mengapa Arab Saudi seringkali mendahului Indonesia dalam berhari raya Idulfitri dan IdulAdha, padahal Indonesia lebih Timur dan lebih dahulu melihat matahari. Atau pertanyaan, kenapa antara Arab Saudi dengan Indonesia yang hanya empat jam perbedaan waktunya bisa berbeda satu hari dalam penanggalanya adalah diakibatkan oleh ketidaktahuannya tentang astronomi praktis.
Di samping itu, adanya pemahaman pergantian tanggal dan hari menurut kalender Masehi yang berbasis konsep IDL, yang telah terpola dalam pemikiran seseorang, seringkali berpengaruh kepada pemahaman pergantian tanggal dan hari menurut almanak Islam yang berbasis konsep ILDL.
Tulisan berikut akan menjelaskan secara ringkas tentang konsep IDL dan ILDL dalam pergantian hari dan tanggal, perbedaan antara keduanya, serta implikasinya terhadap pergantian tanggal dan hari. Di samping itu dibahas pula analisa astronomis dalam penentuan awal Dzulhijjah 1428 H yang telah lalu.
KONSEP IDL DALAM PERGANTIAN TANGGAL DAN HARI
IDL adalah singkatan dari International Date Line yang artinya garis tanggal internasional, yaitu suatu garis khayal yang berhimpit dengan garis bujur (meridian) 180º.
Garis khayal ini berseberangan dengan garis bujur Greenwich (0º Greenwich di Inggris)[3]. Ke sebelah timur dari meridian 0º ini sampai setengah lingkaran (180º) disebut dengan Bujur Timur (BT), sedangkan ke sebelah baratnya sampai meridian 180º disebut dengan Bujur Barat (BB).
Antara Bujur Timur dengan Bujur Barat berhimpit pada meridian 180º. Perubahan hari dan tanggal dalam kalender Masehi secara internasional ditetapkan “berawal” dari meridian 180º ini.
Penetapan sistem GMT (Greenwich Mean Time) bermula dari prakarsa Stanford Fleming dari Kanada dan Charles F. Down dari Amerika Serikat pada tahun 1883. gagasan mereka ini diterima menjadi “Sistem Tata waktu Internasional” dalam suatu konferensi internasional (International Meridian Conference) di Washington DC pada tahun 1884 yang dihadiri oleh perwakilan dari 25 negara.
Tentang kota Greenwich yang dijadikan titik acuan meridian 0º, sampai saat ini penulis belum menemukan alasan ilmiahnya, kecuali karena nenek moyang Charles F. Down berasal dari kota kecil Greenwich dekat London, Inggris.
Kebetulan sekali, di kota tersebut terdapat sebuah observatorium yang tergolong paling tua di dunia.
Demikian juga tentang awal hari atau pukul 00:00:00 –yang disepakati jatuh pada tengah malam– tidak dimulai dari Greenwich belum ditemukan alasan ilmiahnya, kecuali karena para pemrakarsa sistem GMT tidak mau dan tidak rela apabila “tanah leluhurnya” dikaitkan dengan “kegelapan malam” karena tidak sesuai dengan jargon yang mereka anut “The Sun Never Sets in the British Empire” (“Matahari Tak Pernah Terbenam bagi Kerajaan Britania Raya”).
Oleh karenanya, mereka lebih suka “kegelapan” tersebut membayangi kawasan Pasifik (di sekitar meridian 180º).
Munculnya gagasan garis batas tanggal ini karena dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa bumi yang bulat ini tidak mungkin disatutanggalkan dan disatuharikan. Dari 24 jam waktu dalam sehari semalam, 12 jam diantaranya sama dalam satu tanggal dan satu hari, sedangkan 12 jam yang lainnya berbeda tanggal dan harinya.
Dimulainya tanggal dan hari dalam kalender masehi ditetapkan pada tengah malam (pukul 00:00:00) berpangkal dari meridian 180º (Garis Batas Tanggal Internasional). Secara geografis, Garis Tanggal Internasional ini terletak membujur dari kutub utara ke kutub selatan, melalui selat Bering (antara Rusia dan Alaska) melintasi tengah-tengah Samudra Pasifik, melewati perairan Kepulauan Fiji dan sedikit di sebelah timur Selandia Baru. Lihat gambar 1
Gambar 1
Sistem kalender masehi didasarkan kepada peredaran semu harian dan semu tahunan matahari. Pergantian tanggal dan hari didasarkan kepada peredaran semu harian matahari, sedangkan peredaran semu harian matahari itu sejajar dengan lingkaran equtor bumi, maka konsekwensinya, garis tanggal internasional itu harus tegak lurus dengan lingkaran equator atau membujur dari kutub utara ke kutub selatan bumi sebagai mana yang terlihat pada gambar di atas. Dengan demikian, lingkaran meridian yang melalui Greenwich pun (0º) harus membujur dari kutub utara ke kutub selatan Bumi.
