Tiar Anwar Bachtiar
(Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam)Pertengahan Februari 2015 lalu, penulis mendapat tugas untuk menyampaikan amanah umat untuk disampaikan kepada masyarakat Gaza melalui PP Pemuda Persis. Setelah melalui penelusuran informasi mengenai jalur-jalur bantuan yang sampai ke Gaza, kami akhirnya memutuskan menyampaikan dana bantuan kita melalui Al-Sarraa Foundation yang berkantor di Istanbul Turki. Lembaga ini telah bekerja sama dengan berbagai lembaga kemanusiaan terpercaya di Indonesia seperti Sahabat Al-Aqsha, KISPA, Dompet Dhuafa, Radio Rodja, dan sebagainya. Setelah diperlihatkan track record lembaga ini seteleh kita datang ke kantornya di Istanbul, kepercayaan terhadap lembaga ini semakin bertambah. Selain karena dikelola langsung oleh aktivis Palestina yang terjun langsung di lapangan, lembaga ini juga bekerja dengan sangat professional untuk membangun kepercayaan publik di seluruh dunia.
Untuk memanfaatkan waktu tersisa setelah menyampaikan amanah umat, penulis diajak menemui tokoh-tokoh pejuang Palestina yang tengah berada di Istanbul dengan berbagai alasan. Ada yang datang untuk berobat setelah terkena bom Israel atau sekedar untuk mencari suaka politik kepada pemerintah Erdogan yang saat ini tampil menjadi salah seorang pemimpin dunia yang secara tegas memberikan dukungan dan pembelaan terhadap Palestina. Ada dua orang yang kami temui. Salah satunya adalah veteran Brigade Izzudin Al-Qassam ber-kunyah Abu Ahmad. Kini ia bertugas untuk menggalang dana kemanusiaan dari seluruh dunia dan ditempatkan di Istanbul bersama keluarganya. Kedua saya dipertemukan oleh Abu Ahmad kepada Imad Al-Alami, salah seorang tangan kanan Khalid Mis’al ketua Maktab Siyasi HAMAS. Ia berada di Istanbul untuk mengobati kakinya yang buntung terkena bom Israel dalam Perang 50 hari tahun 2014 lalu. Abu Ahmad menyebutnya sebagai pria cerdas, pemikir, dan salah seorang petinggi HAMAS yang paling dicari oleh Israel. Dari kedua orang ini, saya bersama rombongan mendapatkan kisah-kisah baru yang menarik untuk diketahui para pembaca Indonesia. Tulisan ini akan menurunkan beberapa hal penting yang akan memperkaya wawasan kita mengenai konflik di Timur Tengah yang belum memperlihatkan tanda-tanda akan reda dalam waktu dekat ini.
Pragmatisme Politik Amerika dan Eropa
Bila menarik benang lurus sejarah ke belakang, wilayah Timur Tengah memang sejak lama dipenuhi dengan berbagai konflik. Akan tetapi, motif dan eskalasinya berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Islam, sejak datangnya Nabi Muhammad Saw. konflik-konflik bersenjata dilatarbelakangi oleh usaha Islam melakukan futûhâh (pembukaan wilayah untuk dakwah Islam). Istilah ini sering disalahartikan sebagai penyebaran Islam melalui “pedang” dan “kekerasan”. Padahal, futûhât sama sekali berbeda dengan label itu. Futuhât adalah suatu usaha politik untuk membuktikan kepada dunia bahwa Islam datang sebagai pembawa rahmat (kedamaian) bagi seluruh alam.
