Biografi Singkat Ketua Umum PP Persis, KH. Aceng Zakaria

oleh Reporter

30 November 2017 | 01:10

KH. Aceng Zakaria lahir di Garut 11 Oktober 1948 dari sebuah keluarga sederhana di kampung Sukarasa desa Citangtu Babakanloa Wanaraja. Ayahnya seorang ulama terkemuka di desanya. Oleh karena itu KH. Aceng Zakaria hidup berkembang di dalam lingkungan religius yang berpendidikan.

KH. Aceng Zakaria memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) Babakan Loa Garut hingga tahun 1967. Disamping itu, ia biasa mengaji kitab-kitab kuning, seperti Safinah, Tijan Jurumiyah dan Imriti yang diadakan di rumah saudara kakaknya yang juga seorang ulama. Karena ketekunanya menelaah kitab kuning ia telah menamatkan Safinah, Tijan Jurumiyah dan Imriti ketika lulus SR.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di SR, kedua orang tuanya tidak menyuruh KH. Aceng Zakaria untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah formal. Namun kakanya, Asep Barhoya yang pernah tamat SMP meminta dia untuk melanjutkan sekolah ke SMP.

Akhirnya ia pun memilih belajar agama di rumahnya sendiri sekaligus meringankan beban orangtuanya dengan membantu berladang di sawah dan kebun.

Di samping itu juga dia aktif berorganisasi di PII (Pelajar Islam Indonesia) Wanaraja dan beberapa kali kerap disuruh untuk berceramah di depan masyarakat.

Keahliannya dalam membaca Arab gundul, memutuskan dia untuk mengajar kitab-kitab kuning kepada para santri di lingkungan rumahnya. Hingga pada akhirnya sekitar tahun 1969, Ustadz yang dulu suka memperbaiki jam ini, memutuskan untuk berangkat ke Bandung dan mencoba sekolah di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Pajagalan.

Karena ia ahli dalam membaca kitab, maka akhirnya ditempatkan langsung di kelas satu muallimin (Aliyyah). Perkenalan dengan Persatuan Islam (Persis) sendiri telah dimulai sejak lama, khususnya melalui saudara kakanya dan karena factor lingkungan yang telah lama mengenal Persatuan Islam (Persis).

Melahirkan Buku
Di sela-sela kesibukannya belajar, KH. Aceng Zakaria mulai mencoba menulis rangkuman beberapa pelajaran, seperti Nahwiyyah dan Musthalah Hadits. Kebiasaannya ini berlangsung hingga dia menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1970.

Karena merasa masih kurang ilmunya, KH Aceng Zakaria belajar langsung dengan KH. E Abdurrahman setiap malam kamis di rumahnya. Pelajaran yang disampaikan sangat beragam, namun yang paling diutamakan adalah tafsir Ibn Kasir.

Setelah melihat bakat Aceng Zakaria, KH. E Abdurrahman pun tertarik untuk merekrutnya menjadi ustadz di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Pajagalan. Tawaran ini pun langsung diambil olehnya.

Sesekali ia menyempatkan pulang ke Garut. Keluasan ilmunya yang telah lama ia dapatkan dari K.H. E. Abdurrahman dan dari kitab-kitab yang di baca, membuat dirinya diundang dalam acara diskusi yang sering diadakan oleh Pesantren Guntur Garut.

Bahkan sekitar tahun 1973, KH. Aceng Zakaria telah mulai berdiskusi masalah fiqh dengan beberapa ulama Garut seperti, Ajengan Karhi, Ajengan Ade, Ajengan Sulaiman dari Muhammadiyah dan beberapa ulama lainnya. Masalah yang diperdebatkan seputar membaca alfatihah di belakang imam, masalah qunut dan beberapa masalah fiqh kontroversial lainnya yang diselenggarakan sebulan sekali.

Hasil dari ketekunannya dalam mempelajari kitab-kitab Ulama terdahulu dan masa kini membawa pemikiran beliau menjadi kritis dan cermat dalam menghadapi setiap perdebatan. Dari acara inilah namanya mulai melambung dan menjadi bahan pembicaraan para ulama Garut.

Sekitar awal tahun 1975, KH. Aceng Zakaria memutuskan untuk pindah ke Garut atas permintaan dari Ibu Aminah Dahlan, salah seorang pendiri pesantren Persatuan Islam pertama di Garut. melihat kondisi umat Islam di Garut yang masih terbelenggu khurafat, tkhayyul dan kebid’ahan membuat dirinya rajin melakukan dakwah ke berbagai daerah di Garut.

