Ada dua terminologi yang harus difahami dan dibedakan, yaitu istilah bid’ah dan maslahah mursalah. Pengertian bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَة تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan/cara dalam agama yang dibuat-buat (tanpa dalil) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), dengan maksud ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah) (Syatibi, al-I’tisham, 1/28)
Ada tiga poin penting dalam pengertian diatas, pertama cara atau jalan baru dalam agama. Kedua, menyerupai syariat. Ketiga, dari segi motif sama dengan cara/metode yang sudah disyariatkan yaitu ta’abudi. Sedangkan maslahah mursalah adalah cara atau jalan baru yang tidak ada dalil syara’nya secara khusus, baik yang menetapkan atau menafikan, namun sesuai dengan atau menjadi wasilah bagi tujuan atau maqhasid syariat yaitu menutup mafsadat dan menarik maslahat (Wahbah az-Zuhaili, Ushulfiqh al-Islami, 2/756, Syatibi, al-I’tisham, 1/28-29).
Persamaan bid’ah dengan maslahah mursalah, pertama sama-sama hal baru dalam agama. Kedua, sama-sama tidak ada dalilnya secara khusus.
Adapun perbedaan bid’ah dengan maslahah mursalah;
Pertama maslahah mursalah sifatnya menarik maslahat dan menghindari mafsadah, sehingga menjadi wasail untuk merealisasikan maqhasid, sedangkan bid’ah meyakini bahwa apa yang diyakininya sebagai cara/metode baru tersebut sebagai syariat atau maqhashid, bukan sebagai wasail.
Kedua, sifat dari maslahah mursalah adalah ma’qul al-ma’na (difahami akal) sedangkan bid’ah ghair ma’qul al-ma’na (tidak difahami aqal) sebagaimana ibadah.
Jika hanya sekedar mengingatkan ibadah ramadlan bertepatan dengan pada akhir bulan Sya’ban selama tidak menjadikannya syariat maka hukumnya boleh. Karena secara akal (ma’qul al-ma’na) berdekatan dengan bulan Ramadlan yang begitu banyak keutamaan ibadah didalamnya. Hal tersebut pada hakikatnya sebagai wasail atau sarana bukan sebagai tujuan atau maqhashidnya, sehingga tidak harus diakhir sya’ban, bisa juga awal sya’ban atau pertengahan sya’ban, bahkan waktu-waktu lain diluar bulan sya’ban.
Adapun jika ada keyakinan khusus bahwa pengajian dalam rangka menyambut bulan Ramadlan tersebut merupakan bagian dari syariat atau ibadah, waktu harus diakhir sya’ban, maka terkategori bid’ah sebagaimana muludan atau rajaban.
Begitu juga misalnya dengan pengajian setiap hari ahad, hal tersebut merupakan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada dalam syariat, namun pengajian bertepatan dengan hari ahad, hanya sebagai wasail saja bukan maqhasid, karena pada hari tersebut secara pertimbangan akal dan maslahat, paling memungkinkan dijadikan sebagai waktu pengajian yang tepat.
Tentunya bisa pula dipindahkan pada hari yang lain, sesuai dengan kebutuhan. Adapun jika diyakini pengajian hari ahad tersebut sebagai bagian dari ta’abudi atau maqhashid sebagaimana ibadah yang lain, bukan sebagai wasail merealisasikan ibadah atau maqhashid, maka hal tersebut termasuk kategori bid’ah.
***
Penulis; Ginanjar Nugraha, M.Sy, Ketua Lembaga Kajian Turats PP Pemuda Persis