Misi itu diwujudkan setidaknya dengan dua hal. Pertama, perang-perang yang terjadi dalam kerangka penaklukan berbagai wilayah menjadi kawasan Muslim dilakukan dengan etika politik dan militer yang sangat santun dan manusiawi. Disebut santun karena proses futuh tidak dilakukan secara langsung dengan tindakan militer. Terlebih dahulu ada proses dakwah dan negosiasi politik dengan penwaran damai. Akan tetapi, seringkali pihak musuh merasa bahwa mereka dapat mengalahkan pasukan Islam sehingga akhirnya opsi tawaran untuk masuk Islam atau damai di bawah panji pemimpin Islam tidak digubris. Akhirnya, perang pun tidak bisa dihindarkan. Ketika perang menjadi pilihan, pasukan Islam sangat teguh memegang etika perang. Perang hanya dilakukan di antara para tentara yang ikut berperang. Tidak boleh ada anak-anak, orang tua, wanita, dan penduduk sipil yang dibunuh atas nama “perang”. Perang dalam Islam tidak pernah mengizinkan hal itu terjadi. Perang juga hanya berlaku pada waktu yang disepakati dan di tempat yang telah ditetapkan sebagai medan perang. Tidak boleh ada pohon-pohom yang dirusak; haram juga menghancurkan fasilitas-fasilitas umum. Adab perang inilah yang menyebabkan tidak pernah tertulis dalam sejarah terjadi eksodus besar-besaran pendudukan disebabkan oleh perang. Perang menjadi suatu proses politik yang manusiawi dan murni hanya sebagai alat politik, bukan sebagai sarana genosida dan pemusnah masal.
Kedua, pasca-kemenangan perang Islam tidak pernah memperlakukan wilayah yang ditaklukkan sebagai “daerah jajahan” yang hanya berfungsi sebagai sapi perahan negara pusat yang menaklukkannya. Setiap wilayah yang ditaklukkan kaum Muslim akan berubah menjadi suatu wilayah dengan peradaban yang maju dan rakyat yang sejahtera. Kekuasaan Islam bermula di Madinah, kemudian meluas ke Damaskus, Irak, Iran, Mesir, Maghrib, Andalusia, Anatolia (Turki), India, hingga Asia Tenggara. Semua kawasan yang dilalui kekuasaan Islam menjelma menjadi kawasan yang berperadaban tinggi dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya yang lebih baik dibandingkan zaman sebelum berada di bawah panji Islam. Kondisi ini sangat berbeda dengan kolonialisme Eropa yang justru menyisakan kemiskinan dan kenestapaan bagi daerah-daerah jajahannya. Daerah koloni juga tidak pernah berubah menjadi pusat-pusat peradaban besar dunia. Inilah fakta yang secara logika tidak mungkin menempatkan futuhât islâmiyyah setara dengan “penjajahan” yang mewariskan kesengsaraan.
Bila kemudia konflik terus berlanjut dengan perebutan kawasan-kawasan Muslim oleh penguasa-penguasa non-Muslim motif utamanya justru adalah “balas dendam” atas kekalahan mereka pada periode-periode sebelumnya. Aksi balas dendam inilah yang melahirkan periode kolonialisme di berbagai kawasan Muslim di Asia dan Afrika. Tidak ada satupun cerita bahwa kolonialisme menyejahterakan kaum Muslim. Justru yang terjadi sebaliknya. Terjadi kristenisasi secara paksa. Diskriminasi terhadap umat Islam sehingga umat Islam selama dua abad kolonialisme menjadi komunitas yang terbelakang secara peradaban. Mereka juga kehilangan akses terhadap masa lalu mereka karena dipotong secara paksa oleh kolonialisme. Kalaupun ada sisa-sisa peradaban Barat di wilayah kolonial, itu sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kolonialisme itu sendiri.
Berakhirnya periode kolonialisme yang dimulai sejak awal abad ke-20 ternyata bukan akhir dari nestapa dunia. Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai tanda period akhir kolonialisme secara de facto telah mentahbiskan penguasa dunia baru, yaitu Amerika dan sekutu-sekutunya. Melalui organisasi yang dirancangnya, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation), Amerika menjadi pahlawan baru membantu negara-negara terjajah agar menjadi negara-negara merdeka. Negara-negara ini kemudian dilabeli sebagai negara dunia ketiga. Mereka didorong untuk membangun negara dan bangsanya masing-masing atas nama nasionalisme dan demokrasi. PBB dibuat seperti malaikat yang akan menindak siapa saja yang berusaha untuk menghalang-halangi misi semua negara merdeka. Benar-benar suatu skenario canggih yang menyihir.
