Oleh: Cepi Hamdan Rafiq (Kabid. Pendidikan PP Pemuda PERSIS)
A. Ikhwatu Iman Bukan Sekadar Nama
Terhitung sejak hari Jum’at 23 September 2022, Muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS) dan Muktamar XIII Persatuan Islam Istri (PERSISTRI) telah dimulai. Teringat satu ungkapan berupa suntikan semangat yang dilontarkan seorang panglima perang dihadapan ribuan pasukannya sesaat sebelum maju ke medan juang, "هذا يوم له ما بعده" (Hari ini akan menjadi penentu hari esok). Muktamar XVI Persatuan Islam merupakan momentum terbaik untuk Kembali meperkuat landasan pacu gerak jihad Persatuan Islam dalam membumikan Al-Qur’an dan as-Sunnah, setidaknya untuk 5 (lima) tahun ke depan.
Ratusan peserta dari berbagai provinsi di Indonesia datang dengan satu semangat lita’arafu,[1] untuk saling mengenal dan saling menolong dalam urusan kemaslahatan di antara mereka yang berbeda-beda.[2] Perbedaan yang ada bukan hanya karena berbeda tempat asal saja, tetapi juga berbeda latar belakang budaya, status sosial, pendidikan, dll. Yang tentunya akan berpengaruh pada perbedaan cara pandang dan pola pikir dalam hidup berjam’iyyah masing-masing. Akan tetapi, itu semua insyaallah akan disatukan dengan ruh ikhwatu iman!.
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”[3]
Lafadz ikhwatun dan ikhwanun adalah dua lafadz serupa tapi tak sama. Sebab, menurut Al-Ustadz Abdurrahman rahimahullah, arti ikhwatun adalah “Saudara yang disebabkan nasab, keturunan darah, sedangkan Ikhwan adalah saudara dalam pengertian persahabatan.” Persahabatan yang diikat oleh persamaan hobi atau profesi, yang jika hobinya atau profesinya telah berbeda maka kecenderungan ikatan persaudaraan itu bisa saja sirna. Sedangkan ikhwatun menurut ustadz Abdurrahman, meskipun (pada hakikatnya) tidak senasab seibu dan sebapa, tapi diibaratkan seperti saudara kandung disebabkan mereka itu seiman, se-Al-Qur’an, serta sesunah. Keadaan mereka sama dengan keadaan yang senasab, seketurunan darah.
Ustadz Abdurrahman menambahkan, “Meskipun dengan sebutan ikhwatun tidaklah berarti dalam pergaulannya tidak terjadi perselisihan (ichtilaf) dan pertikaian. Sesungguhnya kata ikhwatun tidak menjamin sirnanya ikhtilaf serta perbedaan faham, akan tetapi dengan ikhwatun terjamin bahwa setiap perselisihan dan pertengkaran antara sesama saudara termaksud dengan mudah dapat dihentikan, mudah dicegah, dapat segera dihindari dan dijauhkan, sebab mereka mempunyai orang tua yang berwibawa serta wajib ditha’ati segala perintah dan anjurannya.[4]
B. Menyapa Dengan Do’a Keselamatan
Mengutip pernyataan ustadz Abdurrahman rahimahullah yang ditulis Prof. Dadan Wildan dalam bukunya Yang Da’i yang Politikus, tatkala al-ustadz menyapa peserta Muakhat Persatuan Islam dengan ungkapan, “Ikhwatu Iman, hadlirin dan hadlirat yang kami hormati! Kami tidak akan mengatakan selamat datang, tetapi akan mendu’akan, “rafaqatukumu s’Salamah”, bukan selamat di waktu datang saja; tapi keselamatan senantiasa menyertai kita sekalian.” Lebih lanjut, ustadz Abdurrahman menyampaikan, “Pada malam ini kita mendapat undangan dari Allah, bukan hanya bertemu muka sesama anggota Persatuan Islam, tetapi pada malam ini akan bertemu ruh seperti pada sabda Rasul; bertemunya jiwa umat Islam itu bagaikan suatu pasukan Tangguh! Sebab bila ruh tidak sesuara, searah, dan setujuan maka akan terjadi ikhtilaf yang melemahkan. [5]
C. Saling Merangkul Bukan “Memukul”
Bagi sebagian orang dalam sebuah organisasi, tidak jarang muktamar itu dijadikan ajang pelampiasan syahwat dan pengumbar amarah, dijadikan ajang penghakiman terhadap para pengurus ormas yang akan demisioner. Muktamar yang seharusnya jadi momentum penguat dan penyambung silaturahim malah justru sebaliknya, jadi pelemah dan pemutus silaturahim. Akhlak Islam nyaris tak nampak lagi, kata-kata tak beretika terlontarkan, sikap yang tak beradab dipertontonkan. Yang semestinya saling merangkul malah justru saling “memukul”. Na’udzubillahi min dzalika!