Wilayah permukaan bumi yang termasuk Bujur Timur akan lebih dulu memasuki tanggal dan hari barunya dibandingkan dengan wilayah permukaan bumi yang termasuk Bujur Barat. Karena wilayah Bujur Timur akan lebih dulu melihat matahari dibandingkan dengan wilayah Bujur Baratnya. Ketentuan ini merupakan implikasi dari konsep IDL karena menjadikan peredaran matahari sebagai pedoman pergantian tanggal dan harinya.
KONSEP ILDL DALAM PERGANTIAN TANGGAL DAN HARI
ILDL adalah singkatan dari International Lunar Date Line atau garis tanggal bulan internasional, maksudnya ialah garis yang memisahkan antara wilayah yang sudah masuk tanggal baru dan yang belum masuk tanggal baru yang didasarkan kepada peredaran bulan.
ILDL inilah yang dipakai dalam sistem penanggalan bulan qomariyah. Berbeda dengan konsep IDL yang didasarkan pada peredaran semu matahari, maka konsep ILDL ini berpedoman kepada peredaran hakiki bulan. Dimana kedua konsep ini mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa aturan-aturan dalam konsep IDL ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam konferensi penentuan meridian internasional, hal ini berbeda dengan konsep ILDL yang didasarkan pada ketentuan syar’i atau berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dari dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang berkaitan dengan penentan awal bulan qomariyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Hilal sebagai objek dalam penentuan awal bulan qomariyah, hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]:189 dan QS Yaa-siin [36]:39
- Hilal yang dimaksud dalam QS [2]:189 di atas, adalah hilal yang terlihat oleh mata, hal ini berdasarkan hadits riwayat (HR.) Muslim dari Abu Hurairah dan HR. Muslim dari Ibnu Umar.
- Jumlah hari dalam satu bulan adalah 29 atau 30 hari, sebagaimana HR Muslim dari Ibnu Umar. Untuk mengetahui apakah bulan sekarang berjumlah 29 atau 30 hari bisa dengan dua cara. Pertama dengan ru’yat yang dilakukan pada tanggal 29 qomariyah pada waktu maghrib, apabila hilal berhasil dilihat maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal baru, sedang apabila tidak terlihat maka malam itu masih termasuk bulan yang berjalan atau masih tanggal 30. Kedua dengan hisab, jika menurut hisab hilal pada tanggal 29 qomariyah tersebut telah memungkinkan dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya telah masuk tanggal satu bulan baru, sedangkan kalau menurut hisab tidak mungkin terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya masih tanggal bulan yang sedang berjalan.
- Peredaran hakiki bulan berlaku dari arah barat ke arah timur langit, hal ini berbeda dengan peredaran semu matahari yang bergerak dari arah timur ke arah barat. Dalil tentang peredaran hakiki bulan ini terdapat dalam QS Yaa-siin [36]:40. Implikasi dari peredaran bulan ini adalah wilayah barat akan lebih dulu masuk tanggalnya dibandingkan dengan wilayah sebelah timur.
- Waktu pergantian tanggal dan hari dalam kalender Islam adalah waktu maghrib, hal ini berdasarkan QS Yaa-siin [36]:40 dan HR. Muslim dari Ibnu Abbas.
- Bagi daerah-daerah yang telah melihat hilal pada waktu maghrib, maka malam itu dan keesokan harinya adalah sudah masuk tanggal baru, sedangkan bagi daerah-daerah yang tidak melihat hilal, maka malam itu dan keesokan harinya masih termasuk bulan yang sedang berjalan. Hal ini sesuai HR. Muslim dari Kuraib.
- Daerah-daerah yang akan terlihat hilal pada waktu maghribnya dan yang tidak akan terlihat, dapat diketahui dengan hasil perhitungan (hisab), di mana eksistensi dari hisab ini dibenarkan menurut QS Yunus [10]:5, QS al-Isra [17]:2 dan hadits HR. Muslim dari Ibnu Umar.
BEBERAPA PERBEDAAN ANTARA KONSEP IDL DAN ILDL
Perbedaan mendasar antara konsep IDL dan ILDL antara lain:
- Dimulainya tanggal dan hari dalam konsep IDL adalah tengah malam atau jam 00:00:00, sedangkan konsep ILDL adalah pada waktu maghrib.
