Benarkah Nabi Muhammad Saw Tersesat? (Telaah Tafsir Surat Adh-Dhuha: 7)

oleh Reporter

15 Agustus 2018 | 01:27

Allah Swt. berfirman:

 وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى

Terjemahan resmi Kementerian Agama RI memilih menggunakan kata “bingung” untuk kata Dhallan, sehingga ayat di atas diterjemahkan sebagai berikut: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh-Dhuha: 7)

Bagaimana penjelasan para ulama terhadap QS. Adh-Dhuha: 7 yang seakan-akan menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah menjadi orang yang sesat?

Para ulama penulis kitab Tafsir menampilkan beragam penjelasan para ulama tentang maksud “sesat” dalam ayat itu. Sejauh pengetahuan kami, Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H.), dalam kitabnya Mafaatih Al-Gayb, termasuk ulama penyusun kitab tafsir yang paling lengkap mengumpulkan seluruh penjelasan ulama tentang maksud itu.

Berbagai pendapat itu, oleh Imam Fakhruddin Al-Razi, secara umum terbagi ke dalam dua kelompok ulama:

Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengalami kesesatan, bahkan kekafiran. Dasar pendapat ini adalah QS. Syura: 52, QS. Yusuf: 3, dan QS. Az-Zumar: 65. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Al-Kalbi (w.146 H), Al-Suddi (w. 127 H) dan Mujahid (w.104 H). Imam Ar-Razi berkata:

فَاعْلَمْ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ كَانَ كَافِرًا فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ ، ثُمَّ هَدَاهُ اللَّهُ وَجَعَلَهُ نَبِيًّا

“Ketahuilah bahwa sebagian orang berpendapat bahwa beliau dalam keadaan kafir pada keadaan awal, kemudian Allah memberinya hidayah dan menjadikannya sebagai Nabi.”

قَالَ الْكَلْبِيُّ: وَوَجَدَكَ ضَالًّا  يَعْنِي : كَافِرًا فِي قَوْمٍ ضُلَّالٍ فَهَدَاكَ لِلتَّوْحِيدِ

Al-Kalbi mengatakan, “Dan Dia menemukanmu dalam keadaan Dhalla, yakni sebagai orang kafir di tengah-tengah kaum yang kafir, lalu Dia menunjukkanmu kepada tauhid.”

وَقَالَ السُّدِّيُّ : كَانَ عَلَى دِينِ قَوْمِهِ أَرْبَعِينَ سَنَةً

As-Suddi mengatakan, “Beliau berpegang kepada agama kaumnya selama empat puluh tahun.”

وَقَالَ مُجَاهِدٌ: (وَوَجَدَكَ ضَالًّا) عَنِ الْهُدَى لِدِينِهِ

Mujahid berkata, “Dan Dia menemukanmu dalam keadaan Dhalla, sesat dari hidayah untuk berpegang pada agama-Nya.”

Selanjutnya, Imam Ar-Razi berkata:

وَاحْتَجُّوا عَلَى ذَلِكَ بِآيَاتٍ أُخَرَ مِنْهَا قَوْلُهُ:(مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ) – الشُّورَى : 52 – وَقَوْلُهُ : (وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ) – يُوسُفَ : 3 – وَقَوْلُهُ : (لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ ) – الزُّمَرِ : 65 –

“Mereka berhujjah atas pendapat ini dengan berbagai ayat lain, di antaranya firman Allah: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.”   (QS. Asy-Syura: 52), dan firman-Nya: “dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.“ (QS. Yusuf: 3), dan firman-Nya: “”Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65).

