Usulan Kriteria Awal Bulan Qamariyah untuk NU dan Muhammadiyah

oleh Reporter

20 April 2023 | 23:50

Oleh: Syarief Ahmad Hakim

Dalam acara Musyawarah Nasional Hisab Rukyat (Penentuan Awal Bulan Qomariyah) yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, di Jakarta pada Rabu, 25 April 2012, salah seorang narasumber dari MUI Pusat yaitu KH. Ma’ruf Amin, menyampaikan harapan dan keinginannya bahwa dalam mengawali dan mengakhiri puasa demikian juga pelaksanaan Idul Adha di Indonesia supaya sama, berbarengan dalam satu hari dan satu tanggal.

Suatu harapan yang merepresentasikan keinginan mayoritas umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, dalam berbagai pertemuan dan acara Hisab Rukyat harapan ini senantiasa dikemukakan, seperti sebelumnya dikemukakan oleh Dirjen Bimas Islam, Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA. ketika memberi pengarahan dalam acara pembukaan Temu Kerja Badan Hisab Rukyat Kemenag RI di Pontianak, 10 April 2012 yang lalu.

Lebih lanjut KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa NU telah mengalami “kemajuan” dengan mau menerima hisab imkanur rukyah, meskipun hanya dipakai untuk menolak kesaksian rukyat hilal yang kurang dari 2° sebagaimana penolakan mereka kepada kesaksian di Jepara dan Cakung untuk tanggal 1 Syawal 1432 H.

Oleh karena itu beliau meminta kepada Muhammadiyah untuk dapat meningkatkan kriteria ketinggian hilalnya dari 0° menjadi 2°, sekaligus beliau juga berharap kepada NU dalam menerima hisab imkanur rukyah itu bukan hanya untuk menolak tetapi juga dalam menetapkan awal bulan yang hilalnya sudah lebih dari 2°.

Dalam rangka ikut urun-rembug pemikiran, maka dalam sesi tanya-jawab penulis selaku perwakilan dari PERSIS memberi masukan kepada perwakilan NU dan Muhammadiyah sebagaimana yang akan dikemukakan dalam tulisan berikut ini. 

PEDOMAN PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH NU DAN MUHAMMADIYAH

Dapat dikatakan bahwa antara NU dan Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan qomariyahnya berada pada posisi yang berseberangan. Di satu sisi NU berpegang kepada rukyah dan menolak penggunaan hisab terutama untuk menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan, sedangkan Muhammadiyah berpegang kepada hisab dan menolak dengan tegas terhadap rukyat.

Pendirian NU di atas didasarkan kepada dalil-dalil umum tentang penanggalan qomariyah di dalam al-Qur’an dan dalil-dalil yang terperinci dalam hadits Rasulullah saw terutama tentang mengawali dan mengakhiri bulan Ramadhan.

Di antara hadits yang dijadikan landasan adalah:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kamu karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihatnya (hilal), apabila (hilal) terhalang atasmu maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari”. (Shahih Bukhori 6:481).[1]

Dari hadits di atas dan hadits-hadits yang semakna dengannya, kalangan NU berpendapat bahwa dalam menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal hanya dengan dua cara, yaitu: Pertama dengan rukyah (melihat langsung), yaitu usaha melihat hilal tanggal 29 Sya’ban (untuk menentukan 1 Ramadhan) dan tanggal 29 Ramadhan (untuk menentukan 1 Syawal) pada waktu maghrib di hari terjadinya ijtima’.

Jika hilal berhasil dirukyat maka malam itu dan keesokan harinya sudah masuk tanggal 1 bulan baru hijriyah, tetapi jika hilal tidak berhasil dirukyat maka dengan cara yang ke-dua yaitu istikmal, maksudnya menyempurnakan bilangan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari atau dengan kata lain tanggal 1 bulan baru jatuh pada lusa harinya.

Cara istikmal sebenarnya implikasi dari cara yang pertama, yaitu rukyat, akan tetapi tidak berhasil melihat hilal. Artinya tetap saja yang jadi acuan adalah rukyat. Oleh karena itu dalam prakteknya, meskipun ketinggian hilal menurut hisab kontemporer sepakat masih di bawah ufuk sehingga mustahil bisa dirukyat, kalangan NU tetap saja melakukan rukyat. Sehingga diktum keputusan 1 Ramadhan dan 1 Syawal  didasarkan kepada hilal yang tidak berhasil dirukyat, bukan pada istikmal.