- Dalam konsep IDL yang lebih dulu masuk tanggal itu adalah wilayah timur, sedangkan dalam konsep ILDL yang lebih dulu masuk tanggal adalah wilayah barat.
- Jumlah hari dalam tiap-tiap bulan dalam konsep IDL untuk bulan tertentu adalah tetap, contohnya bulan Januari tetap berjumlah 31 hari atau April tetap 30 hari, kecuali bulan Februari akan berjumlah 28 hari pada tahun basithoh dan 29 hari dalam tahun kabisah, sedangkan dalam konsep ILDL jumlah harinya 29 atau 30 hari dan tidak dikhususkan untuk bulan tertentu. misalnya jumlah hari pada bulan Ramadhan adakalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari.
- Garis batas tanggal dalam konsep IDL tidak berubah, yaitu senatiasa berhimpit dengan meridian 180º, sedangkan dalam konsep ILDL senantiasa berubah-rubah.
- Bentuk garis tanggal dalam konsep IDL adalah lurus, membujur dari arah kutub utara ke kutub selatan, sedangkan bentuk garis tanggal dalam konsep ILDL senantiasa berubah-rubah tergantung posisi bulan terhadap bumi dan matahari.
Untuk perbedaan konsep ILDL pada point ke empat dan ke lima dapat dijelaskan melalui gambar-gambar berikut ini:
Gambar 2
Pada gambar 2, garis yang memanjang secara diagonal dari arah kiri ke kanan adalah garis yang menghubungkan saat matahari dan bulan terbenam bersama-sama, sehingga ketinggian hilal pada saat itu 0º, oleh karena itu dinamakan pula garis ketinggian hilal 0º.
Sebelah atas dari garis diagonal tersebut ketinggian hilal pada waktu maghrib menurut waktu setempat masih di bawah ufuk, seperti di Indonesia ketinggiannya antara minus 4°- 5°, demikian juga di Arab Saudi masih minus 4°- 5°, artinya dalam kondisi demikian antara Indonesia dan Arab Saudi awal bulan qomariyahnya akan sama, yaitu malam esok dan lusa harinya baru masuk tanggal 1 bulan baru.
Perhatikan juga letak garis ketinggian hilal 0° pada permukaan bumi dan bentuk garis diagonalnya, karena kedua hal tersebut jika dibandingkan dengan gambar 3 dan gambar 4 ada perbedaannya.
Pada gambar 2, posisi garis ketinggian hilal 0° terlentang antara lintang 32° LU sampai 45° LS. Sedangkan gambar 3, posisi garis ketinggian hilalnya melintang mulai 42° LS dan berakhir di 90° LU pada bujur 120° BB. Demikian juga pada gambar 4, posisi garis ketinggian hilalnya melintang secara diagonal antara 65° ke 40° sampai bujur 95° BT, kemudian berbelok ke bawah sampai 90° LS pada bujur 45° BT.
Sebenarnya garis ketinggian hilal 0° itu bukan hanya terletak pada posisi di ke-tiga gambar di atas, tetapi setiap awal bulan qomariyah berubah-rubah dari satu permukaan bumi ke permukaan bumi yang lain. Sedangkan dalam konsep IDL garis tanggal internasionalnya tetap berada di bujur 180° BT/BB.
Dilihat dari segi perbedaan bentuk garis ketinggian hilal 0°, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada gambar 2, garis ketinggian hilal 0°nya melintang secara diagonal dari kiri atas ke kanan bawah, sedangkan gambar 3 melintang secara diagonal dari kanan atas ke kiri bawah (kebalikan dari gambar 2). Bandingkan dengan gambar 4 yang garisnya lebih menyerupai kurva, terbentang dari arah sisi kiri ke arah bawah. Inilah yang dimaksud perbedaan pada point ke lima.
Gambar 3
Pada gambar 3, menggambarkan posisi hilal di wilayah Indonesia dan Arab Saudi yang sama-sama sudah positif dengan ketinggian antara 2°-4° untuk wilayah Indonesia dan antara 6°-7°untuk wilayah Arab Saudi.
Pada posisi seperti gambar 3 di atas, pergantian tanggal baru qomariyah antara Indonesia dan Arab Saudi akan sama, yaitu malam itu dan keesokan harinya sudah masuk tanggal 1 bulan baru[4].
