Oleh: Muhammad Rizaldi Mina
(Ketua Bidang Hukum dan HAM PP HIMA PERSIS)
Tepat pada tanggal 23-27 September lalu Persatuan Islam (Persis) melaksanakan gelaran besar yang sempat tertunda selama setahun akibat pandemic Covid-19, yakni muktamar ke-16. Pada gelaran ini, banyak spekulasi mencuat tentang siapa nahkoda yang akan memimpin Persis. Beberapa nama akhirnya mengudara seperti Dr.KH.Jeje Zaenudin, Prof.KH.Atip Latipulhayat, KH.Aceng Zakaria, KH.Iman Setiawan Latief dan masih ada beberapa nama yang lainnya. Silih berganti narasi datang di setiap kajian, pertemuan warung kopi dan media social setiap kader dan simpatisan Persis untuk menimbang siapa sang nahkoda itu. Akhirnya usai sudah gonjang ganjing narasi setelah peserta muktamar memilih Dr.KH.Jeje Zaenudin sebagai nahkoda baru Persis setelah KH.Aceng Zakaria.
Dr.KH.Jeje Zaenudin tentu tidak menghadap ruang kosong untuk mengelola Persis kedepannya, ada banyak tantangan yang harus dijawab dan dihadapi Persis, terlebih refleksi tentang gerak dakwah Persis perlu dirancang secara matang akhir-akhir ini sehingga di tahun 2023 mendatang tepat pada saat Persis menginjak usia 100 tahun telah terangkai arah gerak yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan tuntutan zamannya.
Sebelum mengurai tantangan zaman di usia 100 tahun Persis, tentu focus kita bergerak pada waktu filosofis (100 tahun). Memang sudah selayaknya focus kita bergerak pada hal tersebut, mengingat Rasulullah SAW pernah bersabda seperti ini:
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus setiap 100 tahun seseorang yang akan memperbaharui agamanya” (HR.Abu Dawud dalam Kitabu Al-Malahim Bab Ma Yadzkuru fi Qarnil Miati No: 4291)
Penulis disini berada pada posisi yang setuju dengan Imam Aabadi tentang konteks 100 tahun diciptakan individu pembaharu, yakni individu yang hadir ditengah menyusutnya ilmu pengetahuan, Sunnah dan merekahnya sifat jahil dan perkara bid’ah. (Aunul Ma’bud Bab Ma Yadzkuru fi Qarnil Miati) yang menjadi pertanyaan adalah apakah mujaddid terletak dalam konteks Persis saja (secara sectoral) atau menyeluruh secara trans-nasional? Setelah membaca keterangan dari Imam Suyuthi dalam kitab Ghayah Talkhis Al-Murad fi Fatawa yang menerangkan nama mujaddid secara tendensius dalam genealogi syafi’iyyah, maka pada titik ini penulis beranggapan bahwa para penulis madzhab yang lainpun memiliki nama mujaddidnya sendiri. Akhirnya mujaddid dapat diklaim secara sectoral oleh kelompok tertentu. Maka sah jika pada tahun 1923 penulis membuat klaim bahwa Persis adalah mujaddid secara kolektif dan A.Hassan sebagai individunya. Namun sebagai konsekuensi logis di tahun 2023 tepat 100 tahun, Persis perlu mencetak mujaddid baru baik secara ide organisasi kolektif ataupun individu.
Tajdid Persis di tahun 1923 sampai beberapa waktu setelahnya mungkin lumrah diketahui sebagai gerakan modernis puritan yang cenderung resisten terhadap ritus yang berangkat dari tradisi, tak pelak narasi yang diglorifikasikannya adalah “Anti Taqlid”, “Al-Ruju ila Qur’an wa Sunnah” dan eksploitasi kata “Bid’ah”. Konteks yang berkembang pada saat itu memang ritus peribadatan sehingga debat yang dikenang adalah persoalan akidah dan ibadah (disiplin epistemology). Namun Persis tidak absen mengembangkan eksploitasi narasi diatas dalam berbagai sector, sebut saja Muhammad Natsir dalam nalar politik tentang NKRI (meskipun penulis tidak memiliki data matching antara ide politik NKRI dengan narasi Persis pada saat itu, tapi penulis yakin bahwa ide Natsir tentang NKRI pasti berjangkar pada spirit “Al-Ruju ila Qur’an wa Sunnah”) yang menurut penulis layak diperdebatkan kembali untuk konteks hari ini.
