Seorang pengkaji hakikat madzhab kaum sufi dan hakikat madzhab syiah akan mendapati bahwa dua madzhab ini bersumber dari satu sumber, bertujuan akhir sama, dan bersepakat dalam kebanyakan aqidah, dan syariat yang dianut mereka. Berikut rincian aspek kesamaan dari keduanya :
Dakwaan Ilmu Khusus
Pertama kali yang diinginkan kaum syiah dalam menunjukkan keistimewaannya dari seluruh aliran umat Islam adalah bahwa mereka memiliki ilmu-ilmu khusus yang tidak diberikan kepada umat pada umumnya. Kadangkala mereka menisbatkan ilmu ini kepada Ali bin Abi Tholib dengan anggapan bahwa beliau memiliki rahasia-rahasia agama, dan bahwa beliau adalah penerima wasiat Rasul saw. Yang menyimpan rahasia yang tidak diketahui umat Islam. Kadangkala mereka mengaku bahwa mereka memiliki ilmu-ilmu imam keturunan Ali dari Fatimah.
Dalam kitab Al-Din bayna Al Sail wa Al Mujib hal 89, Hajj Mirza al-Hairy al-Ahqafy mengatakan bahwa para Imam itu mengetahui seluruh perkara gaib, tidak pernah salah dan lupa. Tidak seorang pun bisa memahami Islam kecuali melalui Imam. Rahasia Al-Qur’an dan Hakikat agama hanya ada pada para imam. Terkadang mereka mengaku memiliki Al Qur’an khusus yang mereka sebut Al-Qur’an Fatimah. Al-Qur’an tersebut tidak berisi huruf dari Al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam saat ini. Mereka juga mengaku Jafr, yakni kulit yang bertuliskan seluruh ilmu.
Dalam buku Aqoid Imamiyah hal 51 yang dikatakan bahwa: ”Kita berkeyakinan bahwa Imam sepeti halnya para Nabi haruslah maksum/terjaga dari segala bentuk sifat yang rendah baik yang Nampak maupun tidak nampak. Demikian pula terjaga dari kelalaian, kesalahan, dan lupa dikarenakan para imam merupakan penjaga syariat dan penegaknya, keadaan mereka adalah sebagaimana keadaan para Nabi.". Dalam Biharul Anwar juz 25 hal 350-351: ”Sesungguhnya ulama mazhab kami telah bersepakat tentang ishmah para imam dari segala bentuk dosa yang kecil
maupun yang besar sengaja maupun tidak sengaja, ataupun karena lupa sejak mereka lahir sampai mereka bertemu dengan Allah ta’ala .“
Syaikh Muhammad Ridha Muzhaffar dalam kitab Aqaidul Imamiyah–yang berisi keyakinan mazhab Syiah Imamiyah- pada halaman 66 mengatakan bahwa imam adalah penerus kenabian, karena para imam adalah penerus kenabian, sudah tentu memiliki sifat-sifat "linuwih" kelebihan yang membuat para imam berbeda dengan kita-kita. Boleh jadi pembaca yang kebetulan syiah akan merah telinganya ketika imamnya dibandingkan dengan kita-kita. Ok lah, supaya para imam berbeda dengan para sahabat Nabi yang merampas hak khilafah secara tidak berhak –ini sesuai dengan pendapat syiah-. Jika imam sama dengan para sahabat Nabi, maka bisa jadi sahabat yang menjadi imam, karena tidak ada perbedaan antara mereka. Maka akal mengharuskan adanya perbedaan antara imam dan orang biasa.
Riwayat dari kitab Al Kafi jilid 1 hal 192, dari Abu Ja'far mengatakan: "Kami adalah wali perintah Allah, kami adalah pembawa ilmu Allah dan penyimpan wahyu Allah."
Ini dikuatkan lagi oleh riwayat berikutnya –pada kitab dan halaman yang sama- dari Surah bin Kulaib, Abu Ja'far –Muhammad Al Baqir- mengatakan padanya: "Demi Allah kami adalah penyimpan Allah di bumi dan langitnya, bukan menyimpan emas dan perak tetapi menyimpanilmuNya."
Disebutkan juga dalam kitab Biharul Anwar jilid 26 halaman 132, Bab: Allah Membuatkan Tiang Bagi Para Imam Untuk Melihat Perbuatan Hamba. Dari Abu Abdullah – imam Ja'far Ash Shadiq-, mengatakan: "Imam mendengarkan suara ketika di perut Ibunya, ketika berusia empat bulan di kandungan dituliskan di lengan kanannya: 'Dan telah sempurna kalimat Allah yang benar dan adil,' jika imam tersebut telah lahir maka akan nampak cahaya antara langit dan bumi, jika dia mulia berjalan maka dibuatkan baginya tiang dari cahaya untuk melihat apa yang ada antara timur dan barat."