Gambar 4
Gambar 4 menggambarkan posisi garis ketinggian hilal 0° yang memisahkan antara wilayah Indonesia dan Arab Saudi, sehingga ketinggian hilal di Indonesia dan Arab Saudi berbeda. Di Indonesia ketinggian hilalnya masih di bawah ufuk kira-kira -1°, sedangkan di Arab Saudi sudah positif di atas ufuk kira-kira 2°. Dalam posisi yang demikian maka Arab Saudi akan lebih dulu masuk tanggal baru bulan qomariyahnya, yaitu esok harinya, sedangkan Indonesia akan belakangan atau hari berikutnya.
Jadi, secara astronomis antara Indonesia dengan Arab Saudi dalam mengawali awal bulan qomariyah hanya ada dua kemungkinan. Pertama, akan bersama-sama apabila pada waktu maghrib di kedua wilayah tersebut hilal masih di bawah ufuk atau sudah sama-sama di atas ufuk dan hilal terlihat.
Kedua, akan berbeda, yaitu Arab Saudi lebih dulu masuk tanggal barunya sedangkan Indonesia belakangan, apabila ketika maghrib di Indonesia hilal tidak mungkin terlihat yang salah satu sebabnya karena masih di bawah ufuk, tetapi empat jam kemudian ketika maghrib di Arab Saudi hilal sudah terlihat atau memungkinkan terlihat. Tetapi yang tidak mungkin (mustahil) adalah Indonesia lebih dulu awal bulannya sedangkan Arab Saudi belakangan.
PENYEBAB PERBEDAAN KONSEP ILDL DARI IDL
Adanya perubahan bentuk dan letak garis ketinggian hilal 0° pada setiap awal bulan qomariyah itu disebabkan oleh dinamika perubahan peredaran bumi, bulan dan matahari dari waktu ke waktu yang sangat bervariasi antara satu dengan yang lainnya.
Perubahan pergerakan bumi dalam mengitari matahari kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat, tergantung jauh-dekatnya posisi bumi terhadap matahari. Demikian juga tempat beredarnya bumi mengelilingi matahari tidak sejajar dengan bidang equator bumi melainkan membentuk sudut 23,5 °, sehingga terbit dan terbenam matahari tidak tetap dalam satu titik (titik timur dan titik barat), tetapi kadang-kadang di sebelah utara equator atau di sebelah selatannya.
Pergerakan yang dinamis juga dilakukan oleh bulan, baik peredaran rotasinya maupun revolusinya. Periode rotasi bulan hampir sama dengan periode revolusinya, yaitu 27,32 hari, tetapi adanya pergerakan rotasi bulan yang teratur dengan pergerakan revolusi bulan yang tidak teratur (tergantung jarak bulan ke bumi), berpengaruh juga pada bentuk dan letak garis ketinggian hilal 0°.
Di samping itu, dalam gerakan revolusinya bulan senantiasa mengikuti arah peredaran semu tahunan matahari. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa bidang lintasan semu tahunan matahari (ekliptika) membentuk sudut 23,5° terhadap equator bumi, sehingga matahari akan beredar sepanjang tahun di antara 23,5° LU dan 23,5° LS.
Hanya dua kali beredar di sekitar equator, yaitu setiap tanggal 21 Maret dan tanggal 23 September. Dari Maret ke September matahari berada di belahan bumi utara, sedangkan dari September ke Maret matahari berada di belahan bumi selatan. Bidang lintasan bulan dalam mengelilingi bumi berhimpitan dengan bidang ekliptika dan membentuk sudut ± 5°.
Oleh karena itu dalam peredaran semu tahunan matahari bulan kadang-kadang terletak di sebelah utara matahari atau di sebelah selatannya. Gerakan-gerakan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan letak garis ketinggian hilal 0° pada tiap-tiap awal bulan qomariyah.
ANALISA ASTRONOMIS AWAL DZULHIJJAH 1428 H.
Melalui beberapa software program hisab yang beredar sekarang, kita dapat mengetahui ketinggian hilal pada setiap tempat di permukaan bumi, bahkan data-data hilal lainnya yang dijadikan parameter dalam pergantian awal bulan qomariyah telah tersedia.
Kita tinggal memilih kriteria mana yang akan digunakan. Salah satu kriteria yang digunakan dalam tulisan ini adalah ketinggian hilal pada saat magrib yang sebelumnya diawali dengan terjadinya ijtima’, karena menurut al-Qur’an QS Yaasiin [36]:40 hilal yang terlihat itu adalah hilal setelah terjadinya ijtima’.
