Refleksi Menjelang Muktamar Persis 2015
Tiar Anwar Bachtiar
(Ketua Umum PP Pemuda Persis)
Usai sudah—dengan segala dinamika dan hiruk pikuknya—Muktamar dua ormas besar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Satu ormas lain yang berbasis di Banten yang beberapa dekade ke belakang merupakan bagian dari Jawa Barat (baca: Tatar Sunda), yaitu Mathla’ul Anwar juga telah sukses menggelar Muktamarnya. Diam-diam tanpa pemberitaan, PKS juga telah selesai menggelar hajat suksesi penggantian struktur pengurus pusatnya sejak Ketua Majelis Syuro hingga Presidennya. Hasilnya sudah sama-sama diketahui publik. Pasangan Ma’ruf Amin (Banten)-Said Agil Siraj (Cirebon) memimpin NU; Haedar Nasir (Bandung) memimpin Muhammadiyah; Ahmad Sadeli Karim (Banten) memimpin Mathla’ul Anwar; serta pasangan Muhammad Sohibul Iman (Tasikmalaya)-Taufik Ridha (Karawang) memimpin PKS.
Menarik bahwa di pucuk-pucuk pimpinan organisasi Islam yang levelnya nasional itu kini bertengger nama-nama tokoh pituin Sunda. NU yang basis sesungguhnya ada di Jawa Timur, justru kini kepemimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh dari Jawa Barat (dan Banten). Walaupun Said Agil Siraj berasal dari Cirebon yang sering tidak terlalu merasa “Sunda”, tapi sesungguhnya kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Tatar Sunda. Jadi siapapun yang besar dan lahir dari kawasan ini sebetulnya memiliki jiwa dan jati sunda. Demikian pula Banten yang sejarahnya tidak bisa lepas dari sejarah Tatar Sunda. Oleh sebab itu, tidak berlebihan bila pasangan keduanya boleh dibanggakan oleh masyarakat Sunda. Muhammadiyah kini dipimpin ketua umum yang pituin Bandung dari sekeseler Singaparna. Walaupun sejak kuliah hingga kini tinggal di Jogja, namun sejak kecil ia tumbuh di Bandung dan sempat masantren di Pesantren Cintawana Singaparna. Nasir masih sangat fasih berbicara dalam bahasa ibunya, Sunda. Lebih menarik lagi, dalam sejarahnya, baru kali ini Muhammadiyah dipimpin oleh urang Sunda.
Walaupun tidak terlalu besar, peran Mathla’ul Anwar ini cukup penting, terutama di kawasan Banten. Kalau pemimpinnya sekarang, Ahmad Sadeli Karim, berasal dari Banten pituin, sesungguhnya tidak ada sejarah yang baru bagi ormas ini, selain Karim sebelumnya sempat menjadi angota DPRD Banten Fraksi PKS dan sekarang anggota DPD mewakili Banten. Sejarah baru justru terjadi di tubuh PKS. Sejak berdirinya tahun 1998, salah satu partai Islam yang masih bertahan hingga kini belum pernah dipimpin oleh urang Sunda. Walaupun sudah banyak urang Sunda yang menjadi elit partai ini seperti Hilmi Aminudin (Bandung), Taufik Ridho (Karawang), Surahman Hidayat (Ciamis), dan lainnya, namun sebelum tahun ini belum ada yang menduduki pucuk pimpinannya sebagai predisen partai. Baru kali ini urang Sunda terpilih menjadi presidennya, bahkan bersama sekjennya pun sama-sama urang Sunda.
Kalau melihat apa yang kini tengah terjadi dalam konstelasi gerakan Islam di Indonesia, tidak berlebihan bila sepuluh tahun yang akan datang tengah terjadi apa yang saya istilahkan dalam tulisan ini sebagai “Dekade Sunda”. Istilah ini bukan hanya sekedar mengingatkan bahwa urang Sunda sudah berada di pucuk pimpinan beberapa gerakan Islam. Istilah ini lebih dari itu menyiratkan bahwa akan ada suatu fase sejarah bangsa ini yang memberi ruang untuk urang Sunda memberikan warna dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang selama ini dikesankan hanya didominasi oleh etnik lain. Tulisan ini, tidak dalam rangka menyarankan apapun, namun hanya ingin memperlihatkan peluang-peluang baru bagi komunitas Sunda dalam kancah kepemimpinan Nasional. Selebihnya apa peluangnya bagi Persis yang akan bermuktamar bulan November 2015 yang akan datang.