فَهَذَا يَقْتَضِي صِحَّةَ ذَلِكَ مِنْهُ ، وَإِذَا دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى الصِّحَّةِ وَجَبَ حَمْلُ قَوْلِهِ ( وَوَجَدَكَ ضَالًّا) عَلَيْهِ

“Maka ini menunjukkan keabsahan hal itu (sesat) dari beliau dan apabila ayat ini menunjukkan atas keabsahannya, maka mesti membawa firman-Nya: ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat.’ pada beliau (bukan pada kaumnya—pent).” (Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197)

Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah sama sekali mengalami kesesatan, apalagi kekafiran. Pendapat ini disepakati mayoritas ulama, dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan Muktazilah. Imam Ar-Razi berkata:

وَأَمَّا الْجُمْهُورُ مِنَ الْعُلَمَاءِ: فَقَدِ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَا كَفَرَ بِاللَّهِ لَحْظَةً وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ : هَذَا غَيْرُ جَائِزٍ عَقْلًا لِمَا فِيهِ مِنَ التَّنْفِيرِ وَعِنْدَ أَصْحَابِنَا هَذَا غَيْرُ مُمْتَنِعٍ عَقْلًا لِأَنَّهُ جَائِزٌ فِي الْعُقُولِ أَنْ يَكُونَ الشَّخْصُ كَافِرًا فَيَرْزُقَهُ اللَّهُ الْإِيمَانَ وَيُكْرِمَهُ بِالنُّبُوَّةِ إِلَّا أَنَّ الدَّلِيلَ السَّمْعِيَّ قَامَ عَلَى أَنَّ هَذَا الْجَائِزَ لَمْ يَقَعْ وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى) – النَّجْمِ : 2-

Adapun mayoritas Ulama: sungguh mereka bersepakat bahwa Nabi saw tidak pernah kafir kepada Allah dalam sekejap pun. Kemudian, kaum Muktazilah berpendapat, ‘Pengertian ini (sesat atau kafir) tidak boleh secara akal, karena dalam pengertian itu  akan menyebabkan orang lari (dari dakwah beliau, karena kesesatan dan kekafiran merupakan sifat tercela yang tidak mungkin terdapat dalam diri seorang utusan Allah—pent). Sedang menurut para shahabat kami (Ahlus Sunnah Wal Jamaah), sebenarnya pengertian ini tidak tertolak secara akal karena boleh jadi menurut akal seseorang dalam keadaan kafir, lalu Allah menganugerahkan keimanan padanya dan memuliaknnya dengan kenabian, tetapi dalil naqli menunjukkan bahwa kebolehan (tersesat) ini tidak terjadi (pada diri Nabi saw.), yaitu firman-Nya: ‘Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru’.” QS. An-Najm: 2 (Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197)

Selanjutnya, kata Imam Ar-Razi, mereka menampilkan sekitar dua puluh macam penjelasan para ulama tentang maksud “sesat” dalam Qs. Al-Dhuha: 7. Imam Ar-Razi berkata:

 ثُمَّ ذَكَرُوا فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ وُجُوهًا كَثِيرَةً :

“Kemudian mereka menjelaskan banyak aspek tentang tafsir ayat ini:

أَحَدُهَا : مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْحَسَنِ وَالضَّحَّاكِ وَشَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ: “وَوَجَدَكَ ضَالًّا” عَنْ مَعَالِمِ النِّعْمَةِ وَأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ غَافِلًا عَنْهَا فَهَدَاكَ إِلَيْهَا ، وَهُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ: (مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ)  وَقَوْلِهِ: (وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ)

Yang pertama: apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Hasan, ad-Dhahaak, dan Syahr bin Hausyab: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang dhall” tentang ilmu kenikmatan (dalam riwayat lain: ilmu nubuwwah—pent)  dan hukum-hukum syariah ia tidak mengetahuinya, maka Dia menunjuki kamu terhadapnya, dan itu makna yang dimaksud dari firman Allah: ‘Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.’ (QS. Asy Syuura: 52) dan Firman-Nya: ‘Dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.’ (QS. Yusuf: 3).