Tantangan Persis pasca tahun 1923 dibuka KH.Latief Muchtar dalam tulisannya “Siapkah Persis menjadi mujaddid lagi?” yang merespon Muktamar ke-10 dengan tema “Dengan Muktamar Kita Mantapkan Qur’an dan Sunnah dalam Menghadapi Era Tinggal Landas”. Tantangan yang berkembang pada saat itu menurut KH.Latif Muchtar adalah adanya industrialisasi. KH.Latif melanjutkan bahwa tahap pembangunan mengandung transformasi, modernisasi masyarakat dan bahkan ditopang oleh abad informasi dengan mempergunakan alat-alat canggih yang ini berdampak pada turunnya nilai dan moralitas masyarakat. Industrialisasi yang berkembang pada saat itu memang bercorak liberal sehingga muncul masyarakat modern dan ide tentang modernisasi islam dengan jargon “sekularisasi” “Pluralis” dan “Liberalisasi” berdatangan agar menyelaraskan islam dengan kebutuhan zaman. Namun sebagai sikap, Persis memiliki jawaban dengan point sebagai berikut:
1. Pembaharuan pemikiran islam berupaya memahami Islam dari kedua sumbernya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa harus apriori terhadap budaya local.
2. Bahwa pembaharuan pemikiran islam dimaksudkan untuk mengaplikasikan ajaran islam dalam kehidupan masyarakat tanpa mengabaikan realitas social-budaya yang ada.
3. Bahwa pembaharuan diarahkan untuk membangun peradaban baru yang ditegakkan atas dasar sintesis ideal islam dan nilai-nilai social budaya local tanpa mengorbankan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Penting untuk disampaikan bahwa sikap Persis pada titik ini cenderung akomodatif, tampil memilah dengan pertimbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun perlu diingat juga bahwa tulisan KH.Latif Muchtar ini adalah semacam gerbang pembuka untuk generasi penerusnya yang benar-benar akan membawa Persis masuk pada 100 tahun, karena tulisan ini hadir saat belum masuknya Persis ke usia 100 tahun.
Oleh sebab itu, maka menjadi penting perbincangan tentang Persis di masa transisi menuju tahun ke-100 ini, mengingat kita semua yang mencatatkan tinta sejarahnya pada generasi kita kelak, terlebih kepengurusan structural jam’iyyah di tiap level pimpinan dan otonom. Lantas, apa sebenarnya tantangan Persis di tahun ke-100 yang bertepatan pada detik menuju abad 21 di tahun 2023, jawabannya tidak lain adalah Percepatan.
Hantu Baru itu Bernama Percepatan
Jika boleh sedikit mengutip Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens: A Brief History of Humankind, maka salah satu persoalan yang serius diulas oleh Harari berangkat dari dalil “manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang menciptakan kiamatnya sendiri”. Manusia terus bekerja keras untuk menantang setiap hukum-hukum evolusi termasuk seleksi alam lewat apa yang disebut sebagai “desain cerdas”. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, manusia berusaha mencari cara mengakali alam dengan dalih kehidupan yang lebih madani. Menurut Harari, jalan menuju dalil tersebut mengambil tiga bentuk yaitu rekayasa organic, rekayasa siborg dan rekayasa kehidupan yang anorganik sepenuhnya. Dengan menggunakan istilah anorganik, Harari mencoba untuk berimajinasi tentang entits yang sepenuhnya hasil rekayasa pemrograman. Dengan Algoritma, manusia mulai menciptakan program yang dapat belajar dan berevolusi secara mandiri. Titik akhirnya menghadirkan perkembangan teknologi berupa makhluk yang bukan hanya memiliki jasmani yang berbeda, melainkan juga dunia kognitif dan emosional yang sangat berbeda”.