Disamping ceramah diatas mimbar dia juga menyampaikan ceramah di salah satu station radio di Garut. Sesibuk apapun KH. Aceng Zakaria, Namun dedikasinya dalam mengajarkan ilmu Islam, khususnya Fiqh, tafsir, ilmu Bahasa Arab dan hadits tidak pernah dia tinggalkan. Ketika pertama kali menginjak Garut pun ia langsung mengajar di Pesantren Persatuan Islam Bentar Garut.

Beberapa ustadz di Garut meminta Aceng zakaria untuk mengajarkan ilmunya kepada mereka. Karena permintaan terus bertambah banyak, maka dia pun mengadakan pembinaan kepada para pengajar dan juru dakwah setiap malam jumat.

Pelajaran yang disampaikan seputar nahwiyyah, Fiqh dan tafsir. Khususnya bulan Ramadhan, para pengajar dan juru dakwah digembleng sebulan penuh dengan menyelesaikan pelajaran nahwiyyah yang dia susun ketika pertama kali sekolah di Pajagalan Bandung. Makalah-makalah dari penataran ini dia kumpulkan dan kemudian menjadi beberapa buku yang kini bereder hingga ke berbagai daerah di Indonesia seperti Irianjaya dan Aceh.

Salah satu karyanya yang monumental adalah Hidayah Fi Masail Fiqhiyyah Mutaa’ridhah. Buku ini dirampungkan sebanyak tiga jilid pada bulan Ramadhan 1408 H serta mendapat apresiasi dari Dr. Ahmad Amr Hasyim salah seorang dosen Hadits di Universitas al Azhar Kairo Mesir yang memberikan kata sambutan dalam pembukaannya.

Beberapa karya KH. Aceng Zakaria diantaranya :

Buku Aqidah
Ilmu tauhid jilid I, II dan III (Bahasa Arab)
Pokok-pokok Ilmu Tauhid
Syahadat Baiat dan Jamaah Islamiyyah

Buku Fiqh
Hidayah Fi Masail Fiqhiyyah Mutaa’ridhah
Haramkah Isbal dan Wajibkah Janggut
Doa – Doa Shalat, Versi Indonesia dan Sunda
Doa – Doa Sehari-hari
Do’a Haji dan Umrah
Hadyu Rosul
Tarbiyah An-Nisa (Bahasa Arab)
Tarbiyah Nisa (Bahasa Indonesia)

Buku Bahasa
Al-Muyasar fi Ilmu Nahwi Jilid I, II dan III (Bahasa Arab)
Al-Kafi (buku Tashrif) Jilid I, II dan III (Bahasa Arab)
Tashrif 24 Jam
Nahwu terjemah
Kamus Tiga Bahasa (Indonesia – Arab – Inggris )
Ilmu Mantiq (Bahasa Arab)
Jadul Mutaalim (Bahasa Arab)
Adiyyah, (Bahasa Arab)

Bidang tafsir
Al-Bayan fi Ulumul Quran (Bahasa Arab)
Ilmu tajwid (Bahasa Arab)
Tafsir Al Fatihah (bahasa Indonesia)

Buku Hadits
Ilmu Musthalah hadits (Bahasa Arab)
Etika Hidup Seorang Muslim
Kitabul Adab, Jilid I dan II, (Bahasa Arab)

 

DARI DAERAH, DENGAN SEGUDANG KARYA ILMIAH

Jauh dari hiruk-pikuk dunia industri, berada di bawah kaki Gunung Guntur tepatnya di Kudangsari Rancabango, terdapat sebuah pesantren yang tertata rapi, dipenuhi oleh para santri yang sedang khusyu belajar ilmu turâts di tengah struktur bangunan dan fasilitas teknologi yang memadai. Konsep pesantren modern yang dipadukan dengan kharismatika ulama ini kiranya merupakan manifestasi dari konsep fikir dan dzikir yang langsung dinakhodai oleh seorang Ulama Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango ini sejak tahun 2000 yang lalu.

Adalah KH. Aceng Zakaria, seorang ulama kharismatik dengan produktivitas tinggi. Ia lahir di Sukarasa, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Selain lahir dari lingkungan pesantren, Ulama yang lahir pada 11 Oktober 1948 ini juga memiliki ayah seorang ajengan. “Keluarga besar kami berasal dari lingkungan pesantren. Bahkan banyak para ajengan yang lahir dari garis nasab kakek saya. Salah satu di antaranya adalah Ajengan Yusuf Taujiri, Mu’allim Anshor, dan lain sebagainya”, tuturnya.