Salah satu lembaga yang menghitung dan mempublikasikan peta ketinggian hilal 0°, di Indonesia adalah BMG (Badan Mateorologi dan Geofisika) yang produknya tertera pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5 di bawah ini memperlihatkan garis ketinggian hilal 0° untuk awal Dzulhijjah 1428 H pada peta dunia, dihitung pada waktu maghrib tanggal 29 Dzulqo’dah 1428 H yang bertepatan dengan tanggal 9 Desember 2007 untuk semua tempat di permukaan bumi. Pada pojok kanan atas tertera tulisan “Ijtima’: 9 Desember, jam: 17:40 GMT”, maksudnya bulan dan matahari berada dalam satu bujur astronomis tepat pada jam 17:40 GMT atau jam 00:40 WIB.
Artinya pada tanggal 29 Dzulqo’dah pada waktu maghrib belum terjadi ijtima’ sehingga ketinggian hilal di sekitar 80% wilayah dunia pada waktu maghribnya masih di bawah ufuk, termasuk di wilayah Indonesia dan Arab Saudi.
Gambar 5
Dari gambar 5 di atas kita melihat seluruh wilayah Kerajaan Saudi Arabia (KSA) hilal masih di bawah ufuk, dengan ketinggian hilal yang bervariasi di beberapa kota KSA. Ketinggian hilal di Makkah -5° 11’ 36.5”, di Madinah -5° 26’ 7.4”, di Tabuk -5° 39’ 16.8”, di Damman -5° 51’ 26.3” dan di Thaif -5° 11’ 34.5”.
Demikian juga ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia masih di bawah ufuk dengan ketinggian yang paling tinggi adalah di Pelabuhanratu, yaitu -4° 28’ 48.8” dan yang terendah adalah di Jayapura, yaitu -6° 12’ 24.8”.
Berdasarkan data astronomis yang demikian, maka di wilayah Indonesia demikian juga di seluruh wilayah Arab Saudi pada maghrib tanggal 29 Dzulqo’dah hilal mustahil dapat dilihat, karena sampai saat ini belum ada teknologi apalagi mata manusia yang mampu menembus permukaan bumi untuk melihat hilal yang masih berada di bawah ufuk.
Tetapi nyatanya kita dikejutkan dengan berita bahwa di Arab Saudi ada beberapa orang yang mengaku melihat hilal dan pengakuannya diterima oleh Majlis Qodho al-A’la KSA. Sayangnya berdasarkan surat resmi yang dikeluarkan Majlis Qodho al-a’la yang diterima penulis, data peru’yatnya, semisal nama, umur, jabatan.
Demikian juga data posisi hilal, tempat dan waktu pelaksanaan rukyat tidak disebutkan. Padahal penyebutan data-data tersebut sangat penting dalam sistem pelaporan modern yang nantinya akan diinventarisir sebagai data ilmiah.
PENUTUP
Sudah saatnya kalangan yang berpegang kepada ru’yat dalam penentuan awal bulan qomariyah menjadikan data hasil hisab sebagai pedoman dalam melakukan ru’yatnya, karena dengan berpedoman kepada data-data hisab akan mempermudah proses pencarian hilal yang masih muda. Rupa hilal yang begitu tipis dengan latar belakang langit yang masih terang oleh pantulan sinar matahari di balik ufuk, ditambah dengan cepatnya terbenam hilal akan mempersulit proses pencarian hilal, sehingga kesempatan untuk melihat hilal hilang, habis waktunya untuk menyisir ufuk langit barat dengan penglihatannya.
Lebih dari itu, mengetahui data-data hisab lebih awal bisa dijadikan barometer apakah kesaksian seseorang melihat hilal itu benar atau salah, sehingga tidak akan pernah menerima kesaksian orang yang melihat hilal jika nyata-nyata hilalnya masih di bawah ufuk.
Demikian juga mengetahui asal-muasal lahirnya data-data di atas yang didasarkan pada posisi bulan dan matahari terhadap bumi di garis edarnya masing-masing pada suatu saat, sangat penting untuk dimiliki. Inilah yang dibahas dalam ilmu astronomi praktis atau ilmu falak.
Konsep IDL dan ILDL dalam pergantian tanggal dan hari lahir dari rahim yang sama, yaitu ilmu astronomi praktis tetapi dilihat dari sisi yang berbeda, sehingga menghasilkan kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.
Wallahu A’lam Bishshawab
Jakarta, Februari 2008
[]
[1] Disampaikan dalam acara Mubahasah PW. Pemuda Persis DKI, 10 Februari 2008, di Masjid al-Husaini, Johar Baru, Jakarta Pusat
[4] Untuk memudahkan pemahaman, dalam tulisan ini hanya parameter ketinggian hilal saja yang dijadikan pedoman pergantian awal bulan qomariyah, beda Azimuth bulan-matahari, jarak sudutnya, iluminasi bulan tidak dimasukan.
Foto: CulturalWorld.Org