Pragmatisme negara pemenang perang ini tetap menjadi “ideologi” dasar yang menggerakkan mereka sama seperti saat mereka melakukan kolonialisme. Pragmatisme ini muncul disebabkan sekularisme dan ketidakpercayaan pada realitas non-duniawi yang menjadi dasar falsafah peradaban yang mereka bangun. Sekularisme ini bahkan telah mengubah wajah agama Kristen dan Yahudi menjadi budak-budak hawa nafsu dan keserakahan hawa nafsu kapitalisme. Sudah tidak ada lagi Kristen dan Yahudi, kecuali telah berubah menjadi Kristen-Yahudi yang sekuler dan sama-sama melegitimasi pragmatisme politik negara-negara pendukungnya. Gerakan ekonomi pasar liberal-kapitalis dan munculnya gerakan Zionisme internasional menjadi saksi tak terbantahkan atas hilangnya Kristen dan Yahudi lama. Agama, kini, hanya menjadi alat legitimasi etik untuk melanggengkan keserakahan baru negara pemenang perang. Landasan ideologi pragmatis inilah yang akan memudahkan kita ke mana arah politik Timur Tengah modern yang penuh konflik. Pragmatisme yang dimaksud adalah keuntungan ekonomis dari tindakan-tindakan politik yang mereka lakukan.
Yahudi sebagai Umpan dan Pancing
Dalam konteks politik Timur Tengah pasca-Perang Dunia I dan II, isu yang mengemuka adalah ditemukannya ladang-ladang minyak yang sangat melimpah jumlahnya dibandingkan di tempat-tempat lain. Isu minyak ini sejurus dengan ditemukannya berbagai teknologi berbasis energi fosil. Modernisasi memang diawali dengan mekanisasi kehidupan. Misalnya, modernisasi transportasi berarti transportasi tradisional yang berbasis energi alami yang ada seperti hewan untuk di darat atau angin untuk di laut berubah menjadi transportasi mekanik yang mengandalkan mesin. Transportasi darat, laut, dan bahkan kemudian diciptkan transportasi udara semuanya berbasis mesin motorik yang bergerak secara mekanis. Untuk itu semua diperlukan energi pemantik api yang kemudian akan diubah menjadi energi gerak. Temuan minyak telah memungkinkan semua itu terwujud.
Celakanya, setelah modernisasi ini menyihir hampir seluruh warga dunia, semua yang serba-tradisional benar-benar ditinggalkan hampir sepenuhnya. Warga dunia pun menjadi amat bergantung pada minyak. Sebab, memodernisasi negara berarti menciptakan ketergantungan pada minyak. Oleh sebab itu, kita akan menyaksikan sejak akhir paruh pertama abad ke-20 isu minyak menjadi isu baru dunia. Semua peristiwa hubungan politik antar-negara juga banyak diwarnai dengan isu ini. Apalagi menyangkut politik Timur Tengah. Wilayah ini menjadi sangat seksi untuk dilirik setalah manusia modern menjadi amat bergantung pada minyak.
Ketika periode kolonialisme Eropa mulai muncul, wilayah yang dilirik adalah Asia Tenggara. Saat itu, komoditas yang menjadi primadona pasar dunia adalah rempah-rempah. Asia Tenggara dikenal dunia sebagai penghasil rempah-rempah nomor wahid. Alhasil semua negara kolonial seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan lainnya merasa harus mengarahkan perhatiannya ke Asia Tenggara untuk mendapatkan komoditas ini dengan harga serendah-rendahnya. Mereka ingin memonopolinya agar mendapatka keuntungan sebesar-besarnya. Dengan semangat balas dendam kepada umat Islam, wilayah Asia Tenggara yang dihuni oleh mayoritas Muslim dijadikan sasaran untuk mengundang seluruh kekuatan Eropa yang ditopang oleh Gereja Romawi agar masuk ke kawasan ini. Hasilnya, sudah kita ketahui semua, yaitu lahirnya kolonialisme di berbagai wilayah Asia Tenggara.
