Antara Gengsi dan Inspirasi di Perguruan Tinggi

oleh Reporter

15 April 2017 | 13:51

Banyak kita temui,  para pelajar dari berbagai daerah dengan latar belakang  yang berbeda-beda. Harus kembali menunaikan tugas jihadnya pasca lulus sekolah menengah atas, melanjut belajar di dalam bangunan akademik yang lebih tinggi yang kita sebut “SEKOLAH TINGGI”. Menurut KBBI (Kamus besar bahasa indonesia) sekolah  adalah sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Kemudian disandingkan dengan definisi Tinggi dalam aspek tingkatan sekolah tinggi yang berarti menyelenggarakan pendidikan ilmiah atau pendidikan profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu, Sehingga yang memenuhi syarat dapat menyelenggarakan program sarjana (S1), Program Master (S2) dan doktor (S3). Sekolah tinggi sering kita sebut juga “KAMPUS” tidak heran kalu didalamnya berisi orang-orang yang berkompeten, baik itu dosen maupun mahasiswa. Akan tetapi sangat di sayangkan jika status dan peran mahasiswa tidak mampu menjadikan mereka ( orang-orang yang berkompeten ), para MU’ALLIM kampus sebagai inspirasi. Miris rasanya jika kita tidak mampu memanfaatkan waktu yang singkat untuk sebaik-baiknya menimba ilmu dari mereka, dan rasanya tidak sulit untuk menjawab segala hal yang kita belum ketahui di karenakan banyak sumber untuk kita bertanya. Kurang lebih empat tahun menjalani status mahasiswa untuk tingkat setrata satu, terasa kurang cukup bagi orang-orang yang berjiwa akademis sekaligus aktifis, karena tingginya hasrat belajar yang dimiliki. Hal itu dimaksudkan untuk pengembangan diri agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang beradab serta berpendidikan tinggi. Oleh karena itu, para akademisi sekaligus akifis melakukan pembelajaran tidak hanya terbatas di ruang folmal, tetapi mampu memanfaatkan ruang-ruang informal. Tidak hanya selesai disetrata satu tetapi terus melanjutkan ke setrata selanjutnya. Tapi justru sebaliknya, bagi para mahasiswa yang menjadikan kampus sebagai ajang gengsi, ajang menyombongkan diri, di jadikanya sebagai zona aman agar tidak di sebut pengangguran atau juga tidak berpendidikan dan lain sebagainya.  Hal ini berimbas ke prilaku belajar mahasiswa  yang amburadul, asal-asalan, dan tidak serius dalam memanfaatkan waktu belajarnya. Pemberian uang dari orang tua yang relatif besar, di habiskan untuk kebutuhan yang sifat nya bukan primer, bahkan lebih condong keprilaku yang hedonis, banyak menyerang kaum mahasiswa pada saat ini. Dan ironinya mahasiswa seperti ini  punya prinsip “yang penting lulus dan dapat gelar”. Salah satu indikasi yang menjadikan mahasiswa seperti itu mungkin peraturan kampus yang tidak ketat,  membuat sebagian mahasiswa berpeluang besar dalam membuat alasan ketika telat ataupun sengaja telat  dikarenakan malas. Izin tidak masukpun sangat mudah, tinggal kirim pesan ke teman tanpa disertai bukti administratif, bahkan yg lebih parah lagi ada yg titip tanda tanngan seolah-olah si mahasiswa tersebut hadir ketika perkuliahan berlangsung. Hal ini lumrah terjadi di dunia kampus. Sangat memprihatinkan sekali rasanya mahasiswa yg di sebut-sebut sebagai agen of change di rusak citra nya oleh sebagian kecil oknum mahasiswa yang tidak berpikr dampak negatif atas prilaku yang seperti itu. Padahal sangatlah banyak manfaat yang bisa kita cari dan ambil selagi menjadi mahasiswa. Dalam bangku perkuliahan, mahasiswa memang di bebaskan sebebas-bebasnya untuk memilih, apa ia akan serius atoupun tidak dalam menjalani proses belajarnya, Tergantung pada pilihan dan perspektif mahasiswa itu sendiri. Sehingga terbesit sebuah tanya,  banyak mana mahasiswa yang merasa  nyaman di dunia kampus dengan segala aktifitas belajar nya atoupun sebaliknya mahasiswa yang merasa tidak nyaman karena terpaksa dalam melakukan segala aktifitas perkuliahanya. sampai  saat ini belum ada yang meneliti secara mendalam mengenai hal tersebut. Yang banyak di lupakan oleh para mahasiswa adalah pemanfaatan segala aspek pembelajaran, baik itu infrastruktur ataupun noninsfrastruktur seperti kegiatan-kegiatan yang ada. padahal hal ini sangat membantu untuk memperdalam ke ilmuan. Bahkan untuk terjun ke masyarakat pun sangat terbuka peluangnya, dimana hal ini sangat menguntungkan mahasiswa, yakni  mendapatkan jejaring pertemanan yang luas dan skill interaksi sosial yang terus terlatih. Prilaku positif mahasiswa sangat berpotensi menginspirasi dan memotivasi bagi siswa yang masih duduk di bangku SMA agar tertarik unuk meningkatkan statusnya menjadi mahasiswa. Maka dari itu, bagi para mahasiswa dimanapun,  dikampus bergengsi ataupun tidak, terkenal ataupun tidak, besar atoupun tidak, tetaplah tingkatkan ghiroh belajar, manfaatkan sebaik mungkin fasilitas belajar yang ada di kampus. jadilah mahasiswa yang  uswatun hasanah bagi adik-adik kelasnya, Jadilah mahasiswa harapan bangsa yakni menjadi pelopor pembaharuan dan selalu produktif. Menjadi mahasiswa yang menginspirasi bukan mahasiswa yang mandul di benci dan dimaki oleh sejarah, memberikan motivasi bagi mereka yang haus akan tholab ilmu. *** Penulis : Ihsan Purwanto (kader Hima Persis DKI Jakarta)
Reporter: Reporter Editor: admin