Phobia terhadap Islam yang dikampanyekan Negara-negara anti Islam di barat rupanya kian kemari kian menular kepada masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang alergi jika islam disebut-sebut atau dijadikan landasan berpikir dan argumentasi. Apalagi kalau sudah berbicara masalah hukum. Hukum Islam benar-benar dianggap tidak layak hidup di Indonesia, karena dalam pandangan mereka hukum yang satu ini tidak bisa diterapkan secara universal dan berisi segala hal yang mengerikan dan kejam seperti rajam, qishoh dan potong tangan. Ironinya yang berpandangan seperti itu, bila dilihat KTP nya banyak yang kolom agamanya diisi dengan “Islam”. Entah ironi apa yang tengah terjadi pada masyarakat kita yang mayoritas Muslim, hingga agama sendiri ditakuti dan dimusuhi.
Muslim yang berpandangan sinis terhadap hukum islam hampir bisa dipastikan ia tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai hukum Islam. Jalan yang harus ditempuh untuk menyadarkan mereka adalah dakwah dengan menunjukan aspek-aspek positif dari hukum Islam. Bila pikiran dan kesadaran mereka terbuka, maka akan mudah mereka menyadari bahwa sikap dan cara pandang mereka selama ini keliru.
Selain tipe Muslim yang semacam ini, ada juga Muslim yang “sok nasionalis” tapi tidak paham bagaimana hukum di Negara ini terbentuk. Orang yang mengaku Muslim tipe ini biasa sangat hobi membentur-benturkan Islam dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang dasarnya UUD 1945. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa hukum Islam tidak punya tempat di bumi Indonesia ini. Hukum Islam adalah hukum asing yang hanya akan merusak tatanan hukum Negara ini. Lebih dari itu bahkan muncul anggapan bahwa siapa yang memperjuangkan hukum Islam di Indonesia ini sama dengan orang yang hendak mengubah Negara ini menjadi Negara Islam. Sebab, katanya, hanya di Negara Islam hukum Islam berlaku.
Pandangan semacam ini jelas sangat keliru apabila kita mengkaji dengan baik sejarah terbentuknya hukum positif di Negara ini. Melepaskan peran dan pengaruh hukum Islam dalam pembentukan sistem hukum di Indonesia ini adalah suatu tindakan yang sangat ahistoris (tidak berlandas pada fakta sejarah). Dalam sejarah hukum Indonesia sebelum Christian Snouck Hurgronye mengemukakan pendapatnya pada 1893, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Hindia Belanda menganut suatu pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Solomon Keyzer (1823-1868). Pendapat tersebut dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christian (LWC) van Den Berg (1845-1727), seorang ahli hukum Belanda. Ia mengatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku bagi dirinya. LWC van Den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan tidak hanya bagian-bagian hukum Islam. Pendapat van Den Berg ini disebut teori receptio in complexu. Pendirian Peradilan Agama pada tahun 1882 besar kemungkinan dipengaruhi oleh Mr. Scholten van Oud Harlem.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Setelah disempuranakan oleh para penghulu dan ulama Islam, kitab hukum tersebut diterima oleh VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai VOC. Kitab hukum ini dalam kepustakaan terkenal dengan nama compendium Freijer. Selain kitab tersebut, terdapat pula kitab hukum Muharrar karangan ar-Rafi’I yang memuat sebagian besar hukum pidana Islam.
Christian Snouck Hurgroney (1857-1936) sebagai penasehat Hindia Belanda urusan Islam dan bumiputera sangat menentang teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh LWC van Den Berg, kemudian mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan teori receptie. Teori ini dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar. Teori ini menyarankan kepada pemerintah Belanda agar hanya menerima hukum Islam apabila sudah diterima oleh hukum Adat atau menjadi adat masyarakat. Bila tidak, maka tidak perlu diakui sebagai hukum yang berlaku. Dengan demikian hukum yang diterima tersebut adalah “hukum Adat”, bukan “hukum Islam”.
Teori Horgronje inilah kemudian menyebabkan Belanda secara perlahan menyingkirkan hukum Islam dari sistem hukum yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia); paling tidak sejak tahun 1910. Bahkan karena teori Horgronje inilah semakin banyak orang yang dibuat “takut” dengan hukum Islam. Horgronje adalah orang yang paling bertanggung jawab atas dipisahkannya secara pakasa hukum Islam dari masyarakatnya yang mayoritas menganut Islam di negeri ini.