Dekade Sunda dan Kepemimpinan Nasional
Munculnya urang Sunda di jajaran elit pemimpin negeri ini memberikan pesan-pesan zaman penting bagi komintas Sunda. Pertama, selama ini urang Sunda sering dianggap sulit untuk duduk menjadi orang nomor satu dalam level kepemimpinan nasional. Urang Sunda sering hanya berjajar di bangku pendukung suku-suku lain dalam kepemimpinan negeri ini. Akan tetapi, dengan tampilnya urang Sunda tahun 2015 ini di tampuk-tampuk pimpinan organisasi-organisasi penting di Indonesia, tersembul harapan besar bahwa mitos urang Sunda yang tidak bisa menjadi pemimpin nasional akan segera terhapus. Bukan tidak mustahil, urang Sunda segera tampil bukan hanya di kandangnya sendiri, melainkan di kandang orang lain seperti yang terlihat di NU dan Muhammadiyah yang keduanya tidak berbasis kokoh di Tatar Sunda. Satu dekade ke depan sangat mungkin akan menjadi “Dekade Sunda”.
Kedua, kemungkinan tampilnya urang Sunda di level kepemimpinan nasional, terutama menjelas 2019 ini semakin optimistik manakala melirik track record Gubernur Jawa Barat yang telah memimpin selama dua periode ini, yaitu Ahmad Heryawan. Prestasi Ahmad Heryawan sebagai Gubernur di Jawa Barat cukup membanggakan dibandingkan dengan gubernur-gubernur lain di Indonesia saat ini. Segudang penghargaan dalam berbagai bidang telah diraihnya. Bila Kang Aher dinilai secara objektif, seharusnya tahun 2019 adalah saat yang tepat urang Sunda ikut meramaikan bursa calon pemimpin nasional. Belum lagi kekuatan Kang Aher ini juga ditopang oleh citra Walikota Bandung Ridwan Kamil yang cukup baik di mata publik. Ini menjadi kekuatan lain bagi masyarakat Indonesia secara umum untuk mulai melirik urang Sunda untuk mencoba memimpin negeri ini.
Ketiga, tahun 1980-an, budayawan Ajip Rosjidi pernah melontarkan pendapat bahwa Sunda teh Islam dan Islam teh Sunda untuk menunjukkan keterkaitan sangat erat antara budaya urang Sunda dengan Islam. Realitas ini tidak bisa dimungkiri, bahkan hingga saat ini. Komunitas Sunda dikenal sangat dejat dengan Islam; pun kebudayaan Sunda yang masih hidup hingga saat ini. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila tahun 2015 ini, mengawali “Dekade Sunda” di masa yang akan datang, para pemimpin yang lahir dari Tatar Sunda ini memulai karir kepemimpinannya di organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, MA, dan PKS. Ini juga menjadi salah satu penanda lain bahwa kekuatan politik Islam di Tatar Sunda masih cukup dominan, masih tidak jauh berbeda seperti saat Masyumi memenangkan Pemilu 1955 di wilayah Jawa Barat ini. Jadi, siapapun yang akan maju mewakili urang Sunda untuk menjadi pemimpin nasional, dia tidak dapat mengabaikan kekuatan Islam di Tatar Sunda sebagai penopang utamanya.
Keempat, walaupun ada tanda-tanda zaman mulai bangkitnya kepemimpinan urang Sunda, namun harus disadari bahwa urang Sunda akan memimpin “Indonesia” yang jamak dari segi etnik. Urang Sunda tidak perlu mengulangi kesalahan Suharto zaman Orde Baru dulu yang melakukan “Jawanisasi” secara massif sampai pada level kebudayaan. Budaya Jawa dipaksakan menjadi budaya dominan yang mewakili “Indonesia”. Harus diakui bahwa tidak ada yang disebut “budaya Indonesia” sehingga sangat terbuka bagi etnis manapun di Indonesia untuk mewakilinya. Akan tetapi, dominasi salah satu kultur untuk mewakili “Indonesia” adalah suatu kesalahan besar. Seandainya Allah Swt. menakdirkan Ki Sunda tampil memimpin, maka di tangannya harus lahir suatu ikhtiar untuk mengkatalisasi kultur “Indonesia” yang jamak. Pendekatannya tidak bisa dilakukan secara politis, melainkan melalui ikhtiar dialog antar-budaya yang menempatkan masing-masing budaya secara setara. Pada saat yang sama, dialog antar-budaya ini juga harus digunakan untuk menggali kekuatan kultural bangsa ini yang belakangan ini semakin terseret kultur asing melalui gelombang globalisasi yang semakin menggila.