Penetapan rukyat sebagai satu-satunya cara dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal merupakan konsekwensi logis dari pemahaman mereka terhadap hadits riwayat Imam Bukhori di atas, dimana mereka berpendapat bahwa huruf lam dalam lafazh لِرُؤْيَتِهِ  menunjukkan لِلتَعْلِيْلِ artinya berfungsi sebagai ‘illat atau penyebab, sehingga hadits di atas diterjemahkan dengan: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berlebaranlah kamu karena melihat hilal ...”. Dengan demikian, menurut mereka lafazh لِرُؤْيَتِهِ (rukyat hilal) harus dimaknai dengan فِعْلٌ (aktifitas kerja), sehingga aktifitas rukyatul hilal menjadi penyebab adanya puasa dan lebaran dan kalau tidak rukyatul hilal berarti tidak ada puasa dan tidak ada lebaran. Atau dengan ungkapan lain hadits ...  صوموا لرؤيتهdi atas menjadi dalil wajibnya rukyatul hilal.  

Sementara itu Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan qomariyahnya didasarkan pada hisab semata sedangkan rukyat ditolak sama sekali. Pendirian ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an Q.S. ar-Rahmaan [55] : 5, Q.S. Yunus [10] : 5, Q.S. at-Taubah [9] : 36, Q.S. al-Baqarah [2] : 189 dan Q.S. Yaa-Siin [36] : 39-40. Kemudian hadits:

عَنْ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya, dari Nabi saw sesungguhnya ia bersabda: “Sesungguhnya kami umat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung, satu bulan itu segini dan segini, yakni kadang-kadang 29 hari dan kadang 30 hari.” (Shahih Bukhari 6:487, Shahih Muslim 5:351, Sunan Abi Daud 6:255, Sunan an-Nasa-i 7:300-301, Musnad Ahmad 10:311, 427, 12:392, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2:497, 498, as-Sunanul Kubro Lil Baihaqi 4:250, 7:42, as-Sunanul Kubra Lin Nasa-i 2:74, 3:447, dan Mustakhraj Abi Awwanah 6:55).

Dalam mengomentari hadits di atas, Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA. menegaskan bahwa hadits di atas merupakan dalil wajibnya menetapkan awal bulan qamariyah berdasarkan hisab. Kesimpulan tersebut didapat setelah beliau menjelaskan tentang ‘illat hukum dalam perintah dan larangan Allah SWT. Menurut beliau perintah dan larangan Allah itu ada yang tidak ber’illat (tidak berkausa, tidak disertai keterangan sebab/alasan) dan ada yang ber’illat, yaitu ada keterangan sebab/alasan mengapa diperintahkan atau dilarang seperti itu.

‘Illat perintah atau larangan itu ada yang disebutkan secara bersamaan dengan penyebutan perintah atau larangannya, dan ada pula yang disebutkan terpisah, bahkan ada yang tidak disebutkan sama sekali, namun dapat ditemukan melalui ijtihad. Diagramnya dapat dilihat sebagai berikut:

                                             Tidak ber’illat

Perintah/larangan:                                            disebutkan bersamaan

                                             Ber’illat               disebutkan terpisah

Tidak disebutkan, tetapi dapat diketahui dengan ijtihad            

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan ‘illat yang terpisah dari perintah rukyat. Perintah rukyat disebutkan dalam hadits: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berlebaranlah kamu karena melihat hilal, apabila (hilal) terhalang atasmu maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari”. (Shahih Bukhori 6:481).

Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah ber’illat dan ‘illatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab sebagaimana pengakuan Nabi saw di atas.

Lebih jauh beliau mengatakan bahwa pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan hisab, seperti di zaman Nabi saw, maka digunakan rukyat karena itulah sarana yang tersedia dan mudah pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat.”

Artinya apabila hisab belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi ummi di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunakan hisab saja.[2]

Penggunaan kriteria wujudul hilal sekaligus penolakan terhadap kriteria imkanur rukyah merupakan implikasi dari pemahaman di atas. Menerima kriteria imkanur rukyah berarti sama seperti menerima rukyat itu sendiri. Oleh karena itu dalam memahami hadits صوموا لرؤيته  mereka mengartikan lafazh  رؤية  dengan أدرك / علم, yakni memahami atau melihat dengan akal pikiran. Dengan demikian, menurut Muhammadiyah membuktikan keberadaan hilal dengan hisab -yang merupakan hasil pemikiran- merupakan pelaksanaan dari hadits  صوموا لرؤيته  itu sendiri.

