Sekulerisasi Pendidikan: Bahaya Laten! (Reinventing Kurikulum Pendidikan Islam)

oleh Reporter

27 Juni 2022 | 23:04

Oleh: Ilham Habiburohman
(Wakil Mudir Bidang Kurikulum Tingkat MTs PPI 50 Ciputri Lembang)

 

Tidak salah jika kita mengatakan bahwa titik balik kemajuan barat dalam teknologi dan sains modern adalah saat para ilmuwan, dengan keputusan bulat, mendobrak entitas sosial dan budaya bahkan agama sekalipun yang dianggap menghalangi “kemajuan” (Revolusi Sains 1500-1700). Hegemoni abad pertengahan dalam perang dunia telah menahbiskan barat sebagai acuan dan tolok ukur kehidupan bangsa di seluruh dunia, tidak hanya dalam dunia teknologi kemiliteran, termasuk juga ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan gaya hidup.

Kemajuan-kemajuan itu pada kenyataanya merupakan bencana pula, baik kepada kemanusiaan, alam, maupun nilai-nilai hidup. Menurut sejarawan Marvin Perry, barat adalah sebuah peradaban besar, tetapi sekaligus sebuah drama tragis (a magic drama); peradaban penuh kontradiksi. Satu sisi memberi sumbangan besar bagi kemajuan pengetahuan dan teknologi, tapi di sisi yang lain memberi kontribusi besar atas penghancuran alam semesta. Ribuan bahkan jutaan nyawa manusia melayang, perbudakan, eksploitasi kekayaan, rasisme, imperialsime, dan berkembang menjadi superioritas bangsa barat yang merasa sebagai ras terbaik dunia. Oleh karenanya, masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dipaksa untuk menyesuaikan pada trend atas dasar “kemajuan” peradaban untuk mengikuti apa-apa yang terjadi di dunia barat, bahkan tidak sedikit menyentuh pemikiran dan keyakinan.

Kontrakdiksi kemajuan iptek yang menyimpan persoalan besar tadi tidak terlepas dari teguhnya mereka pada konsep nihilisme; segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup apa pun harus bebas dari nilai, bahkan ilmu pengetahuan sekalipun. Tidak ada kebenaran yang objektif, tidak ada nilai moral, manusia bebas melakukan apa pun semaunya, apalagi nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Akibatnya, semua aspek dalam kehidupan dilibas oleh gelombang sekularisme; menafikan konsep tuhan, melahirkan faham materialisme, ketidakseimbangan alam, fenomena kehidupan harus berbasis panca-indera, empiris dan logis.

Euforia menihilkan konsep ketuhanan dalam ilmu pengetahuan sangat bertalian erat dari traumatik sejarah. Ketika segregasi antara dogma gereja dengan temuan-temuan para ilmuwan yang bertolak belakang; ambil saja Galileo Galilei yang atas temuan ilmiahnya dalam dunia fisika observasional membuat Ia harus mendekam di penjara sampai akhir hidupnya. Kasus ini merupakan sedikit bagian yang membuat Eropa keluar dari abad kegelapan (dark ages) karena gereja dianggap gagal dalam menjawab temuan-temuan sains. Oleh karenanya, gereja dianggap kuno, ketinggalan zaman, bahkan menghalangi yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan anti agama, agama cukup di tempat ibadah, ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari nilai, dan seterusnya.

Gelombang gerakan sekularisme ini bukan hanya terjadi di barat, celakanya hal ini menjadi trend di kalangan muslim. Dengan berdalih demi Islam yang berkemajuan, para sarjana-sarjana muslim alumni barat tidak sedikit membawa fahamnya ke Indonesia yang kemudian menjadi visi dibakukan dalam kurikulum pendidikan. Sebagai contoh, berbagai kajian pemikiran telah menganalisis bagaimana kritik Prof. H. M. Rasjidi terhadap buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution sebagai alumni McGill University (Kanada), yang dianggap telah membawa kurikulum sekuler pada IAIN (yang saat ini menjadi UIN). Menurutnya, buku wajib mahasiswa IAIN ini sarat dengan nilai-nilai sekuler. Mulanya gerakan ini menjalar di tingkat perguruan tinggi. Namun, kampanye ini menjalar ke anak-anak usia menengah dengan menggunakan berbagai media, bahkan tanpa disadari kurikulum-kurikulum formal pun telah disusupi paham sekularisme; belajar hanya diorientasikan pada kehidupan materialistis, generasi yang berilmu tetapi tidak bermoral, dan tentu dalam jangka panjang menjadi kontraproduktif dengan visi misi bangsa Indonesia dan insan kamil yang dicita-citakan oleh Rasulullah saw.

