Sebagaimana yang kita rasakan, perkembangan zaman semakin pesat. Ada banyak perubahan saat dulu kita kecil, dengan saat ini kita dewasa dan memiliki anak. Perubahan zaman tak bisa ditawar-tawar, mau tidak mau kita mesti bisa adaptasi dengan perubahan tersebut.
Mampu beradaptasi berarti kita sebagai orangtua mampu mendidik, membesarkan dan menshalehkan anak-anak di zaman yang sedang mereka isi saat ini. Baginda Nabi SAW mengingatkan kita agar mampu mendidik anak sesuai zamannya. Artinya, Nabi SAW menghendaki kemajuan generasi-generasi muda muslim, namun tetap memiliki nili-nilai keimanan yang tertanam dengan baik di hatinya. Generasi ini yang kelak akan mampu menunjukan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin.
Beradaptasi dengan zaman juga berarti kita terus belajar memahami perkembangan apa yang sedang terjadi di zaman ini, lalu kita mampu menyesuaikan dengan berbagai perubahan dan tetap menghadirkan nilai-nilai ketauhidan di dalamnya sebagai sebuah prinsip.
Setidaknya kita selaku orangtua jangan sampai memiliki rasa tak mau belajar dan jangan ada rasa malas untuk sekedar mengetahui apa itu media sosial (semacam Instagram, Facebook, Youtube, Whatsapp dll), internet dan konten apa saja yang bisa diakses lewat internet itu, sampai pada tata cara menggunakan smartphone. Gaptek boleh, asal paham baik buruknya smatphone dan internet. Gaptek boleh, asal tidak acuh terhadap perilaku anak dalam berinteraksi dengan smartphone.
Semangat belajar itu didasari cita-cita selaku orangtua agar anak-anak nya mampu memahami ajaran agama Islam dengan benar dan baik atau biasa kenal dengan Tafaquh Fiddin.
Seorang anak dinilai memiliki tafaquh fiddin di era milenial manakala ia mampu menjalankan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Ia belajar tentang iman, maka ia terapkan saat berselancar di dunia maya. Ia berhati-hati, bahkan takut manakala mau mengakses konten-konten berbau maksiat (umpanya konten porno).
Ia belajar adab dan akhlak, maka ia mampu menerapkannya dalam keseharian pergaulannya baik di rumah atau di lingkungan sosialnya. Bicaranya jadi terjaga, bahkan status-status medsosnya juga terpelihara dari perilaku hoax (menyebar berita bohong atau palsu), ujaran kebencian (hate speak) hingga menjauhi perilaku bullying (dzalim terhadap perasaan orang lain).
Tafaquh Fiddin indikator utamanya adalah anak belajar dan memahami 1 ayat atau 1 hadits, lantas ia mampu mengimplementasikannya (mengamalkannya) dalam kehidupan sehari-hari. Semakin banyak yang ia pahami, semakin kaya pengamalannya. Mulai dari mana agar anak bisa Tafaqquh Fiddin ?
Anak Lebih Mau Menuruti Apa yang Dia Lihat
Untuk bisa menanamkan nilai-nilai agama Islam, ketauhidan, keimanan hingga akhlakul karimah maka setiap orangtua wajib memberikan contoh kepada anaknya. Tak bisa ditawar-tawar, poin ini wajib dilakukan. Sebab, anak lebih menuruti apa yang orangtuanya lakukan ketimbang apa yang orangtuanya ucapkan. Anak lebih mudah tergerak bilamana orangtuanya mendorong dengan sebuah tindakan, bukan sekedar kata-kata. Pantas saja, Baginda Nabi SAW menasehati kita agar mulai dengan memberi contoh dari dalam diri kita. Sabdanya:
ابدأ بنفسك
“Mulailah dari dirimu sendiri...” (H.R. Muslim)
Bersihkan Hati Anak
Sebelum melangkah ke poin-poin berikutnya, hal penting yang wajib kita ikhtiarkan selaku orangtua adalah mengkondisikan hati anak-anak kita bersih dan baik. Inilah penyebab Allah memberikan hidayah padanya. Hati inilah yang akan mengawal perilakunya.
Godaan zaman boleh banyak dan menggiurkan, tapi kalau hati sudah bersih ia akan memilih jalan yang baik. Agar bisa memastikan bersihnya hati anak kita, maka ajari langsung anak-anak kita tatacara shalat dan pahamkan setiap bacaannya. Tentu ini butuh kerja keras. Jika tak sanggup oleh diri kita sendiri, boleh dialihkan kepada oranglain (lembaga pendidikan, pesantren, atau ustadz privatnya).
Tapi ada hal yang tak boleh didelegasikan; yakni anak shalat berjamaah dengan orangtuanya. Baik itu di masjid, ataupun di rumah. Anak disuruh shalat ke masjid efeknya bagus, tapi manakala ayahnya membersamai si anak, maka dampaknya akan luar biasa bagus.
Berikutnya, untuk bisa membuat hati anak kita baik, maka ajarkan kepadanya untuk senantiasa bershadaqah. Shadaqah kepada dhuafa mampu membuat hati anak jadi lembut dan merasa dekat dengan Rabb-nya. Ia akan merasakan rasa bersyukur atas segala nikmat Allah kepada dirinya. Inilah awal bagaimana hidayah Allah menembus hatinya. Pantas saja, jika dalam sebuah hadits digambarkan ada seorang wanita pezina yang pada akhirnya ditakdirkan ke surga gara-gara ngasih minum kepada seekor anjing.