USULAN PERSATUAN ISLAM

Ada dua point pemikiran yang diusulkan penulis pada sesi tanya-jawab di atas. Pertama, menurut penelaahan penulis, perbedaan di dalam mengawali dan mengakhiri penanggalan qamariyah bukan semata-mata perbedaan antara hisab dan rukyat atau perbedaan kriteria di intern kalangan hisab dan di intern kalangan rukyat akan tetapi bermula dari perbedaan penafsiran terhadap teks-teks qur’an dan hadits mengenai penanggalan tersebut.

Perbedaan awal bulan qamariyah hanya implikasi dari pemahaman yang beragam terhadap sumber rujukan tersebut. Oleh karena itu, mendiskusikan sumber rujukan dengan cara istinbath yang benar mutlak diperlukan, maka dalam kesempatan itu penulis mengusulkan supaya Kemenag memfasilitasi untuk mengadakan satu forum kajian khusus membahas tentang dalil-dalil penentuan awal bulan qamariyah dengan peserta yang terbatas dan kualifide (terpilih).       

Kedua, merespon keinginan K.H. Ma’ruf Amin yang berharap NU dan Muhammadiyah supaya meningkatkan kriteria masing-masing dari kriteria selama ini, maka penulis memberi masukan kepada kedua ormas tersebut sebagai berikut. Untuk NU penulis mengusulkan supaya mengkaji ulang pemahaman dalil صوموا لرؤيته dimana selama ini mereka memaknai لِ dalam lafazh لِرُؤْيَتِهِ dengan لِلتَعْلِيْلِ artinya berfungsi sebagai ‘illat atau penyebab, namun menurut beberapa literatur kata لِ dalam صوموا لرؤيته ternyata menunjukkan للتوقيت (menunjukkan waktu), sebagaimana dalam satu kaidah lughah disebutkan:  

واعلم أن اللام إن دخلت على ما يتكرر كانت للتوقيت كأنت طالق لرمضان المعنى إذا جاء وقت رمضان طلقت وإن دخلت على ما لا يتكرر كانت للتعليل فتطلق في الحال كقوله أنت طالق لرضا زيد فتطلق وإن سخط .(تحفة الحبيب على شرح الخطيب ٤:٢٩٦)

Ketahuilah bahwa lam apabila masuk kepada yang berulang-ulang, fungsinya untuk at-tauqit (menunjukkan waktu), seperti “anta thaaliqu li ramadhana” (anda bercerai pada bulan ramadhan), maksudnya apabila datang bulan ramadhan anda bercerai. Dan jika lam tersebut masuk kepada yang tidak berulang-ulang, berfungsi li-ta’lil (menunjukkan sebab) maka bercerailah dalam hal ini seperti perkataan anda bercerai karena ridhonya Zaid maka bercerailah walaupun dibenci. (Tuhfatul Habiib ‘ala Syarhil Khatiib 4:296)[3].

Aktifitas rukyatul hilal adalah peristiwa yang berulang-ulang, dilakukan setiap bulan ketika ingin menetapkan awal bulan qamariyah. Maka kata لِ dalam lafazh لِرُؤْيَتِهِ berfungsi untuk menunjukkan waktu (للتوقيت) yang dalam hal ini mempunyai arti setelah (للبعد), sehingga hadits ...  صوموا لرؤيته harus diartikan dengan “Berpuasalah kamu setelah terlihat hilal ...”, hal ini sama seperti huruf lam dalam surat al-Isra ayat 78 أقم الصلاة لدلوك الشمس ... harus diartikan “Dirikanlah shalat setelah tergelincirnya matahari ...” bukan “Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari ...”, karena tergelincirnya matahari adalah peristiwa yang senantiasa berulang setiap hari.[4]