وَثَانِيهَا : ضَلَّ عَنْ مُرْضِعَتِهِ حَلِيمَةَ حِينَ أَرَادَتْ أَنْ تَرُدَّهُ إِلَى جَدِّهِ حَتَّى دَخَلَتْ إِلَى هُبَلَ وَشَكَتْ ذَلِكَ إِلَيْهِ فَتَسَاقَطَتِ الْأَصْنَامُ وَسَمِعَتْ صَوْتًا يَقُولُ : إِنَّمَا هَلَاكُنَا بِيَدِ هَذَا الصَّبِيِّ وَفِيهِ حِكَايَةٌ طَوِيلَةٌ

Yang kedua: hilang dari ibu susuannya Halimah, ketika ia (Halimah) akan mengembalikan kepada kakeknya sehingga Halimah masuk ke berhala Hubal dan ia mengadukan hal itu padanya. Maka terjatuhlah berhala-berhala dan ia mendengar suara berkata: “Sesungguhnya kehancuran kami karena tangan anak ini, dan tentang itu terdapat cerita yang panjang”

وَثَالِثُهَا : مَا رُوِيَ مَرْفُوعًا أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ: “ضَلَلْتُ عَنْ جَدِّي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَنَا صَبِيٌّ ضَائِعٌ ، كَادَ الْجُوعُ يَقْتُلُنِي ، فَهَدَانِي اللَّهُ” ذَكَرَهُ الضَّحَّاكُ ، وَذَكَرَ تَعَلُّقَهُ بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ وَقَوْلُهُ : يَا رَبِّ رُدَّ وَلَدِي مُحَمَّدَا ارْدُدْهُ رَبِّي وَاصْطَنِعْ عِنْدِي يَدَا

Yang ketiga: Apa yang diriwayatkan secara marfu’ bahwa Nabi saw bersabda: ‘Aku telah hilang dari kakekku, Abdul Muthalib dan aku seorang anak laki-laki yang hilang, hampir saja rasa lapar membunuhku, maka Allah memberikan petunjuk kepadaku.” Demikian Ad-Dhahaak menerangkan, dan ia menerangkan Abdul Muthalib melekatkan diri pada tirai Ka’bah dan ia berdoa: “Ya Tuhanku, kembalikanlah anakku Muhammad, kembalikanlah ia wahai Tuhanku dan jadikanlah kekuatan untukku.

فَمَا زَالَ يُرَدِّدُ هَذَا عِنْدَ الْبَيْتِ حَتَّى أَتَاهُ أَبُو جَهْلٍ عَلَى نَاقَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهِ مُحَمَّدٌ وَهُوَ يَقُولُ : لَا نَدْرِي مَاذَا نَرَى مِنِ ابْنِكَ ، فَقَالَ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ وَلِمَ ؟ قَالَ : إِنِّي أَنَخْتُ النَّاقَةَ وَأَرْكَبْتُهُ مِنْ خَلْفِي فَأَبَتِ النَّاقَةُ أَنْ تَقُومَ ، فَلَمَّا أَرْكَبْتُهُ أَمَامِي قَامَتِ النَّاقَةُ ، كَأَنَّ النَّاقَةَ تَقُولُ : يَا أَحْمَقُ هُوَ الْإِمَامُ فَكَيْفَ يَقُومُ خَلْفَ الْمُقْتَدِي ! وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:  رَدَّهُ اللَّهُ إِلَى جَدِّهِ بِيَدِ عَدُوِّهِ كَمَا فَعَلَ بِمُوسَى حِينَ حَفِظَهُ عَلَى يَدِ عَدُوِّهِ

“Maka ia tidak henti-henti mengulangi hal ini di samping Baitullah sehingga Abu Jahal datang kepadanya dengan menunggang unta betina dan di hadapannya terdapat Muhammad, dan ia berkata, ‘Kami tidak tahu apa yang kami lihat dari anakmu.’ Maka Abdul Muthalib berkata, ‘Karena apa?’ Ia berkata, ‘Sesungguhnya aku menderumkan unta betina dan aku menaikannya di belakangku, maka unta itu enggan untuk berdiri, maka ketika aku menaikannya di depanku maka unta betina itu berdiri, seolah-olah unta betina itu berkata, ‘Hai orang bodoh, dia itu imam maka bagaimana mungkin ia berdiri di belakang pengikut!’ dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Allah mengembalikannya kepada kakeknya melalui tangan musuhnya sebagaimana Allah melakukannya kepada Musa ketika menjaganya melalui tangan musuhnya”