Ketika dunia mulai beralih kepada minyak semenjak Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-19, primadona pasar dunia beralih kepada minyak. Maka kali ini, negara-negara dengan simpanan minyak melimpahlah yang menjadi incaran negara-negara Barat. Walaupun ditemukan lading-ladang minyak di Asia Tenggara dan Amerika Latin, namun cadangannya kalah jauh dibandingkan yang tersimpan di sahara-sahara tandus Timur Tengah dan sepanjang Afrika Utara. Sejak itulah dimulai kisah petualang minyak negara-negara modern. Dalam hal ini yang menjadi komando sebagai negara paling modern adalah Amerika yang disokong sepenuhnya oleh Eropa Barat di belakangnya.
Napoleon Bonaparte dari Prancis memang sempat menduduki Mesir dan negara-negara sekitarnya seperti Maroko dan Tunisia, tetapi isu minyak belum menjadi topik utama dunia sehingga ia tidak sempat bersentuhan dengan konflik Timur Tengah akibat minyak. Inggris dan Amerika-lah yang mengawali kisah penguasaan minyak ini. Merekalah yang berhadap-hadapan secara langsung dengan Turki Usmani yang saat itu menjadi penguasa wilayah-wilayah kaya minyak di Timur Tengah. Perang Dunia I menghadapi Usmani telah berhasil menempatkan Inggris menjadi pemenang perang. Inggris punya modal untuk masuk ke kawasan Timur Tengah secara lebih intensif. Hanya saja, Inggris tidak bisa memainkan kartu seperti periode kolonialisme lama karena derasnya tuntutan kemerdekaan di berbagai negara jajahan. Akan tetapi, minyak sangat menggoda. Siapa yang dapat menguasainya, ia akan menjadi penguasa dunia.
Keberadaan Yahudi di Eropa dan sekutu pentolan-pentolan Yahudi, yaitu para penguasa Amerika menjadi isu yang menarik untuk dimainkan sebagai kartu baru. Sudah sejak lama komunitas Yahudi di Eropa ini menjadi biang masalah di berbagai negara. Mereka bahkan memiliki berbagai gerakan politik ultra-nasional seperti gerakan Zionisme yang didirikan Theodore Herzl. Gerakan inilah yang nanti menjadi gerakan Yahudi paling penting dalam sejarah dunia modern. Gayung pun bersambut. Ada berbagai tuntutan dari kelompok Yahudi pimpinan Herzl ini dan ada kepentingan ekspansi penguasaan kawasan kaya minyak di Timur Tengah oleh Inggris. Kemudian terjadilah kesepakatan-kesepakatan rahasia yang hanya diketahui setelah puluhan tahun berikutnya ketika semua orang dikagetkan dengan berdirinya negara Yahudi Israel tahun 1948.
Bila berdirinya negara ini di Eropa atau Amerika mungkin tidak akan menjadi masalah besar bagi dunia, khususnya dunia Islam. Akan tetapi, justru masalahnya adalah Israel disimpan di wilayah yang sebelumnya telah berpenghuni, yaitu Palestina. Sejak tahun 1933 ketika Inggris memutuskan untuk merelokasi ratusan ribu Yahudi ke Palestina, banyak penduduk asli Palestina yang akhirnya harus terusir dari kampong halamannya. Setiap tahun banyak eksodus bangsa Palestina disebabkan pemukiman Yahudi di tanah ini. Konflik bersenjata pun tidak pernah berhenti terjadi sejak tahun 1933 hingga kini. Bangsa Palestina hanya mempertahankan apa yang menjadi hak-hak mereka. Sementara orang-orang Yahudi dengan segala cara mendapatkan apa yang mereka inginkan. Apalagi kepentingan ekonomi-politik mereka dibungkus isu agama yang sangat kental, yaitu cita-cita kembali ke bukit Zion, negeri yang dijanjikan Tuhan buat mereka. Alhasil gerakan Yahudi ini bercampur-campur antara gerakan politik, ekonomi, kebudayaan, sekligus berbalut agama secara kental.
Amerika dan Inggris sendiri yang kemudian menang lagi dalam Perang Dunia II menjadi semakin merasa penting untuk memiliki sekutu utama di Timur Tengah. Mereka tidak hanya menjadikan penting untuk memindahkan warga Yahudi dari Eropa ke Palestina, tapi juga penting untuk ada mitra permanen untuk kepentingan minyak mereka. Oleh sebab itu, dengan sekuat tenaga Inggris dan Amerika menjadi temang hidup saat Zionis Yahudi mendirikan negara Israel tahun 1948. Ini adalah negara boneka yang diharapkan akan sangat berguna bagi kepentingan-kepentingan Amerika dan Inggris.