Al-Ustadz Abdurrahman rahimahullah melanjutkan kata sapanya kepada peserta Muakhat, “Saya merasa terharu, melihat sesama ikhwatu iman yang sudah lama tidak bertemu, saling merangkul; disebabkan kerinduan ingin bertemu yang menunjukkan terjalinnya hubungan bathin yang kukuh. Kalimat Muakhat, bukan hanya sekedar nama, tetapi antara nama dan makna itu tidak bertentangan, mampu menjadi amal nyata untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
Begitu juga dengan nama Persatuan Islam, kata beliau melanjutkan taujihnya, “Bukan Persatuan Islam yang artinya menunjukkan, bahwa memisahkan diri dari organisasi Islam yang lain; tetapi Persatuan Islam mempersatukan tenaga, mempersatukan kekuatan; yakni demi untuk tujuan membela, memajukan, Islamnya sendiri (bukan membela orang Islam), tetapi membela agama Islam sendiri, bila diganggu tidak akan ada orang yang membela, kecuali orang Islam itu sendiri yang bersatu mempersatukan tenaga dan kekuatan untuk Islam liya’lu wala yu’la ‘alaih!
D. Saling Menghargai Bukan Memaki
Menyimak pidato sambutan Mentri Pertahanan Republik Indonesia Bapak Dr. Prabowo Subianto dalam acara pembukaan Muktamar XVI PERSIS dan Muktamar XIII PERSISTRI, kita dapat menangkap pesan berharga dari beliau, bahwa, “Kita mesti memiliki kejujuran untuk bisa mengakui dan mengapresiasi prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh setiap pemimpin!
Apa yang disampaikan oleh Bapak Prabowo di atas, mempertegas filosofi fungsi lima jari tangan kita yang disampaikan Ketua Umum PP PERSIS KH. Aceng Zakaria dalam sambutan sebelumnya dengan begitu sederhana tapi syarat makna, “Bahwa ketika jari-jari ini bergerak seirama dan bersama-sama maka dipastikan akan menghasilkan sesuatu yang luar bisa untuk kebermanfaatan.” Dikarenakan satu dengan yang lainnya saling menutupi kekurangan dan saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing. Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw., "Orang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”[6]
Al-Ustadz Abdurrahman rahimahullah pernah menyampaikan, “Saya dan hadlirin sekalian, sebagai ikhwatu iman tidak ada yang berhak menepuk dada, sebab kita sekalian tidak lebih dari penyempurna, sebab setiap orang sangat memerlukan pelengkap, maka di dalam Qanun Persatuan Islam tidak terdapat Pengurus Besar, tapi Pimpinan, karena semua sudah memiliki pedoman Qur’an dan Hadits, maka pemimpin hanya membimbing untuk mencegah, agar ajaran Islam ini jangan kurang dan jangan lebih. Maka dalam organisasi Persatuan Islam (PERSIS), tidak terdapat atasan dan bawahan; tetapi seluruhnya saling membantu, saling menunjang dengan sesama; sehingga tercipta saling menghargai pekerjaan satu dengan yang lainnya![7] Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Barang siapa tidak bersyukur kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah 'azza wajalla.”[8]