Apakah “Dekade Sunda” ini akan benar-benar terwujud? Semuanya terpulang pada keseriusan urang Sunda menunjukkan kualitas dan kapasitasnya dalam memberikan solusi bagi masalah-masalah bangsa ini seperti yang telah ditunjukkan urang Sunda di NU, Muhammadiyah, dan PKS. Juga seperti yang ditunjukkan oleh urang Sunda yang berhasil memelihara Persatuan Islam (Persis) selama puluhan tahun. Pada gilirannya, semua mata anak bangsa ini akan tertuju pada pemimpin-pemimpin yang memiliki kualifikasi ideal untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terus membelit rakyat. Tanda-tanda zamannya sudah semakin dekat. Urang Sunda semakin memiliki kualifikasi yang ideal dan ‘layak-jual’. Tinggal kita tunggu saja tanggal mainnya, sambil tidak melupakan takdir Allah Swt. yang telah mendahului apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Dekade Sunda dan Persis
Membicaran organisasi pergerakan Islam dikaitkan dengan Ki Sunda, tidak lengkap rasanya tanpa membicarakan Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini, dalam pergaulan ormas-ormas Islam nasional dianggap sebagai ormas ketiga terbesar setelah NU dan Muhammadiyah, paling tidak dilihat dari sisi usia organisasinya yang telah lahir sejak tahun 1923 dan pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam pada awal ke-20. Walaupun pendiri dan tokoh ideolog Persis bukan semuanya urang Sunda, namun karena Bandung merupakan pusat kelahirannya, Persis tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Sunda yang sangat kental.
Benar bahwa para pendiri Persis adalah keluarga besar Palembang, yaitu keluarga H. M. Yunus dan H. M. Zam Zam. Benar juga bahwa peletak dasar pemikiran Persis adalah A. Hassan, pemikir keturunan India yang lahir dan besar di Sungapura. Namun, keberadaan Persis di Bandung dan menyebar dari kota ini, menyebabkan sebagian besar pendukung Persis adalah urang Sunda. Ini yang menyebabkan hingga saat ini bahasa pergaulan sebagian besar aktivis Persis adalah Sunda. Mereka yang bukan Sunda pun secara terpaksa harus ikut, minimal, memahami bahasa dan budaya Sunda. Sepanjang sejarah Persis yang hampir satu abad hingga saat ini, Sunda menjadi bagian tidak terpisahkan darinya.
Pada awal-awal kepemimpinan Persis memang pernah tampil orang-orang yang bukan Sunda seperti A. Hassan (Guru Persis), M. Isa Anshary (Ketua Umum Persis 1948-1960) yang asli urang Minang, Fakhrudin Al-Kahiri (Ketua Pemuda Persis periode awal) yang keturunan India, Rusyad Nurdin (Pimpinan Persis) yang Urang Minang, dan beberapa yang lain. Akan tetapi, setelah tahun 1960-an hingga saat ini dominasi kepemimpinan Sunda di Persis sangat kuat. Ketua umum Persis sejak K.H. E. Abdurrahman, K.H. A. Latif Muchtar, K.H. Shiddiq Amin, hingga K.H. M. Abdurrahman saat ini dipegang terus oleh urang Sunda. Bahkan konon kabarnya calon-calon ketua umum yang akan maju di bursa Muktamar 2015 ini pun semuanya masih seke seler Sunda. Boleh dikatakan sudah hampir setengah abad Sunda benar-benar sangat dominan di Persis sampai-sampai banyak yang memelesetkan singkatan Persis menjadi “Persatuan Islam Islam Sunda”.
Sejarah Persis memang tidak melulu sejarah urang Sunda. Akan tetapi, suatu bukti sejarah yang tidak bisa dimungkiri bahwa ada salah satu ormas Islam yang berusia cukup panjang dan hingga saat ini cenderung terus berkembang secara kuantitatif yang dimumule (diurus dan dikembangkan) oleh urang Sunda. Ini menunjukkan bahwa selama puluhan tahun urang Sunda sanggup menjaga dan mengembangkan salah satu social and cultural heritage bangsa ini. Urang Sunda di Persis sudah menunjukkan ketahanan dan prestasinya dalam mempersiapkan kader-kader bangsa di masa yang akan datang. Walaupun sebagai organisasi nasional, Persis terus bervisi untuk menjadi “nasional” bukan hanya milik urang Sunda, namun sejarah telah mencatat apa yang telah dilakukan oleh urang Sunda di Persis.