Untuk mendapatkan minyak secara optimal, Amerika menjadikan Israel ini sebagai ancaman nyata bagi negara-negara Arab. Berkali-kali terjadi pertempuran, namun karena back up yang sangat kuat dari negara adi daya, tidak ada satu pun negara Arab yang berdaya di hadapan kekuatan Israel dan Amerika. The Six Day War tahun 1967 menjadi saksi terakhir kekuatan bersama negara-negara Arab dijatuhkan oleh Israel yang secara penuh dibantu Amerika hanya dalam enam hari. Sejak saat itu, peran Amerika di Timur Tengah semakin intensif. Negara ini berhasil mendikte negara-negara Arab untuk ikut dalam kesepakatan yang dibuatnya. Strategi stick and carrot diterapkan ke semua negara. Penguasa yang mau bersekutu dengan Amerika akan mendapatkan keuntungan pribadi yang besar, sementara yang membangkang atas alasan apapun akan berhadapan operasi militer Amerika. Di kawasan itu, Israel menjadi pasak kepentingan-kepentingan Amerika. Di antara bukti yang ditunjukkan Amerika adalah terbunuhnya Raja Faisal yang berani melakukan embargo minyak ke Amerika tahun 1972 yang menyebabkan krisis energi serius di negeri Paman Sam itu. Embargo dilakukan karena Amerika dituduh mendanai Israel dalam kontak senjata dengan negara-negara Arab. Faisal harus meregang nyawa di tangan keluarganya sendiri yang bersekutu dengan Amerika. Sejak saat itu, Amerika semakin intensif masung ke jantung Timur Tengah. Saddam Hussein dan Libya yang paling kuat menghadapi Amerika akhirnya juga harus dihabisi.
HAMAS: Ganjalan Serius Amerika-Israel
Di tengah usaha untuk ‘menundukkan’ Timur Tengah melalui kekuatan Israel, di luar perhitungan Amerika dan Israel, perlawanan dari bangsa Palestina sendiri begitu kuat. Palestina yang semula dijanjikan akan juga diberi wilayah untuk menjadi negara sendiri ternyata tidak pernah terwujud hingga sekarang. Salah satunya karena sebagian rakyatnya yang masih sangat teguh memegang Islam angkat suara dan bahkan angkat senjata ketika pemukim Yahudi datang bergerombol hendak menyerobot hak mereka. Saat negara-negara Arab yang masih belum menentu nasibnya masing-masing masih belum begitu peduli dengan settlement Yahudi di Palestina, maka mereka hanya bisa berharap pada kekuatan sendiri.
Sejak kedatangan awal pemukin Yahudi tahun 1933, sejak saat itu pula sekelompok pemuda Palestina yang masih peduli pada masa depan Islam, masa depan Al-Aqsha, dan masa depan kaum Muslim di Palestina akhirnya memutuskan untuk tidak mundur menghadapi kekuatan apa saja di balik datangnya gerombolan Yahudi-Zionis itu. Gerakan ini banyak dibantu oleh Ikhawanul Muslimin pimpinan Hasan Al-Banna dari Mesir yang belum genap sepuluh tahun usianya. Semangat juang untuk menghidupkan kembali kejayaan Islam seolah menemukan memontum ujian pertama di Palestina, kawasan yang bertetangga dengan kampong mereka di Mesir. Para pemuda Palestina dilatih berbagai gerakan untuk menghadapi Zionis di Palestina. Hal paling pokok dari latihan itu adalah latihan menanamkan nilai-nilai Tauhid dan Islam sebagai landasan gerakan mereka menghadang Zionisme yang ternyata semakin lama semakin serius menggerus berbagai kawasan Palestina. Bukan hanya latihan, banyak kader-kader Ikhwanul Muslimin yang juga ikut terjun bertempur menghadang tentara Yahudi dan beking-bekingnya dari Inggris.