Dalam judul bab jelas sekali bahwa imam mengawasi perbuatan manusia yang ada di bumi. Di sini kita bertanya lalu apakah tugas imam sebenarnya ? Apakah imam bertugas meneruskan kenabian atau bertugas mengawasi hamba ? Lalu ngapain si imam melihat perbuatan hamba? Apa
tujuan imam melakukan hal itu ? Para Nabi tidak pernah dibuatkan tiang oleh Allah untuk melihat perbuatan hamba di seluruh bumi. Tugas para Nabi adalah menyampaikan risalah Allah, agar seluruh manusia menyembah Allah dan menjauhi tuhan-tuhan palsu yang dibuat sendiri oleh penyembahnya. Para Nabi tidak tahu apa yang terjadi esok hari, kecuali dengan apa yang diberitahukan Allah pada mereka. Nabi tidak tahu menahu terhadap perbuatan hamba –yang akan dibalas oleh Allah dengan balasan setimpal-.Tetapi tidak untuk para imam, mereka juga melaksanakan tugas malaikat untuk mengawasi hamba-hambanya.
Demikianlah mereka mengaku dirinya memiliki ilmu-ilmu tentang agama yang tidak seorang pun memilikinya. Dalam kitab Firq Al Syiah hal 38, disebutkan bahwa suatu kali mereka mengaku memiliki tafsir kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan mereka menilai bahwa Alloh mengutus Muhammad saw. Dengan tanzil (yakni huruf-huruf Al-Qur’an) dan mengutus Ali dengan takwil (tafsir).
Kaum sufi telah terbiasa melakukan hal ini. Hal terbesar yang dikumandangkan dan dibanggakan kaum sufi adalah bahwa mereka memiliki ilmu laduni yang tidak diketahui seorang pun kecuali mereka, dan tidak bisa dicapai kecuali oleh yang menelusuri jalan mereka. Mereka menilai rendah apa yang ada pada umat Islam, bahkan pada para Rasul sendiri dibanding dengan ilmu yang mereka sendiri, seperti yang dikatakan tokoh mereka Abu Yazid Al-Bustami “kami menyelami lautan yang para nabi berhenti di pantainya.” Ia juga berkata “kamu menerima ilmu kamu, seperti mayat dari mayat lain. Sedangkan, kami menerima ilmu kami dari yang hidup dan tidak mati. Salah satu dari kami menyatakan, ‘hatiku menuturkan padaku dari tuhanku’” Demikianlah kaum sufi menilai diri sebagai ahli Kasyif dan ilmu laduni (ilmu yang diperoleh tanpa belajar), bahwa siapa yang berjalan di belakang mereka akan mendapatkan ajaran dan faedah dari mereka. Bahkan, mereka mengaku ikatan hati murid dengan syekh bertujuan mendapat ilmu laduni dari syekh. Kemudian syekh juga mengikatkan hati murid dengan rasul agar murid menerima ilmu laduni dari sisi Rasul saw.
Kaum sufi juga menjadikan takwil batiniyah terhadap Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ilmu khusus mereka. Terkadang mereka mengaku menerima takwil ini dari Alloh, dan terkadang dari Malaikat. Dan di lain waktu dengan dari ilham. Begitu juga mereka menisbatkan ilmu batin mereka kepada pengetahuan rahasia-rahasia huruf terpisah dari mushaf, dan diterima dari nabi Khidr. Bahkan, mereka mengaku menerimanya terkadang dari lauh mahfudz di langit. Pengakuan ini sama dengan apa yang didakwakan kaum syiah mengenai para imam mereka di mana kaum syiah mendakwakan bahwa imam-imam mereka mengetahui perkara ghaib. Tidak jatuh selembar daun pun kecuali sepengetahuannya, dan tidak terjadi suatu peristiwa apa pun di masa abadi atau azali kecuali mereka mengetahuinya. Ini sama persis dengan dakwaan kaum sufi untuk mereka dan imam-imam mereka.
Demikianlah aqidah syiah dan aqidah sufisitik bersesuaian pada permasalahan ilmu bathin sehingga setali tiga uang.
Penulis Deni Solehudin Ketua Bidang Pengembangan Dakwah PP Persis.