Jika Harari dianggap terlalu Yahudi untuk dipercayai, maka sedikit kutipan dari Prof.Rhenald Kasali dalam bukunya “Disruption” akan menyegarkan kita, Prof.Rhenald menyebutkan bahwa perubahan itu tiba-tiba terjadi begitu besar, cepat, mengejutkan dan memindahkan. Yang dapat dilihat cirinya dalam enam hal seperti teknologi yang dengannya menciptakan robot yang menggantikan manusia, kekuatan uang menjadi ilusi, Asia dalam gempuran urbanisasi, lahirnya generasi muda yang panjang umur, arus global dan wajah-wajah baru pemimpin dunia. Ian Pearson dalam bukunya “You Tomorrow Tentang Kita di Masa Depan” seorang futurolog juga menjelaskan tentang lahirnya super computer tercepat memiliki kekuatan pemrosesan setara dengan otak manusia yang disebutnya dengan era kecerdasan buatan (Artificial Intelegence). Menurut Pearson sekitar tahun 2045, akan ada Salinan elektronik otak secara eksternal yang pada hakekatnya telan mendorong perkembangan penalaran yang kegiatan berfikirnya ada diluar dari otak manusia.
Sebagai pendapat akhir penulis akan mengutip Chris Skinner dalam bukunya “Manusia Digital; Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang” menjelaskan tentang pertumbuhan web, sejak dimulainya web ketika jaringan dibuat, teknologi ketika jejaring social mulai dikembangkan, tentang internet pasar, tentang masa internet dikembangkan untuk segala sesuatu dan di tahun 2020-an terakhir adalah teknologi yang menciptakan kegiatan kecerdasan buatan sempit (ANI), kecerdasan buatan umum (AGI) yang dipandang melampaui kecerdasan manusia, dan kecerdasan buatan super (ASI).
Tantangan percepatan ini sejatinya meruntuhkan sekat global, namun bagi Dan Schiller dalam bukunya “Rosa Luxemburg’s Internet” justru ini merupakan daya imperalisme baru para pemilik modal untuk mempertahankan ekonomi yang kapitalistik. Sejarah mencatat bahwa Amerika melakukan penguasaan data melalui parkir Silicon Valey di beberapa negara dan ini jelas merupakan ide bisnis neo-liberal digital. Sekat global alih-alih runtuh yang terjadi adalah penguasaan negara dengan modal ekonomi terhadap negara yang tidak bermodal.
Maka tantangan baru tersebut dapat diuraikan dalam point sebagai berikut:
1. Manusia yang sudah lenyap kesadarannya diserap oleh penalaran digital (sebagai konsekuensi dari ekosistem digital). Konsekuensi buruk yang terjadi adalah arus informasi satu arah tanpa filter lewat algoritma. Contoh: Anak muda menonton konten pornografi akhirnya menghasrati. Karena secara subjek dia mengalami kekosongan, akhirnya terus mencari dan mesin mengarahkan terus pada kesadaran itu.
2. Robot baru yang cerdas serupa manusia, konsekuensi yang terjadi adalah manusia buatan yang jelas menggantikan manusia. Contoh: jika ada robot yang memimpin sholat dengan kecerdasan hafalan mutqin dan tajwid yang benar, apakah sholat dapat dikatakan sah?
3. Urbanisasi yang mengakibatkan surplus penduduk di wilayah metropolitian, hal ini terjadi akibat adanya bonus demografi. Ini juga berdampak pada anak muda yang semakin banyak namun tak tentu arah dengan kehidupan yang serba instan dihadapannya. Konsekuensinya adalah percepatan arus tenaga kerja yangmengakibatkan kesenjangan social semakin tinggi akibat pengangguran yang ikut bergerak cepat juga
4. Menurut Yasraf Amir Piliang adalah terjadinya globalisasi non-fisik yang berarti arus informasi tak terbendung dan meledak, sulit untuk memilah secara rasional dan akhirnya irrasional (fenomena ini disebut Post-Truth).
5. Pemimpin baru dunia yang memiliki wajah lugu namun berhati monster, kebijakannya merusak ekosistem alam sampai mengakibatkan kejahatan baru dengan dalih pembangunan, deforestasi dan yang lainnya.