Binaan Ikhwanul Muslimin ini tidak pernah berhenti mempertahankan idealisme mereka untuk tetap memagang Islam, menyelamatkan Al-Quds dari tangan kotor Yahudi, dan membebaskan Palestina—negeri para Nabi—dari keangkuhan negara-negara adi daya pemenang perang demi memenuhi nafsu dan keserakahan mereka. Tahun 1987 setelah Gerakan Intifadhah I yang menunjukkan keseriusan sebagian rakyat Palestina membela bumi Allah Swt. ini, gerakan rakyat yang dibina Ikhwanul Muslimin ini akhirnya mendeklarasikan suatu gerakan khas untuk pembelaan dan penyelematan Palestina bernama Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah (HAMAS). Gerakan ini dibuat untuk menyongsong terbentuknya negera Palestina merdeka.
Sejak saat itu, perlawanan-perlawanan terhadap Yahudi dan antek-anteknya di Palestina semakin sengit dan semakin serius. Amerika yang kini merawat Israel sebetulnya sudah punya mitra strategis yang mau dikendalikan dari kalangan aktivis Palestina sendiri, yaitu kelompok Harakah Al-Tahrir Al-Filistiniyyah (FATAH) yang didirikan oleh Yasser Arafat. Tokoh ini dianggap dapat diatur sehingga lewat PBB, Amerika memberi kesempatan kepada Yasser Arafat melalui FATAH untuk ikut dalam perundingan-perundingan internasional membicarakan masalah Palestina. Berbagai perundingan dilakukan ujungnya tetap rakyat Palestina yang dirugikan. Inilah yang membuat HAMAS geram dengan sepak terjang para perunding itu. Yang paling memilukan, tahun 1996 ketika Palestina diberi pemerintahan otoritas oleh PBB dan Yasser Arafat menjadi presidennya yang pertama, wilayah Palestina kini hanya tinggal dua penggal: di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sepuluh tahun berlalu dari berharap Palestina menjadi negara merdeka, tapi nyatanya tidak pernah ada. HAMAS pun memutuskan ikut terjun dalam politik praktis. Pemilu Palestina tahun 2006 memperlihatkan bahwa HAMAS adalah kelompok yang menjadi tumpuan harapan seluruh rakyat Palestina dalam menggapai cita-cita mereka. HAMAS menang telak dan Ismail Haniya berhak mengendalikan kekuasaan.
Tentu saja Amrika, Israel, Inggris, dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah amat tidak suka dengan kemenangan HAMAS ini. Selain track record-nya yang terus melawan sejak tahun 1933, kelompok ini hanya punya satu tujuan: Palestina Merdeka sesuai dengan rencana tahun 1947 tanpa Israel yang tiba-tiba menelikung menjadi negara mandiri tahun 1948. HAMAS dikenal sulit dikendalikan sejak lama. Oleh sebab itu, kemenangan HAMAS dalam Pemilu Palestina tahun 2006 adalah musibah serius bagi misi Amerika dan sekutunya di Timur Tengah. Oleh sebab itu, dengan cara-cara licik FATAH digerakkan untuk berkonflik dengan HAMAS segera setelah pemilu usai. Pemerintahan diembargo hingga Ismail Haniya sulit untuk mengambil kebijakan penting di Palestina. Akhirnya dengan cara paksa Haniya diturunkan digantikan oleh Salam Fayyad, orang kepercayaan Amerika. Ketegangan terus berlangsung sampai akhirnya dibuat kesepakatan tidak tertulis bahwa Ismail Haniya boleh berkuasa, tapi hanya di Gaza. Sisanya semua wilayah Palestina secara efektif berada di bawah kendali FATAH.
Sejak tahun 2008, praktis Gaza berada di bawah kendali HAMAS sepenuhnya. Namun, ternyata ini justru semakin menimbulkan nafsu dari Israel dan Amerika untuk segera menghancurkan kekuatan HAMAS secara paripurna. Dengan sangat brutal Israel dibantu Amerika menyerang Gaza pada Desember 2008 hingga Januari 2009. Dalam serangan yang sering disebut oleh para pejuang Palestina sebagai Harb Al-Furqân ini, Israel dan Amerika menderita kerugian besar tanpa bisa mengalahkan HAMAS yang hanya berada di Gaza, kota kecil dengan penduduk 1,3 juta. Israel kembali menata rencana. Tahun 2012 serangan kembali diarahkan ke Gaza secara membabi buta. Akan tetapi, Mesir yang saat itu dipimpin Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin menjadi perhitungan lain bagi Isreal. Mursi berjanji tidak akan membiarkan HAMAS sendirian. Akhirnya hanya dalam tujuh hari Israel sendiri yang meminta gencatan senjata.