Dengan demikian maka lafazh لِرُؤْيَتِهِ (rukyat hilal) tidak dimaknai dengan فِعْلٌ (aktifitas kerja) atau melakukan rukyat karena dari segi ungkapan hadits di atas pun yang berbentuk fi’il amar itu kata صوموا yang artinya berpuasalah bukan kata لرؤيته yang berarti melihat/penglihatan. Oleh karena itu hadits di atas bukan dalil wajibnya rukyat tetapi dalil wajibnya puasa setelah terlihatnya hilal sama seperti أقم الصلاة لدلوك الشمس ... bukan dalil wajibnya mengeserkan matahari ke arah barat tetapi dalil wajibnya shalat zhuhur dan ashar setelah matahari bergeser ke arah barat. Yang tepat lafazh لِرُؤْيَتِهِ harus dimaknai dengan إِنْفِعَالٌ (akibat/hasil dari pekerjaan) yaitu adanya hilal awal bulan qamariyah dan keberadaan hilal awal bulan tersebut bisa diketahui melalui dua cara yaitu melalui rukyat dan atau melalui hisab. Artinya hisab pun merupakan wasilah atau sarana untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan.  

Berdasarkan pemahaman di atas maka NU diharapkan bisa meningkatkan penerimaan hisab imkanur rukyat yang asalnya dari menolak hasil rukyat yang kurang dari 2° menjadi menerima hisab imkanur rukyat untuk menetapkan hasil hisab yang lebih dari 2° meskipun hilal tidak berhasil dirukyat.

Sementara itu kepada Muhammadiyah penulis menyampaikan pemikiran bahwa mereka bisa tetap berpegang kepada kriteria hisab wujudul hilal namun terma wujudul hilalnya harus dipahami dalam perspektif logika kebahasaan. Artinya istilah wujudul hilal harus dimaknai sesuai dengan kaidah etimologi dan terminologi.

Bahwa wujud artinya ada dan sesuatu yang ada bisa dibuktikan oleh manusia melalui dua potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Potensi jasmani adalah potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui hal-hal yang kongkrit atau nyata. Potensi jasmani yang dapat mengetahui hal-hal yang kongkrit ini dinamakan indra yang lima (panca indra), yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap dan indra perasa. Meskipun kita tidak bisa melihat angin tapi kita yakin adanya angin karena ada hembusannya yang terasa oleh kulit kita.

Kita dapat mengetahui adanya garam dalam masakan karena kita mengecap rasa asin pada masakan tersebut. Kita meyakini ada orang yang buang angin karena kita mencium baunya. Kita yakin ada orang di teras rumah kita meskipun tidak terlihat, karena kita mendengar ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kita tahu ada perabotan di rumah kita, karena kita melihat perabotan tersebut.

Sedangkan potensi rohani adalah potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui hal-hal yang abstrak atau ghaib seperti Allah, malaikat, surga, neraka dll. Potensi ini ada dua yaitu akal pikiran yang bersumbar dari otak dan perasaan yang bersumber dari hati. Allah bersifat wujud artinya ada tetapi wujud/adanya Allah tidak bisa diketahui dengan panca indra karena Allah bersifat ghaib. Wujud Allah hanya dapat diketahui oleh akal yang sehat seperti kisah nabi Ibrahim as dan perasaan yang bersih atau dalam terminologi aqidah disebut iman.    

Dengan demikian, maka apabila Muhammadiyah membuktikan keberadaan hilalnya (wujudul hilal) itu hanya dengan hasil hitungan saja (hasil akal pikiran), maka sama saja mereka menjadikan hilal tersebut sebagai makhluk ghaib. Padahal secara empirik maupun fakta ilmiyah hilal itu adalah benda yang kongkrit atau nyata dan untuk membuktikan keberadaannya adalah dengan indra penglihatan atau mata sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para shahabatnya.

Sedangkan pengertian hilal adalah bentuk penampakan bulan pertama kali yang terlihat seperti bentuk sabit –sebenarnya lebih menyerupai benang yang melengkung, karena begitu tipisnya- dari bumi setelah bulan mati atau ijtimak. Pengertian ini dipahami dari asbabun nuzul Q.S. Al-Baqoroh [2] : 189, yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; ...”. (Q.S. Al-Baqoroh [2] : 189).

Waktu itu, para shahabat senantiasa menyaksikan penampakan bulan yang dimulai dari bentuk sabit, setengah lingkaran, purnama, setengah lingkaran dan kembali lagi ke bentuk sabit. Fenomena ini kemudian ditanyakan oleh mereka kepada Rasulullah saw, kenapa hal demikian itu terjadi? Maka turunlah ayat di atas.[5]

Bandingkan dengan pengertian hilal menurut versi kelompok wujudul hilal, menurut mereka hilal adalah dimana pada saat maghrib di hari terjadinya ijtima’ bulan sudah di atas ufuk lebih dari 0° atau matahari telah lebih dulu terbenam dari pada bulan meskipun berbeda satu menit.