Mujaddid Persis 4.0 untuk Transformasi
Jika dulu tokoh Persis di tahun 1923 mendapatkan sebuah fakta dilapangan tentang praktik para penganut tradisionalis dengan ritus ibadah yang berjangkar pada kebudayaan, maka glorifikasi narasi “Anti Taqlid” “Ruju Ila Qur’an wa Sunnah” dan “Bid’ah” secara literal adalah hal yang benar-benar logis. Namun bagaimana jika tantangannya bergeser pada berebut data digital, arus informasi yang begitu deras, usangnya pertukaran dengan mata uang dan pemimpin yang benar-benar memiliki wajah monster, apakah glorifikasi narasi itu masih dapat relevan? Bagi penulis tetap relevan dengan catatan perlu untuk dieksploitasi ke ranah yang lebih strategis dan luas.
Jika percepatan memiliki konsekuensi robot yang menggantikan imam masjid, maka Persis perlu mengurai jawaban yang tidak hanya berlandaskan kepada dalil-dalil fiqih atau jika boleh lebih radikal maka Persis dapat membuat robot yang diprogram dengan penguasaan ilmu keislaman yang mumpuni untuk nantinya dipersiapkan mengisi slot imam dan khutbah di setiap level pimpinan, namun yang terpenting adalah perlunya mengurai genealogi dari robot ini kenapa harus ada ataupun harus tidak ada. Atau mungkin ketika Crypto dan Bit Coin hadir berkembang, maka Persis perlu menyiapkan kader yang benar-benar memiliki potensi besar untuk mengurai sejarah dan perkembangan Crypto. Bukan hanya itu, Persis perlu juga menyiapkan perangkat jika suatu saat justru pertukaran uang malah bergeser kepada Bit Coin. Pointnya Persis harus ambil secara cepat tantangan global sebagai efek dari percepatan arus informasi. Maka di titik ini, indicator mujaddid seperti diungkapkan Al-Aabadi bisa masuk yakni hadirnya kembali ilmu pengetahuan.
Sebagai mujaddid di era 4.0 Persis rupanya tak luput dari serangan ideology baru bernama Dataisme (Bahasa Yuval Noah Harari dalam Homo Deus) dimana pemusatan data adalah kunci utamanya dan sialnya Persis ataupun kita mustahil untuk mengelak dan menghindarinya. Akhirnya Persis perlu membuat program yang selaras dengan ini, sebagai contoh adalah pengintegrasi big data santri disetiap pesantren dan SMA/SMK yang memiliki siswa/siswi simpatisan, outputnya adalah arah kaderisasi yang bisa diakses oleh setiap otonom dalam jenjangnya dimulai IPP dan IPPI, HIMA HIMI Persis, Pemuda dan Pemudi Persis dan ditutup oleh Persis dan Persistri. Begitupun seluruh focus kepakaran, seperti Dewan Hisbah perlu memiliki big data, kepentingannya adalah kaderisasi ulama yang terpusat dan berjenjang. Indicator ilmu pengetahuan bisa masuk dan Sunnah pun sama karena bertumpu pada nilai “Al Ruju Ila Qur’an wa Sunnah”.
Rupanya sebagai mujaddid di era percepatan ini, maka wajah pemimpin negara dan dunia akan sampai pada titik kebijakan yang menghancurkan banyak hal, mulai dari kerusakan lingkungan, perubahan iklim, urbanisasi dan bonus demografi yang mengakibatkan percepatan kerja dengan stagnannya angka kemiskinan dan kesenjangan menjadi tantangan tersendiri. Maka sisi perlawanan terhadap kemunkaran sebagai nilai profetik perlu hadir dari Persis dan pada titik ini semua indicator hadir. Ulama dan intelektual itu sama, memiliki jalan sunyi dan ketakutan pada Allah SWT diiringi dengan idealisme yang kuat meskipun berbeda dengan khalayak.
Point penting dari semuanya adalah bagaimana mujaddid terkhusus Persis di era percepatan mampu mempertontonkan islam dihadapan dunia dengan segala model tantangannya. Serupa dengan ide KH.Latief Muchtar, meski dengan pengakomodiran, namun tetap dalam bingkai Qur’an dan Sunnah. Meresponnya mungkin tidak semudah jatuh cinta kepada Persis, tapi biarkan kita terus mencoba dan berwacana. *