Oleh: Ade Saeful Azis (Petugas Haji 1444 H/2023 M Persatuan Islam Kota Bandung)
Sungguh di luar dugaan! Perjalanan 10 Dzulhijjah atau Yaum Al Nahr, bisa kami lalui dengan lancar seakan tanpa hambatan yang berarti.
Bayangkan saja, modal kami berjalan kaki setiap hari hanya sekitar 30 menit saat sebelum menuju Tanah Suci, pada Hari Agung Idul Adha nyatanya harus melangkahkan kaki tanpa henti sebanyak puluhan ribu langkah nyaris tanpa istirahat, perut kosong, kurang tidur, dan sebagainya. Kok bisa?
Alhamdulillah, berpegang pada komitmen suci itu tidak akan sia-sia. Prinsipnya, target tercapai, kita syukuri. Jika tidak, pasrah saja sama takdir Ilahi.
Nafar Awal
Lega rasanya bisa menuntaskan program agung 10 Dzulhijjah dengan segala kekurangannya.
Naik satu tangga komitmen berikutnya, dan dengan segala pertimbangan, kami berketetapan untuk mengambil Nafar Awal. Artinya, tanggal 12 Dzulhijjah akan meninggalkan Tenda Mina yang cantik, berkah, ajaib, dan penuh kenangan.
Pagi 11 Dzulhijjah, kami melakukan kordinasi dengan Ketua Rombongan (Karom) lain dan semua Ketua Regu (Karu). Disepakati bahwa yang ikut melempar Jamroh Ula, Wustha, dan Kubra atau Aqabah hanyalah jamaah yang bugar, sehat, kuat dan 'muda'.
Golongan manula dan risti diistirahatkan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan. Apalagi perjalanannya dimulai tengah hari agar pas waktu dzuhur atau lewat sedikit, semua jamaah bisa melempar Jamarot pada waktu yang utama atau afdhal.
Lagi-lagi di luar dugaan. Ternyata, dari Mina Jadid menuju Jamarot hanya membutuhkan waktu 39 menit. Mungkin saking semangatnya, dan tentu saja karena iradah dan pertolongan Allah. Allahu Akbar!
Prosesi lempar jumroh sangat lancar. Kami dengan leluasanya melempar kerikil demi kerikil pada posisi ujung Jamarot dengan jalan masuk arah kanannya, persis ujungnya melipir, lalu dengan memposisikan badan: Kabah pada kiri badan, sambil kumandang takbir dengan syahdunya, semua lemparan kena titik sasaran.
Selesai ramyul jamrah, persis tikungan arah keluar Jamarot, kami beristirahat sejenak. Perbekalan alakadarnya pun ‘dipurak’ dan disantap dengan rasa syukur.
Saat akan kembali ke tenda atau base camp, terik panas matahari dan suhu yang tinggi, membuat kami ciut nyali. Karena sama sekali tak melihat kendaraan kalau kami keletihan. Lahaula saja. Takbir dan tahlil, serta do'a perlindungan kepada-Nya, menjadi penenang bagi kami.
Begitu rute arah pulang berbeda, lagi-lagi kami agak gelisah. Sempat tak habis pikir, kok begini ya ngatur trafficnya? Ya, sudahlah! Pasrah kepada-Nya pilihan satu-satunya. Selama perjalanan haji itu klop dengan komitmen, saya yakin, pasti bisa!
Perjalanan pulang serasa lebih jauh. Satu dua jamaah mulai kepayahan. Bahkan ada yang tersungkur. Waktu ditanya kenapa, jawabnya, ngantuk.
Kaki terus melangkah. Karaguan sempat menghantui pikuran kami. Pas menemukan toilet, seakan mendapat pertolongan. Maka kami menghentikan semua jamaah untuk istirahat sejenak. Agar bisa kembali sedikit pulih.
Beberapa puluh menit kemudian, kami pun memberi komando. Perjalanan dilanjutkan. Sekitar enam menit lagi sampai ke tujuan, tetiba seorang jamaah pingsan. Beruntung di antara kami ada seorang dokter.
Langsung saja dinaikan kursi roda yang lalu lalang sepanjang jalan menuju-balik Jamarot, sambil terus digoyang-goyang badannya agar tidak tidur. Alhamdulillah bisa bertahan.
Jamaah pun tiba di tenda dalam kondisi keletihan. Terkuras semua energinya. Namun, semua merasakan hal yang sama, inilah perjuangan kita! Inilah pengurbanan kita! Demi Allah, inilah komitmen suci kita!
Capai, letih, haru, dan bahagia campur menjadi satu.
Bersambung.
[]