Kalau dekade ini boleh dikatakan sebagai “Dekade Sunda”, maka jika sepuluh tahun yang akan datang Persis masih akan dipimpin dan didominasi oleh urang Sunda, maka Persis akan semakin memperkokoh “Dekade Sunda” itu. Bahkan dalam beberapa hal, Persis ini juga telah menyumbangkan saham untuk lahirnya dekade Sunda ini. Paling tidak, banyak aktivis di PKS, terutama dari kalangan Sunda lahir dan dibesarkan di Persis. Sebut saja Hilmi Aminudin yang masih keluarga besar Persis, Shohibul Iman yang waktu pelajar rajin ikut pengajian Persis di Tasikmalaya, dan Taufik Ridho yang pituin alumni Pesantren Persis. Akan tetapi, mereka menjadi tokoh nasional bukan karena sengaja “disiapkan” oleh Persis, melainkan karena faktor-faktor lain di luar itu.
Justru PR besar yang hari ini harus dijawab Persis adalah “mampukah Persis benar-benar memproduksi sendiri kadernya untuk dapat bersaing di kancah kepemimpinan nasional?” Untuk menjawab pertanyaan ini yang pertama-tama harus dilakukan Persis adalah melepaskan diri dari jebakan lokalitas Sunda. Bukan hal yang cukup mudah untuk melakukan ini mengingat lebih dari dua pertiga anggota Persis berasal dari Jawa Barat dan beretnis Sunda. Kultur Sunda mau tidak mau akan berpengaruh dalam proses pergaulan dan pengambilan kebijakan organisasi. Hal ini sesungguhnya bisa bukan menjadi masalah apabila Persis dan pemimpinnya yang terpilih nanti dapat merumuskan visi yang tegas dan jelas lalu dikawal oleh kepemimpinan yang kuat bahwa Persis akan menjadi organisasi yang “menasional” bukan hanya untuk lokal Sunda dan Jawa Barat. Visi ini juga akan mengurangi ketegangan antara PP Persis dengan PW Persis Jawa Barat yang seringkali bentrok dalam program di lapangan karena objek kerja yang sama.
Kedua, selain visi organisasi yang lebih penting lagi adalah persoalan rencana besar kaderisasi Persis. Bila tidak ada rancangan ini, maka visi Persis untuk menjadi “menasional” atau bahkan “menginternasional” hanya akan menjadi keinginan hampa. Rencana besar kaderisasi ini merupakan elemen organisasi yang berbasis pada kader seperti Persis. Sejak awal organisasi yang fokus pada grand program pendidikan dan dakwah ini bukan tipikal organisasi yang seenaknya mengambil orang di tengah jalan tanpa melalui proses “kaderisasi” di jam’iyyah. Oleh sebab itu, bila Persis sungguh-sungguh ingin memberikan kontribusi kader secara nasional maka rencana besar kaderisasi harus dibuat dengan visi ke arah sana. Rencana kaderisasi ini harus meliputi pola rekruitmen, pembinaan, pengembangan, hingga promosi kader ke semua level.
Ketiga, bila Persis telah memiliki rencana besar program kaderisasi ini, maka platform gerakan Persis selanjutnya dapat diarahkan mengacu kepada visi dan rencana besar kaderisasi Persis ini. Dengan ini berarti Persis akan mengarahkan gerakannya di masa yang akan datang dengan mengandalkan kekuatan kader-kadernya, bukan organisasinya semata-mata. Manajemen yang akan menjadi basis pegangan Persis yang paling utama adalah manajemen berbasis kader (human resources). Manajemen ini akan meniscayakan dibangunnya suatu sistem yang didasarkan pada kualifikasi dan kapabilitas (merit system). Keberhasilan organisasi akan diukur dengan seberapa banyak sistem telah melahirkan kader-kader dengan kualifikasi yang mumpuni dalam bidang-bidang tertentu yang dibina oleh Persis. Semakin banyak kader yang memiliki kualifikasi ideal dan baik, maka semakin mudah Persis melakukan promosi kader pada level yang lebih tinggi bukan hanya di lingkungan jamaah Persis.
Ketiga hal yang disebutkan di atas tentu saja sifatnya masih sangat besar dan kasar; perlu diturunkan lebih kongkrit pada program-program teknis yang akan dibicarakan pada Muktamar Persis yang akan datang. Bila saran-saran besar di atas dirasakan masuk akal dan penting, para peserta dapat memikirkannya untuk nanti diusulkan melalui forum Muktamar. Selain itu, bagi pemangku kebijakan dari level pimpinan pusat hingga pimpinan jamaah Persis, sumbang saran di atas juga dapat dijadikan bahan renungan untuk mengoptimalkan peran dakwah Persis di masa-masa yang akan datang. Wallahu A’lam.