Secara astronomis, bulan dengan ketinggian sekitar 0° di atas ufuk tidak akan menampakan bentuk hilal (sabit) sebab hampir seluruh permukaan bulan yang menghadap ke arah bumi adalah permukaan gelapnya sedangkan permukaan yang terangnya menghadap ke matahari, sehingga cahaya yang diterima dari matahari tidak bisa dipantulkan bulan ke arah bumi. Belum lagi kuatnya sinar matahari demikian juga terangnya langit yang melatarbelakangi tempat bulan berada akan menghalangi terlihatnya hilal yang sangat tipis itu.

Oleh karena itu menurut kaidah bahasa arab nama yang paling tepat untuk bulan pada saat itu adalah qamar bukan hilal, karena dalam bahasa arab, untuk menunjukkan bulan itu ada beberapa istilah, yaitu al-qamaru (the moon/bulan) ialah benda langit yang menjadi satelit alami bumi atau yang senantiasa mengelilingi bumi. Al-hilalu (crescent/bulan sabit) adalah pantulan sinar bulan yang minimal. Al-badru (full moon/purnama) adalah pantulan sinar bulan yang maksimal.

Jadi, kata wujud dalam istilah wujudul hilal menurut logika kebahasaan harus dapat dibuktikan dengan penglihatan mata tidak cukup dengan perhitungan saja atau dengan kata lain keterlihatan hilal di zaman Rasulullah saw harus dijadikan kriteria, dan istilah hilal harus dipahami dengan bulan sabit yang terlihat, artinya tidak cukup dengan ketinggian bulan lebih sedikit dari 0° saja.[6]

Insya Allah jika Muhammadiyah memahami istilah wujudul hilalnya sesuai dengan uraian di atas dan NU sudah menerima kriteria hisab imkanur rukyah untuk menetapkan awal bulan qamariyahnya maka keinginan MUI dan mayoritas umat Islam Indonesia untuk berbarengan dalam mengawali bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzul Hijjah akan terwujud.

Wallahu A’lam Bish-Shawwab,

Jakarta, Mei 2012

 
 


[1] Walaupun redaksinya berbeda-beda namun di “kutubul mutuun” banyak dimuat hadits yang semakna dengan hadits di atas. 

[2] www.muhammadiyah.or.id, sekali lagi mengapa menggunakan hisab, oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA.

[3]  Lihat juga dalam kitab Syarhu al-Bahjah al-wardiyah 15:481

[4] Misykatul mashaabiih ma’a syarhihi mir’atul mafaatiih 6:857 dan mir’atul mafaatiih syarhu misykatul mashaabiih 6:271  

[5] Ash-Shabuni: Shafwatut Tafasir juz I halaman 125, Sayyid Quthub: Fii Zhilalil Qur’an juz I halaman 256, Muhammad ‘Aly as-Sayyis: Tafsier Ayat Ahkaam I : 98, Syekh Muhammad bin Shaalih al-Utsaimin: al-Ilmaam bi ba’dhi ayaatil ahkaam : 29

[6] Hadits Nabi saw tentang kami umat yang ummi, dengan sendirinya tidak untuk menjelaskan ‘illat dari dijadikannya hilal sebagai standar awal bulan, sehingga kemudian dipahami seperti pemahaman Muhammadiyah; karena Nabi saw saat itu tidak bisa menghitung kapan adanya qamar, maka awal bulan dirujuk pada hilal, sekarang sesudah bisa dihitung kapan munculnya qamar, maka standar awal bulan adalah qamar, bukan hilal. Pemahaman ini keliru sebab hilal sebagai standar awal bulan adalah sesuatu yang qath’i berdasarkan hadits-hadits yang ada. Hadits kami umat yang ummi tersebut hanya menjelaskan ‘illat kenapa dilakukan istikmal (pembulatan menjadi 30 hari) tanpa hisab. Ketika hisab sudah bisa dilakukan, maka istikmal harus didasarkan pada hisab, jangan tanpa melalui hisab. (editor Risalah).

Reporter: Reporter Editor: admin