Akhlak itu Dibentuk dari Kebiasaan
Untuk mengubah kebiasan lama yang kurang baik seperti misalnya terlalu lama menghabiskan waktu untuk main game dan internetan di smartphone, maka orangtua harus menciptakan kebiasaan baru bagi anaknya. Biasanya telat shalat, maka kondisikan agar anak terbiasa shalat tepat waktu. Misalnya dengan cara mengajaknya secara langsung untuk berwudhu dan shalat berjamaah ke mesjid. Biasanya bahasanya kurang sopan, maka orangtua wajib memastikan anaknya agar ia menuturkan bahasa yang sopan. Biasanya update status Whatsapp yang tak penting atau sekedar selfie, maka susupi pemikiran anak agar terbiasa membuat status yang positif atau share sesuatu yang bermanfaat. Disini, kesabaran orangtua akan sangat diuji. Membuat kebiasan baru, untuk mengubah kebiasaan lama.
Diskusi dan Uji Imannya
Luangkan waktu untuk jalan bareng. Uji imannya lewat diskusi mengenai apa yang ia lihat dan bisa ia ambil pelajaran dari perjalanan yang dilakukan. Luangkan waktu untuk makan bareng, uji imannya mengenai makanan dan nasib yang ia terima dibanding mereka yang dhuafa. Luangkan waktu untuk silaturahim dengan sanak saudara atau sahabat dekat kita, lalu seperti biasa diskusi dan uji keimanannya tentang hikmah silaturahim tersebut. Pola-polanya seperti itu; buka obrolan, disela-sela obrolan itu uji anak kita untuk berpikir dan menjawab pertanyaan ringan yang kita ajukan.
Membuka Ruang Aktualisasi bagi Diri Anak
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa muslim yang kuat lebih dicintai oleh Allah. Kuat dari berbagai aspek terutama aspek iman, selanjutnya kuat secara fisik, intelektualitas hingga finansial. Ada satu keterampilan yang harus bisa dikembangkan oleh anak-anak kita, yaitu keterampilan untuk bertahan hidup secara mandiri. Disini peran orangtua untuk mengarahkan agar bisa melangkah mandiri. Ajarkan caranya mengelola waktu, ajarkan caranya mengelola diri sendiri, ajarkan caranya mengelola uang sendiri, hingga kita mengajarkannya untuk berani mengambil peluang-peluang kebaikan dan berwirausaha di era digital. Beri kepercayaan dan dukungan.
Hargai Prosesnya
Tentu, poin-poin yang dijelaskan sebelumnya tak akan bisa langsung sesuai harapan. Sebab kita tak sedang mengelola sebuah mesin, tapi yang kita kelola adalah seorang anak yang memiliki hati, perasaan, akal pikiran dan keinginan. Hargai semua proses perjuangan anak. Sekecil apapun pencapaian yang ia lakukan, jangan sungkan untuk memujinya. Kalimat pujian itu gratis, tapi dampaknya terhadap anak begitu bermakna. Dalam tahap ini pun, orangtua akan diuji kembali tentang kesabarannya. Tak ada yang sia-sia, ikhtiar kita mengantarkan keshalehan untuk anak-anak kita pasti dinilai sebagai pahala di hadapan Allah SWT.
Ajari Agar Mencintai Agamanya
Agar anak semakin waktu semakin baik pemahanan penghayatan keimannya, ia harus memahami apa yang sedang terjadi dengan dunia Islam. Matanya harus terbuka melihat berbagai penistaan, berbagai maksiat dan kemungkaran yang ada di tengah tengah hidupnya. Baik yang terlihat secara kasat mata, atau yang tersembunyi di jejaring internet. Ia harus bisa menganalisa berbagai kerusakan moral yang tengah terjadi, dan mampu mengambil sikap Al-Ghuraba (Dimana ia tetap berbuat baik, di saat orang lain rusak. Ia tetap taat, di saat oranglain maksiat)
Ketika Lelah Menshalehkan Anak berbuah Pahala Jariyah
Semua kelelahan kita dalam berjuang membuat anak memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam secara benar, masuk dalam amal yang bekelanjutan. Siang malam kita berjuang membuat anak-anak agar shaleh shalehah. Begitu banyak yang kita korbankan; tenaga, pikiran, perasaan, waktu dan uang untuk menunjang mereka tumbuh dan berkembang jadi muslim yang taat kepada Rabb-Nya. Perjuangan itu, kelelahan itu akan menjadi pahala jariyah manakala sang anak pada akhirnya menjadi anak yang shaleh. Doa-doa mereka akan terus dialirkan kepada Ayah Ibunya. Setiap amalan shaleh yang dikerjakan oleh anaknya, maka ayah ibunya turut mendapatkan aliran pahalanya. Sekali lagi, bersabarlah untuk investasi amal pahala yang kelak pada akhirnya menyelamatkan hidup kita di akhirat. Terus berjuang agar anak-anak kita bisa tafaquh fiddin. Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ
“Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami mencatat amal yang telah mereka kerjakan (di dunia) serta amal mereka yang berbekas”
(Q.S. Yaasiin: 12).
***
Penulis: Taufik Ginanjar