Halim dan Halimah (bukan nama yang sesungguhnya) mendadak menjadi buah bibir dikalangan para guru disekolah tempatnya menimba ilmu. Ketenaran mereka bukan karena Halim yang kini duduk di bangku kelas IX yang jago futsal itu, juga bukan karena Halimah yang sedikit centil dan manja dibanding teman-temannya yang kelas VII itu. Prestasi mereka pun biasa-biasa saja, bahkan Halimah lebih sering diingatkan guru-gurunya karena jarang mengerjakan tugas sekolahnya, juga karena sering berulah ketika sang guru menyampaikan materi pembelajaran di kelas.Halim dan Halimah selalu pergi dan pulang berdua, bahkan waktu-waktu senggang pun, seperti liburan tak ayal lagi selalu mereka manfaatkan berdua untuk jalan-jalan. Ironisnya, rasa malu yang seharusnya muncul karena berpacaran kepergok sesama teman pun tidak ada, bahkan jika ada guru yang memergoki dan menegurnya, tanggapan mereka pun biasa-biasa saja.Ketertarikan sebuah Sunnatullah
Secara naluri manusia memiliki rasa ingin mencintai dan berharap dicintai. Persoalan tersebut sebenarnya menempati nilai benar terlebih ketika disandarkan kepada makhluk Allah yang namanya manusia, karena pada binatang pun naluri tersebut ada. Bahkan dalam ajaran Islam melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Rasulullah menegaskan, bahwa diantara 7 golongan yang akan mendapatkan perlindungan Allah SWT pada hari qiamat adalah dua orang yang bersatu atas dasar cinta karena Allah dan juga rela berpisahnya atas dasar karena Allah pula.
Dunia anak-anak yang beranjak remaja, seperti yang banyak diperbincangkan dunia psikologi anak, bahwa dalam fase dan usia tertentu mereka memiliki hasrat mencintai dan dicintai oleh lawan jenisnya. Sesuatu yang normal tentunya ketika itu terjadi, namun yang harus diperbincangkan adalah bagaimana kita mensikapi mereka. Karena tanpa ada sikap dari orantua atau gurunya disekolah, mereka akan menerjemahkan dan mentafsirkan saling mencintainya itu menurut kamus dan rumus masing-masing, sehingga pada akhirnya mencelakakan mereka dan menghinakan komunitas keluarga dan sekolahnya.
Pendampingan guru dan orangtua di saat anak menginjak pada dunia pubertas pertama sangat penting dan akan memberikan pengaruh besar bagi karakter anak-anak kita, karena orangtua dirumah diposisikan sebagai pemimpin yang harus anak-anak kita taati, guru pun di sekolah tak kalah perannya, bukan hanya sebagai orantua mereka di sekolah, tetapi guru di mata anak-anak kita sebagai sosok pemimpin juga evaluator, yang senantiasa memberikan penilaian atas kognitif, terlebih psikomotorik mereka.
Buatkan aturan baku
Mengekang anak-anak untuk tidak mencintai dan dicintai memang tidak mudah, karena sesuatu yang bersifat sunnatullah itu tidak begitu saja dihilangkan. Tapi ajaran Islam tengah banyak mengajarkan kepada kita, bagaimana agar sunnatullah tersebut bisa diarahkan, berjalan sesuai dengan saat dan maqamnya, sehingga kita tidak membunuh sunnatullah, tetapi sunnatullah itu dikondisikan sesuai dengan waktu dan tempat kebutuhannya.
Kita tidak melarang mereka untuk saling mencintai, tetapi bagaimana mereka mewujudkan saling mencintai tersebut disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan kebutuhan mereka. Pada akhirnya, jika sesuatu diterapkan pada ruang dan gerak yang seimbang, maka penempatan itu pun akan mudah diatur dan dilaksanakannya. Sehingga tidak ada pelanggaran-pelanggaran yang berbuntut dengan dosa dan adzab Allah SWT.
Para orangtua dirumahnya masing-masing, sepatutnya memahami perkembangan usia dan jiwa anak-anaknya. Nah disaat masa pubertas pertama itulah kewaspadaan sebagai pemimpin keluarga mulai diwujudkan dengan memperhatikan perilaku anak-anak mereka, adakah penyimpangan atau tidak. Jika penyimpangan di masa itu tidak ada, maka kita pun sebagai orangtua jangan terlalu jauh menyampaikan pembahasan soal pubertas pertama itu.
Namun jika para orangtua menemukan mereka dengan gejala-gejala yang kurang bagus, disinilah kita mengarahkan mereka kepada arahan-arahan yang arif dan bijaksana. Sampaikan kepada mereka bahwa hasrat mencintai itu ada, tetapi jangan lupa memberikan kepada mereka tafsir saling mencintai itu disesuaikan dengan kondisinya masing-masing.
Jika anak-anak kita masih usia sekolah dan kuliah, berarti kita akan menggambarkan bahwa sekolah dan kuliah mereka jangan terganggu oleh keadaan itu, karena sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi kelangsungan mereka dalam menempuh dunia pendidikannya. Tetapi jika usia mereka memadai dan siap melakoni kehidupan berumahtangga, baik dari sisi sosial, ekonomi, dan terlebih agama, maka mereka justru harus didorong dan diarahkan. Karena banyak kasus, mereka yang sudah dipandang oleh orangtuanya mapan dengan penghasilan tinggi, pekerjaan tetap, namun merasa kurang mantap dan tidak percaya diri untuk membangun kehidupan berumahtangga (menikah).
Sekolah pun memiliki peranan penting dalam mensikapi pubertas pertama itu, karena sekolah pun sering dibuat repot, malu bahkan terhinakan dengan perilaku pacaran anak-anak didiknya. Mereka semakin berani berperilaku amoral yang diawali dengan ngobrol berduaan, berjalan berdua, boncengan motor, bahkan tidak jarang kita temukan mereka melakukan adegan berlebihan dihadapan teman-teman dan masyarakat lainnya, padahal seragam sekolah masih membalut tubuhnya yang berstatus pelajar itu.
Dari mulai tempat belajar, istirahat hingga berbaris pun antara laki-laki dan perempuan harus diperhatikan. Dan itu pula yang diterapkan di beberapa pesantren ketika mereka memisahkan antara kelas, masjid, kantin, bahkan jadwal pulang ke rumah antara santri laki-laki dan perempuan itu semua dilakukan untuk menghinadri perilaku jelek, walaupun seketat bagaimanapun mereka terus mencari celah, paling tidak kita berusaha.
Sanksi pun harus mulai diberikan kepada mereka, terutama disaat mereka melanggar aturan lembaga pendidikan, dari mulai sanksi peringatan hingga yang lebih tegas lagi. Karena semakin ketat aturan di sebuah lembaga pendidikan dan semakin tegasnya sanksi atas sebuah pelanggaran, berarti menggambarkan betapa hebat lembaga pendidikan tersebut. Sebaliknya jika indisipliner, dan aturan hukum serta sanksinya tidak jelas, maka lembaga tersebut tidak memiliki lagi harga diri. Wallahu A’lam.
Jejen Jaenudin S.Sos,. M Pd I
Ketua Kominfo PP Persis
Risalah No. 9 TH. 51
Desember 2013