Simpulan bahaya ini bukan tanpa alasan: pertama, degradasi akhlak menjadi taruhan, meniadakan nilai agama, moral, sosial, dan budaya secara tidak langsung mengesampingkan tujuan utama dalam pendidikan. Mayoritas akan setuju bahwa tujuan utama dalam pendidikan ialah menghadirkan manusia yang berakhlak; yang dapat menggunakan ilmunya bukan hanya bermanfaat bagi manusia, tetapi ia dedikasikan amal kehidupannya untuk ibadah pada Tuhannya. Inilah esensi dari akhlak. Selaras dengan yang disabdakan Nabi saw., “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak mulia.” Bahwa visi pendidikan Islam hakikatnya bukan soal kehebatan akal, fisik, dan yang berkaitan dengan dunia, tetapi spiritual menjadi unsur yang harus dijaga, diluruskan, dan diberi gizi. Aspek fundamental inilah yang menurut penulis absen dari visi pendidikan barat. Sehingga, kemajuan ilmu pengetahuan malah meninggalkan tinta kelam sebagaimana dibahas sebelumnya.

Kedua, bertentangan dengan filosofi hidup (filosofische grondslag) bangsa Indonesia. Tercantum dengan jelas dan lugas dalam pembukaan UUD 1945 maupun yang tercantum dalam Pancasila bahwa bangsa ini berlandaskan pada prinsip ketuhanan. Sekalipun tidak mendaulat diri sebagai negara agama, tetapi secara implisit negara kita adalah negara ber-agama. Sampai kapan pun, meniadakan nilai agama dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah bertentangan, bahkan harus dicegah karena itu menjadi tugas negara untuk mencerdaskan masyarakatnya.

Ketiga, tidak ada korelasi kemunduran dengan ketaatan pada Islam. Jika barat maju karena meninggalkan agamanya, hal itu menjadi kemunduran bagi Islam. Islam hakikatnya telah menjadi pedoman kemajuan. Mengikuti tren ala barat (dengan tidak menafikan secara keseluruhan) hanya akan menjadi ‘bom bunuh diri’. Kemajuan IPTEK harus beriringan dengan kemajuan iman dan takwa (imtak).

Oleh sebab itu, dunia pendidikan menjadi corong utama dalam laju peradaban. Semua akan bersepakat bahwa kemajuan sebuah bangsa diawali dari pendidikan, dan pendidikan terbaik adalah pendidikan yang berbasis nilai, terutama nilai ilahiah (agama) dan dunia Islam di masa awal telah membuktikan itu. Sejak zaman ajali, manusia telah disetting untuk mengabdi pada Tuhannya (Al-A’raf: 172). Ketika meniadakan Tuhan dalam dirinya, hakikatnya ia mereduksi kemuliaanya sebagai manusia.

Di Indonesia, secara unik dalam catatan historis sejak masa penjajahan hingga kini, peran pendidikan paling penonjol dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam (ormas Islam). Jika harus mengukur jasa besar terhadap pendidikan bangsa, ormas Islamlah yang paling besar berkontribusi. Tidak terkecuali Persatuan Islam, yang pada mulanya hanya berbasis pada pendidikan sorogan hingga sekarang bersifat formal, terus melahirkan alumni-alumni yang telah mendedikasikan ilmunya untuk masyarakat dan negara.

Sayangnya, pendidikan yang digariskan para founding fathers sedikitinya telah miss-orientasi. Para alumni pesantren hanya didorong untuk masuk universitas terkemuka, masuk jurusan yang banyak diminati perusahaan, dan menjadi mesin uang, tanpa jelas output yang diinginkan. Hal ini tidak terlepas dari virus sekularisme yang tanpa sadar merasuki kurikulum pesantren. Kadangkala sekolah hanya stempel nilai di atas kertas, hanya untuk mencapai kata lulus atau hanya mengejar angka ijazah yang tinggi; setelah itu masuk dunia kerja, menikah, dan menikmati masa pensiun sebelum mati. Maka relevan apa yang disampaikan Buya Hamka, “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”.

Oleh karenanya, mesti ada kerja kolektif, bahwa: Pertama, PR Pendidikan bangsa ini bukan tugas individual, tetapi tugas bersama keluarga, lembaga pendidikan, dan juga negara. Kedua, visi utama dalam pendidikan adalah membangun akhlak yang mulia, aspek kognitif ada para urutan berikutnya sehingga kurikulum sudah semestinya memberikan porsi besar pada penguatan akhlak. Ketiga, reinventing atau menemukan kembali tujuan utama dalam mendidik agar para pendidik tidak miss-orientasi atau gagal faham. Sehingga, tidak juga melahirkan generasi yang menihilkan nilai ilahiah dalam hidupnya. Terakhir, kita berharap pendidikan yang kita canangkan melahirkan pelanjut perjuangan Islam yang maslahat untuk bangsa, yang berbasis pada rahmatan lil alamin.

[]

Editor: Dhanyawan

 

 

 

Reporter: Reporter Editor: admin