وَرَابِعُهَا : أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا خَرَجَ مَعَ غُلَامِ خَدِيجَةَ مَيْسَرَةَ أَخَذَ كَافِرٌ بِزِمَامِ بَعِيرِهِ حَتَّى ضَلَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَهَدَاهُ إِلَى الْقَافِلَةِ وَقِيلَ : إِنَّ أَبَا طَالِبٍ خَرَجَ بِهِ إِلَى الشَّأْمِ فَضَلَّ عَنِ الطَّرِيقِ فَهَدَاهُ اللَّهُ تَعَالَى

Yang keempat: Bahwa Nabi saw. ketika keluar bersama anak buah Khadijah, Maisarah, orang kafir membawa tali kekang untanya hingga tersesat, maka Allah menurunkan Jibril As dalam bentuk manusia dan memberinya petunjuk kembali kepada kafilah dagang. Dan dikatakan, ‘Bahwa Abu Thalib keluar bersamanya ke Syam, maka ia tersesat diperjalanan lalu Allah memberikan petunjuk kepadanya.

وَخَامِسُهَا : يُقَالُ : ضَلَّ الْمَاءُ فِي اللَّبَنِ إِذَا صَارَ مَغْمُورًا ، فَمَعْنَى الْآيَةِ كُنْتَ مَغْمُورًا بَيْنَ الْكُفَّارِ بِمَكَّةَ فَقَوَّاكَ اللَّهُ تَعَالَى حَتَّى أَظْهَرْتَ دِينَهُ

Yang kelima: Dikatakan: “Air hilang dalam susu apabila susu itu melimpah.” Maka makna ayat ini, “Keadaanmu hilang di antara orang-orang kafir di Mekkah. Maka Allah menguatkan mu sehingga engkau menampakkan agama-Nya”

وَسَادِسُهَا : الْعَرَبُ تُسَمِّي الشَّجَرَةَ الْفَرِيدَةَ فِي الْفَلَاةِ ضَالَّةً كَأَنَّهُ تَعَالَى يَقُولُ : كَانَتْ تِلْكَ الْبِلَادُ كَالْمَفَازَةِ لَيْسَ فِيهَا شَجَرَةٌ تَحْمِلُ ثَمَرَ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَمَعْرِفَتَهُ إِلَّا أَنْتَ ، فَأَنْتَ شَجَرَةٌ فَرِيدَةٌ فِي مَفَازَةِ الْجَهْلِ فَوَجَدْتُكَ ضَالًّا فَهَدَيْتُ بِكَ الْخُلُقَ، وَنَظِيْرُهُ قَوْلُهُ عليه السلام: «الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ»

Yang keenam: Orang Arab menamai “Pohon yang menyendiri di tengah padang sahara” dengan dhall, seakan-akan Allah Ta’ala berfirman: ‘Keadaan negeri itu seperti padang sahara yang tandus, yang tidak terdapat pepohonan yang akan membawa buah keimanan kepada Allah dan makrifah-Nya kecuali kamu, maka kamulah pohon yang menyendiri di tengah padang sahara kebodohan, maka Aku mendapatimu dalam keadaan tersesat, maka Aku memberikan petunjuk berbabagi akhlak kepadamu, dan yang setara dengannya sabda Nabi saw: “Hikmah itu adalah barang hilang (yang dicari) seorang mukmin”

وَسَابِعُهَا: وَوَجَدَكَ ضَالًّا عَنْ مَعْرِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى حِينَ كُنْتَ طِفْلًا صَبِيًّا كَمَا قَالَ: (وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا) (النَّحْلِ : 78] فَخَلَقَ فِيكَ الْعَقْلَ وَالْهِدَايَةَ وَالْمَعْرِفَةَ وَالْمُرَادُ مِنَ الضَّالِّ الْخَالِي عَنِ الْعِلْمِ لَا الْمَوْصُوفُ بِالِاعْتِقَادِ الْخَطَأِ .

