Bicara soal cinta, rasanya tak akan pernah bosan. Lintas waktu dan lintas generasi, kisah cinta akan selalu ada.
Cinta adalah salah satu bentuk emosi (perasaan) dalam psikis manusia. Ia merupakan anugrah Allah kepada manusia, sehingga dalam menjalani kehidupan, manusia bisa menjadi manusia seperti seharusnya.
Oh ya, bagi yang sekarang sedang dibuai cinta asmara, mari kita cek apakah cinta yang bersemi di hati kita itu sudah benar-benar aman? Sehat dan layak dipertahankan?
Ataukah membahayakan hidup kita? Eh, kok bisa disebut membahayakan?
Kalau cinta Dilan Milea termasuk yang mana? Kita akan tahu sebentar lagi.
Dilan Milea 1990, itu adalah judul novel yang kini diangkat jadi sebuah film. Film ini lagi ngehits di sebagian kalangan remaja.
Begini, cinta yang sejati itu bisa kita lihat dari beberapa indikator (ciri). Kalau indikator-indikator ini ada dalam rasa cintamu, maka layaklah itu disebut cinta.
Pertama: Cinta itu membangun diri jadi lebih baik
Jika benar itu adalah cinta, maka seseorang akan tumbuh sesuai potensinya. Lelaki tumbuh dengan potensi kelaki-lakiannya, Perempuan pun tumbuh dengan potensi keperempuanannya.
Cinta tak akan melecehkan, mengorbankan kehormatan, dan merusak masa depan. Tapi ia akan memberikan dorongan untuk jadi lebih baik, lebih berani, lebih mengerti, lebih lapang dada dan lebih bersabar dalam berjuang.
Sebenarnya, inilah yang dimaksud orangtua zaman dahulu. Mereka pernah bilang, kalau ingin semangat belajar di sekolah; bangun cinta (puber). Dan nyatanya, anak-anak zaman dahulu memahami arti cinta dengan benar.
Sehingga saat cinta bersemi dan berdinamika, prestasi mereka tetap oke, akhlak mereka juga tetap terjaga.
Kedua: Cinta itu Mendorong pada Ketaatan dan Kebaikan Akhlak
Di telinga kita sudah sering terdengar istilah jatuh cinta. Apa yang terjadi pada orang yang jatuh cinta? Seringkali ia dikendalikan dan dikondisikan oleh syahwat.
Mari kita ubah dengan istilah bangun cinta. Bangun cinta berarti kita yang mengendalikan rasa cinta itu, agar ia tetap menjadi kebaikan.
Bagi orang yang beriman, cinta teragung dalam dirinya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang membingkai cinta-cinta lainnya sehingga dia memiliki kepribadian yang sehat, berbakti pada ayah ibu, baik akhlaknya, dll.
Saat orang ini mencintai lawan jenisnya, maka dorongan cintanya akan mengarah pada ikatan suci pernikahan. (ini konteks anak muda, masih lajang). Cintanya membuahkan ketaatan kepada Allah.
Allah berikan sakinah, semakin menyuburkan waddah (cinta) dan memberikan rahmat untuk ikatan cinta mereka (dalam pernikahan).
Sebaliknya, jika bukan Allah dan Rasul-Nya yang mengisi relung hati terdalam, maka ia akan sulit mengendalikan diri. Mudah mengikuti syahwat, mudah melakukan pemberontakan, ketidaktaatan, pembangkangan, tak peduli dengan aturan, tak peduli pada orangtua, tak peduli pada oranglain.
Ketiga: Cinta itu Harus Ada Logika
Tanpa logika (akal) yang sehat dan norma (aturan) agama, cinta bisa berubah menjadi ganas, merusak dan liar, karena itu bukan lagi cinta melainkan syahwat.
Ia akan menuntut kebabebasan sampai kebablasan. Ia akan mengorbankan kehormatan diri. Ia akan berakhir nestapa dan penuh kehinaan.
Keempat: Cinta itu Harus Memiliki
Ikatan cinta yang ada pada diri dua orang yang saling mencintai, belum disebut cinta sejati, manakala tak berani untuk saling memiliki. Sebab cinta mesti memiliki.
Bentuk memiliki-nya adalah dengan ikatan pernikahan.
Jika cinta tak harus memiliki, maka itu bukan cinta lagi. Sebut saja; cinta satu malam, cinta satu jam, dll merupakan syahwat. Itu semua syahwat ayam kampus, buaya darat, syahwat binatang ! Ia sudah kehilangan kewarasannya sebagai manusia yang beradab.
Kelima: Cinta itu Tidak Konyol
Jika benar itu adalah cinta, maka ia tak akan berbuat kekonyolan paling bodoh dlm hidupnya. Tak akan tukaran foto (bugil, maaf), tak akan mau dicium, dipeluk dan diraba raba. Apalagi mati bunuh diri.
Keenam: Cinta itu Memunculkan Kesetiaan
Rasa cinta membuat orang berani mengambil konsekuensi untuk setia. Setia kepada Allah untuk menghindari dosa-dosa yang menjerumuskan pada zina.
Kesetiannya dibuktikan dengan menjaga virginitas, menundukan pandangan, tidak pacaran kecuali setelah menikah (karena sudah halal), menjadi jomblo mulia istiqamah, shaum sunnah, segera pulang ke rumah jika melihat wanita yang seksi atau aduhai (khusus yang sudah menikah ya), menjaga jarak dengan non muhrim, menjaga fitnah, tak mengumbar aurat, tak merusak hubungan orang lain (jadi pelakor),
hingga pada akhirnya bisa bermujahadah (berjuang secara sungguh sungguh) mengorbankan harta dan jiwa untuk membela agama Allah, terbebas dari belenggu cinta dunia (anak istri dan harta kekayaan).
Katakan pada Dilan, jika Keenam indikator itu tak ada, maka itu bukan Cinta lagi, tapi Syahwat.
Hidup bisa berat dan sesat !
Wahai, engkau yang saat ini masih terbelenggu dengan syahwat, pahamilah pesan Allah SWT ini;
“Maka datanglah setelah mereka, pengganti (generasi) yang mengabaikan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu), maka mereka kelak akan tersesat” (Q.S. Maryam: 59)
“Kecuali mereka yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan perbaikan amal (beramal shaleh), maka mereka itu akan masuk surga dan tak akan didzalimi sedikitpun (sebab dosa-dosanya sudah diampuni)” (Q.S. Maryam: 60)
Allahu A'lam.
***
Penulis: Taufik Ginanjar