Setelah Mursi digulingkan oleh antek Amerika dan kawan dekat Yahudi Israel As-Sisi, Israel seperti punya nyali kembali untuk masuk ke kandang HAMAS di Gaza. Tambahan lagi, Saudi kala itu dipimpin oleh Raja Abdullah yang dikenal liberal dan sangat dekat dengan Amerika. Israel menjadi semakin besar hati. Dalam pikiran mereka, kali ini urusan akan menjadi sangat mudah karena HAMAS pasti tidak akan mendapatkan bantun dari kekuatan internasional manapun. Akhirnya meletuslah Perang 52 hari pada tahun 2014 bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan 1435 Hijriah. Perang ini mereka namai sebagai Harb ‘Ashfin Ma’kûl karena atas kuasa Allah Swt. pasukan Israel yang full power dilengkapi dengan drone-drone pelempar roket ternyata tidak mampu menembus pertahanan-pertahanan utama tentara HAMAS, Brigade Izzudin Al-Qassam. Mereka bahkan menjadi sangat ketakutan ketika mengetahui kelompok kecil ini ternyata sanggup melakukan serangan balik tiba-tiba yang menyebabkan ratusan tentara Israel terbunuh dan ratusan lainnya menderita stress akut karena ketakutan amat sangat berhadapan dengan tentara HAMAS. Israel yang kali ini juga didukung penuh oleh Amerika, sama sekali tidak dapat menembus kembali Gaza untuk kesekian kalinya.
Sisa-sisa tiga kali perang dalam 13 tahun setelah kemenangan HAMAS dalam Pemilu Palestina adalah hancurnya infra struktur publik dan terbunuhnya belasan ribu rakyat sipil yang tidak berdosa. Tahun 2008, Israel menjatuhkan bom fosfor yang dalam sekejap dapat menghancurkan gedung-gedung bertingkat. Lebih dari 5000 orang sipil terbunuh. Tahun 2012 ingin diulang lagi namun tidak ada nyali. Tahun 2014 perusakan-perusakan sipil kembali dilakukan. Dalihnya untuk memancing keluar tentara Izzudin Al-Qassam. Namun, ternyata tidak satu pun tempat persembunyian dan pertahanan tentara Al-Qassam ini yang ditemukan. Padahal luas Gazza hanya 365 km persegi. Akan tetapi, atas pertolongan Allah Swt. di wilayah sekecil ini, radar-radar Israel dan satelit-satelit tercanggih tidak mampu menemukan mereka. Padahal, sejak perang tahun 2008-2009, Gaza diisolasi dan berubah menjadi penjara raksasa. Siapapun sulit untuk keluar dan masuk kawasan ini.
Rahasia Kekuatan HAMAS
Apa yang menyebabkan mereka begitu kuat? Abu Ahmad dan Imad Al-Alami menceritakannya kepada kami secara panjang lebar. Kami diperlihatkan foto-foto dan film-film yang memeprlihatkan bagaimana mereka bekerja sangat serius untuk menjadi yang terbaik. Sayang sekali, kami tidak memperkenankan mengopinya untuk ditunjukkan kepada saudara-saudara kami bagaimana mereka bisa bertahan dalam situasi yang sedemikian terjepit. Kedua aktivis senior HAMAS ini hanya menceritannya untuk kami. Kami hanya diperkenankan menyampaikan hal-hal penting berikut yang menjadi rahasia kekuatan tentara HAMAS ini.