Dengan ketekunan yang luar biasa, sejak sekolah dasar di Babakan Loa hingga tahun 1961, Wanaraja, Kabupaten Garut, ia sudah khatam mempelajari lebih dari lima kitab kuning, seperti Safinah, Tijan, Jurumiyyah, Sanusi, dan lain sebagainya. Dengan bekal ini, ia dipercayai untuk langsung mengajar di Madrasah Diniyah Sukarasa, tiga tahun setelah selesai sekolah dasar. “Murid pertama saya adalah seorang anak SMP, namanya Bapak Didi Al-Ikhlas, Garut”, kenangnya.

Meski nilai matematikanya sepuluh, ayahnya H. Ahmad Kurhi, tidak mendorongnya untuk meneruskan sekolah di lembaga formal (baca: SMP). “Selain bapak tidak menyuruh untuk sekolah, saya sendiri tidak tertarik untuk melanjutkan sekolah di lembaga formal”, tutur suami Hj. Euis Nurhayati ini. Otomatis aktvitas ia terkonsentrasi pada mengkaji turats dan belajar bertani. Setiap hari ia habiskan waktunya untuk belajar, baik di waktu pagi maupun sore.

Pada masa-masa ini, ia sudah mulai menulis tema-tema ulum al-hadits, uhsul fiqih, nahwu dan sharaf. “Sambil belajar dan bertabligh, saya mulai belajar menuliskan apa yang selama ini saya pelajari. Bahkan manuskripnya masih ada tersimpan rapi”, kenang ayah yang memiliki 8 anak ini.

 

Belajar ke Bandung untuk Menerima Tantangan Dakwah

Dengan tantangan yang semakin kompleks ini, kemudian ia berfikir untuk menambah ilmu, kemampuan dan sekaligus pengalaman. Dengan dorongan Sang Kakek, ia pun memberanikan diri untuk menimba ilmu ke Bandung, tepatnya di Pesantren Persis No. 1-2 Pajagalan.

Ia diterima di Tsanawiyyah Tingkat IV dan menyelesaikan studinya sampai akhir di Tingkat Mu’allimin pada 1969. Seusai nyantri, ia diminta untuk mengajar di Pondok Pesantren Persis Pajagalan oleh Pimpinan Pesantren, Al-Ustadz E. Abdurrahman. Selama empat tahun, ia kembali mengasah kemampuannya dengan belajar Ilmu Tafsir langsung dari tokoh besar Persatuan Islam saat itu.

Namun tetap saja, kacang tidak boleh lupa pada kulitnya, dengan permintaan Pimpinan Daerah Persatuan Islam Kabupaten Garut, H. Komarudin AS, ia harus kembali ke daerah asalnya. Pada awalnya Al-Ustadz Abdurrahman menolak permintaan dari Garut, karena takut ilmu yang ia miliki belum begitu diperlukan untuk di tingkat daerah. Namun karena melihat kesungguhan Ibu Aminah yang langsung datang ke Pajagalan, akhirnya Al-Ustadz Abdurrahman merelakannya.

Kontan saja, sepulangnya di Kabupaten Garut pada 1975, potensi yang dimiliki ia dioptimalkan. Ia kembali mengkaji turats dengan beberapa kader dari berbagai daerah di Pesantren Persis 19 Bentar. Selain ilmu nawhu, ia pun mengkaji berbagai persoalan fikih. Dari hasil kajiannya ini, lahirlah beberapa karya monumental, seperti Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahw dan Al-Hidayah.

Jika Jam’iyyah Persatuan Islam Garut bertugas sebagai ‘divisi’ rekruitmen kader, maka Ust. Aceng Zakaria-lah yang menjadi pembina kadernya. Sehingga dalam menjalankan tugasnya ini, tidak jarang ia harus berdebat dengan berbagai kalangan tentang persoalan-persoalan fikih. Tercatat beberapa kali dilakukan perdebatan dengan ormas-ormas Islam yang ada di Kabupaten Garut saat itu, seperti Muhammadiyyah dan Nahdhatul ‘Ulama.

Saat ini, selain menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango, ia menjadi salah satu anggota Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Pengurus dan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) Kabupaten Garut.

Aktivitas dakwah yang ia geluti sangat luas. Selain aktif berdakwah di lingkungan Persatuan Islam, ia tercatat sebagai instruktur tetap Kursus Kesejahteraan Rohani (KKR) Pengajian Wanita Salman ITB Bandung, instruktur tetap pada Training Haji di berbagai instansi, penceramah rutin di Yayasan Madani Geologi ITB Bandung, pengisi rutin kuliah subuh di berbagai radio dan acara Cahaya Kalbu di TVRI Jabar-Banten, serta seabreg aktivitas di tempat lainnya.