Yang ketujuh: Maka Allah mendapatimu dalam kedaan tidak berilmu tentang makrifah Allah ketika kamu masih anak kecil, sebagaimana Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (QS. An Nahl: 78). Maka Allah menciptakan akal, hidayah, dan makrifah untukmu. Dan yang dimaksud dengan “orang tersesat” adalah orang yang kosong dari ilmu, bukan yang disifati oleh akidah yang tidak benar

وَثَامِنُهَا : كُنْتَ ضَالًّا عَنِ النُّبُوَّةِ مَا كُنْتَ تَطْمَعُ فِي ذَلِكَ وَلَا خَطَرَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ ، فَإِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى كَانُوا يَزْعُمُونَ أَنَّ النُّبُوَّةَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ فَهَدَيْتُكَ إِلَى النُّبُوَّةِ الَّتِي مَا كُنْتَ تَطْمَعُ فِيهَا الْبَتَّةَ

Yang kedelapan: “Keadaanmu itu dalla dari nubuwwah, tidaklah engkau tamak/sangat menginginkan hal itu, dan tidak pula terlintas sedikitpun hal tersebut pada hatimu. Namun, karena Yahudi dan Nasrani beranggapan bahwa Nubuwwah ada pada Bani Israil, maka Aku memberimu hidayah pada nubuwwah yang kamu tidak menginginkan hal itu sama sekali.

وَتَاسِعُهَا : أَنَّهُ قَدْ يُخَاطَبُ السَّيِّدُ وَيَكُونُ الْمُرَادُ قَوْمَهُ فَقَوْلُهُ: “وَوَجَدَكَ ضَالًّا”  أَيْ وَجَدَ قَوْمَكَ ضُلَّالًا ، فَهَدَاهُمْ بِكَ وَبِشَرْعِكَ

Yang kesembilan: bahwa terkadang penguasa yang diajak berbicara dan yang dimaksud adalah kaumnya, maka firman Allah, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang dhall, yaitu Dia mendapati kaummu tersesat, maka Allah memberi mereka hidayah melalui dirimu dan syariatmu.

وَعَاشِرُهَا : وَجَدَكَ ضَالًّا عَنِ الضَّالِّينَ مُنْفَرِدًا عَنْهُمْ مُجَانِبًا لِدِينِهِمْ ، فَكُلَّمَا كَانَ بُعْدُكَ عَنْهُمْ أَشَدَّ كَانَ ضَلَالُهُمْ أَشَدَّ ، فَهَدَاكَ إِلَى أَنِ اخْتَلَطْتَ بِهِمْ وَدَعَوْتَهُمْ إِلَى الدِّينِ الْمُبِينِ

Yang kesepuluh: Dia mendapatimu tersesat dari orang-orang yang tersesat secara menyendiri dari mereka yang asing terhadap agama mereka. Semakin jauh engkau dari mereka maka kesesatan mereka semakin kuat. Lalu Dia memberimu hidayah supaya kamu bercampur dengan mereka dan mendakwahi mereka pada agama yang jelas.

Demikian 10 dari 20 aspek penafsiran maksud “Dhall” versi jumhur ulama yang dirangkum oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi. Baca selengkapnya dalam Tafsir Mafaatih Al-Gayb, juz 31, hlm. 197-199)

Dari penjelasan Imam Ar-Razi di atas kita dapat memahami bahwa terdapat perbedaan pendapat antara jumhur dan tha’ifah di kalangan ulama  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam memahami maksud “sesat” (dhall) dalam QS. Adh-Dhuha:7 tersebut.

Dengan demikian, memaknai ayat itu: “bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengalami kesesatan” memiliki rujukan para ulama yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu, namun tentu saja penafsiran mereka tidak bermaksud “melecehkan” Nabi saw.

Bandung, 02 Dzulhijjah 1439 H/13 Agustus 2018

By Amin Muchtar, sigabah.com

Dikutip dari laman www.sigabah.com

Reporter: Reporter Editor: admin