Pertama, perjuangan yang mereka lakukan landasannya hanya satu, yaitu untuk megharapkan keridhaan dari Allah Swt. Mereka berkeyakinan bahwa apabila ada motif duniawi yang terselip dalam perjuangan mereka, maka mereka tidak akan sekuat sekarang. Mereka amat sadar bahwa semua yang mereka dapatkan selama ini hanyalah pertolongan dari Allah Swt. semata-mata. Bila mengandalkan kekuatan manusia biasa, mana mungkin mereka bisa bertahan seperti itu. Oleh sebab itu, kepada seluruh rakyat dan apalagi para aktivis HAMAS mereka amat mementingkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar dalam mendidik dan membesarkan generasi-generasi muda Palsetina.
Kedua, dari hasil tempaan dan didikan itu terasa sekali efek besarnya, yaitu keberanian masyarakat Gaza menghadapi apapun yang terjadi di hadapan mereka. Bahkan, kematian pun bukan hal yang terlalu mereka risaukan. Setiap detik mereka telah siap dengan resiko kematian itu. Hanya saja, mereka berharap bahwa kematian yang mereka jemput adalah kematian para syuhada’. Abu Ahmad kemudian membandingkan bagaimana warga Suriah ketika dilanda peperangan dengan warga Gaza yang sejak lama menghadapi nasib tragis. Saat terjadi serangan, warga Suriah berbondong-bondong mengungsi meninggalkan kampong halaman mereka karena takut menjadi korban perang. Akan tetapi warga Gaza, justru malah semakin semangat untuk tetap tinggal di Gaza dan ikut mempertahankan kampong halamannya. Sikap warga Gaza semacam inilah yang melahirkan kader-kader tangguh HAMAS.
Ketiga, di luar banyaknya pertolongan Allah Swt., aktivis HAMAS dan tentara Al-Qassam terus berusaha keras untuk mempersiapkan diri menghadapi pasukan-pasukan Israel dari semua lini. Mereka latih prajurit-prajurit tangguh di darat, laut, dan udara, mereka siapkan ahli-ahli senjata, ahli-ahli strategi, ahli-ahli komunikasi, dan apa saja yang dibutuhkan untuk peperangan dalam arti yang luas maupun sempit. Persiapan ini dilakukan dengan efektif dan serius sehingga benar-benar menghasilkan kader-kader tangguh. Tidak mengherankan bila hasilnya mereka punya pasukan darat yang sangat tangguh dan cekatan yang sulit dicari tandingannya. Pasukan katak pun amat luar biasa hingga pada perang 2014 sanggup melumpuhkan ratusan pasukan Israel yang masuk dari arah laut. Mereka juga berhasil mengembangkan persenjataan yang sangat luar biasa. Roket tempur rakitan Al-Qassam kini sudah bisa meluncur sejauh 3 km. Senjata-senjata biasa tentu sudah sangat baik mereka buat. Bahkan, tim pembuat senjata Al-Qassam berhasil mengembangkan pesawat pengintai tanpa awak yang setiap saat dapat memata-matai pasukan musuh tanpa terpantau oleh radar mereka. Apa yang mereka temukan, ternyata tidak kalah canggih dari senjata-senjata buatan Amerika yang digunakan Israel. Bahkan, hasil rakitan Al-Qassam ini sulit dideteksi karena tidak lazim diperjualbelikan di pasar senjata pada umumnya.
Untuk yang ketiga ini, mulanya kami ragu bagaimana semua ini dibuat. Selain karena situasi ekonomi yang buruk karena embargo, secara akal sehat tidak mungkin mereka mengembangkan senjata tanpa diketahui satelit pengintai canggih yang terus mengawasi Gaza inci per inci. Tapi keraguan itu pupus ketika Abu Ahmad memperlihatkan kepada kami bagaimana cara mereka bekerja juga menceritakan bagaimana mereka bisa melakukan itu semua secara manusiawi mengikuti sunnatullâh. Barangkali inilah wujud pertolongan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan tengah terzhalimi. Cerita ini sebetulnya masih menarik ketika pada saat yang sama terjadi berbagai peristiwa di sekitar Palestina berkait dengan Arab Spring, termasuk juga kemunculan ISIS. Akan tetapi, karena ruang yang terbatas cerita tentang ini mudah-mudahan dapat disambung pada tulisan berikutnya. Wallâhu A’lam.