Ia pun pernah diundang untuk mengisi Diskusi Keindonesiaan dengan tema Masa Depan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Cabang Zagaziq Mesir pada 21 September 2001, menjadi narasumber dalam acara seminar Pelatihan Metodologi Pemikiran Hukum Islam yang dilaksanakan oleh MUI Jawa Barat pada 31 Agustus 2001, dan menjadi pengisi pada acara Semiloka Nasional dengan tema Menyongsong Lahirnya KUHP Harapan Umat di Unisba.

 

Kunci Ilmu: Belajar, Mengajar, Diskusi, dan Menulis

Ketika ditanya mengenai kunci budaya ilmu, ia menjawab, “Kuncinya keseimbangan antara belajar, mengajar, diskusi, dan menulis”, tutur ulama yang sekarang menjabat sebagai Ketua Bidang Garapan Pendidikan Pimpinan Pusat Persatuan Islam ini.

Dari prinsip yang dilaksanakan secara konsisten ini, tidak aneh jika telah lahir lebih dari 50 judul. Buku pertama yang ia tulis adalah ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) dengan sistem Jurumiyyah, kemudian mustholah al-hadits (definisi dan konsep dasar ilmu hadits), serta ushul fikih. Namun ketiga tulisan awal ini belum sempat diterbitkan.

Diantara buku yang ia tulis, magnum opusnya adalah Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi. Buku tersebut sudah digunakan hampir diseluruh Indonesia, sudah mengalami tiga puluh kali cetak, dan lebih dari tiga juta eksemplar.

“Bahkan buku ini digunakan juga sebagai bahan ajar Ilmu Nahwu praktis di Malaysia”, tutur Ketua STAI Persis Garut ini. Al-Muyassar ini merupakan rangkuman ilmu nahwu yang mengadaptasi metode praktis sehingga mudah difahami para pemula namun tidak enteng untuk pelajar tingkat lanjut.

“Al-Muyassar adalah hasil ramuan dari berbagai macam metode ilmu nahwu, baik dari kitab klasik, bahan ajar di Pajagalan Bandung, atau hasil pengalaman privat di berbagai tempat”, jelasnya.

Selain Al-Muyassar, buku fenomenal lain karangan ia adalah Al-Hidayah. Buku ini berisi tentang pembahasan perbedaan-perbedaan pendapat dalam fikih beserta pemecahannya.

Sebagaimana tradisi ulama penulis di lingkungan Persis, buku ini membahas persoalan hukum dengan jelas dan tidak bertele-tele. Bahkan saat ini, para pemerhati hukum pemula bisa membacanya karena sudah disediakan dalam bahasa Indonesia dalam 3 jilid.

Buku-buku lain yang telah diterbitkan diantaranya adalah: Kesalahan Umum dalam Pelaksanaan Sholat, Etika Hidup Seorang Muslim, Tarbiyyah Al-Nisâ, Materi Dakwah, Doa-doa Shalat, Mengungkap Makna Syahadat, Bai’at, dan Berjama’ah, Belajar Nahwu Praktis 40 Jam, Belajar Tashrif Sistem 20 Jam, Kamus Tiga Bahasa (Arab-Indonesia-Inggris), Al-Kâfi fi Al-Ilm Al-Sharfi, Kitab Al-Tauhid (3 jilid), Ilm Al-Mantiq, Al-Bayân Fi ‘Ulûm Al-Quran, Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot?, Sakitku Ibadahku, Jabatanku Ibadahku, serta buku-buku lain yang diterbitkan secara terbatas di lingkungan pesantren.

Selain menulis buku, ia pun menjadi kolumnis di berbagai media baik media internal Persatuan Islam seperti Risalah atau media lainnya. Saat ini lebih dari 60 judul artikel yang telah diterbitkan. Tema-tema yang ditulis membahas hampir seluruh pokok kehidupan manusia, seperti aqidah, adab, masâil fikih (permasalahan fikih), dakwah, syiyâsah, kalam, dan iqthishadiyyah (ekonomi). Keluasan tema yang ditulisnya ini menggambarkan bahwa KH. Aceng Zakaria adalah seorang ulama kharismatik yang sangat produktif dengan wawasan ilmu yang sangat luas.

Istri: Hj. Euis Nurhayati
Anak:
1. Evi Nurhasanah
2. Yanti Nurlaeli, S.Pd
3. Luthfi Lukman Hakim, Lc.
4. Yudi Wildan Rosid, Lc.
5. Rifqi Aulia Rahman
6. Husni Muttakin
7. Zaki Shiddiqi
8. Rahmi Rasyidah

Pendidikan
1. SD (1961) di Babakan Loa Wanaraja Garut
2. Tsanawiyyah (1969) di Pesantren Persis No. 1-2 Pajagalan
3. Mu’allimin (1969) di Pesantren Persis No. 1-2 Pajagalan

Reporter: Reporter Editor: admin