Semangat kemerdekaan yang digelorakan para pejuang sebagian besar adalah juga tokoh-tokoh Islam, salah satu misinya adalah menolak segala produk kolonial yang menzhalimi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika dirumuskan UUD dalam sidang-sidang Badan Pekerja Urusan Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) salah satu yang menjadi perhatian adalah keberlakuan kembali hukum Islam dalam bingkai Negara baru yang akan dimerdekakan segera. Hasilnya adalah UUD 1945 yang sangat terbuka untuk berlakunya hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia. Oleh sebab itu, semenjak UUD 1945 berlaku, maka salah satu yang harus menjadi pertimbangan pembangunan hukum-hukum di bawahnya adalah hukum Islam.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara konstitusional memiliki tiga dasar. Pertama, dasar filosofis. Ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita-cita, dan landasan moral umat Islam di Indonesia sehingga memiliki peran penting bagi terciptanya norma fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, dasar sosio-historis. Perjalan sejarah umat Islam di Indonesia membuktikan bahwa cita-cita hukum dan kesadaran hukum yang berdasarkan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Ketiga, dasar yuridis. Pasal 24, 25, dan 29 UUD 1945 memberi ruang terbuka bagi keberlakuan hukum Islam secara legal-formal.
Berdasarkan pendapat Hazairin, menurut Ichtijanto teori resepsi telah atau harus dinyatakan hapus (keluar) dengan berlakunya UUD 1945. Ini disebut teori Receptie Exit yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia dan diundangkan UUD 1945. Intinya bahwa teori Receptie yang terdapat di dalam Pasal 134 ayat 21S secara otomati sudah tidak berlaku setelah diberlakukan UUD 1945.
Dalam kasus JR ke MK terhadap KUHP Pasal 284, 285, 292 banyak yang nyinyir bahwa para pemohonnya adalah aktivis Islam dan ingin mengubah KUHP dengan hukum Islam. Ungkapan nyinyir semacam ini pasti dating dari orang-orang yang “kufur” terhadap hukum-hukum Allah Swt, selain juga tidak paham terhadap masalah yang tengah dihadapi. Seandainya pun apa yang diajukan oleh para pemohon ini berasal dari hukum Islam, di atas telah dijelaskan bahwa hukum Islam adalah sumber hukum yang sah untuk dijadikan sebagai materi hukum positif di negri ini. Kenyataan dan isi UUD 1945 dengan tegas menerima hal tersebut.
Lebih dari itu, masalah yang diajukann para pemohon ini sudah sangat tepat dalam menyikapi persoalan perzinaan, pemerkosaan, dan homoseksual yang kian kemari kian meresahkan. Orang tua adalah pihak yang sangat resah dalam masalah ini. Disebabkan Negara tidak memiliki sikap yang tegas dan cenderung membiarkan terjadinya perzinaan dan hubungan seks sejenis, maka beban orang tua menjadi lebih berat untuk mencegah anak-anak mereka terjerumus pada kedua perbuatan maksiat tersebut ditengah bebasnya arus media menyerang anak-anak. Bila dahulu saat informasi tidak seterbuka sekarang, tanpa intervensi Negara pun orang tua masih cukup kuat mengarahkan perilaku anak-anak mereka, maka kini saat media lebih berpengaruh dari nasihat orang tua, para orang tua menjadi sangat kewalahan menghadapi perilaku anak-anak mereka. Oleh sebab itu, memang sudah sepatutnya dan sudah merupakan tuntutan zamannya yang sangat mendesak agar Negara segera turun tangan ikut mengatasi semakin maraknya perzinaan dan hubungan seks sejenis.
Manusia berasal dari Allah, diciptakan oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah. Kenapa harus membenci hukum Allah dan lebih percaya kepada teori hasil pemikiran manusia daripada aturan ciptaan Allah? Kita sudah saksikan bersama betapa semakin hari semakin terbukti kekuasaan Allah tidak ada yang dapat menandingi apalagi mencegah. Ajaran atau paham yang selalu menyepelekan aturan Allah telah merugikan hak konstitusional Umat Islam karena tidak dapat meyakini ajaran agamanya secara utuh. Wallahu a’lam.
Hj. Titin Suprihatin, MH
Penulis adalah Ketum PP Persistri 2005 s/d 2015.
Ketua Bidang jamiyyah PP Persistri 2015 s/d 2020.
Risalah N0. 7 Th. 54
Dzulhijah 1437/Oktober 2016