Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi Abul Husain atau sering dikenal sebagai Imam Muslim. Para sejarawan sepakat mengenai waktu meninggal dunia Imam Muslim pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad-Dhohir, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H / 5 Mei 875 dalam usia 55 tahun. Menurut Ibnu as-Sholah makamnya hingga saat ini masih diziarahi oleh para pengunjung. Adapun mengenai kelahirannya Ibnu al-Kholkan menyatakan bahwa dia lahir di Naisaburi tahun 201 Hijriah. Ada juga yang berpendapat lahir tahun 202, tahun 204 dan ada juga yang menyatakan tahun 206 Hijriah. Yang paling mendekati kebenaranya adalah pendapat Dr. Muhammad Abdurrahman Thowalibah dari Universitas Yarmuk-Jordania dalam bukunya Al-Imam Muslim wa Minhajuhu fi Tashiihi, bahwa Imam Muslim lahir tahun 206 H/821 M di masa khilafah al-Ma’mun.
Dia terlahir dari keluarga baik dan bapaknya al-Hajjaj adalah seorang tokoh terkemuka. Bahkan menurut muridnya, Muhammad Abdul Wahab al-Fara, al-Hajjaj bapak dari Imam Muslim adalah salah satu guru utamanya. Dengan demikian tradisi keilmuan keluarga mempengaruhi kepada Imam Muslim yang sejak belia sudah belajar hadis seperti Imam Bukhari. Tradisi yang bagus pada awal abad hijriah dapat kita contoh dan teladani, yaitu biasanya orang tua pada saat itu mengirim anaknya ke al-Kutaab / tempat hafalan al-Quran sekaligus belajar intensif bahasa Arab. Karena hafalan al-Quran dan penguasaan bahasa Arab adalah syarat utama untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Terutama untuk melanjutkan studi kepada guru yang lebih tinggi dalam bidang hadist maupun fiqih.
Imam Muslim melewati jenjang persiapan itu sebagaimana pendahulunya Imam al-Bukhori mulai menghafal hadist di al-Kutaab ketika masih usia dini. Imam Muslim sejak kecil sudah mendengar hadis (sima’) dan menghafalnya, yaitu pertama kali mendengar hadist tahun 218 H atau ketika menginjak usia 12 tahun. Atas kehebatan dan keluasan ilmunya, Imam Adzhabi dalam bukunya ad-Tadzkirah berkomentar tentang Imam Muslim : “ia adalah seorang al-hafidz –hafal 40 ribu hadis-, al-Mujawwid -yang teliti-, dan al-Hujjatu as-Shoodiq -argumentasi yang tak terbantahkan-”. Dalam kitab al-Fihrisat karya Ibnu an-Nadim dijelaskan bahwa : “Imam Muslim tidak hanya menguasai hadis tetapi juga dia seorang pakar dalam bidang fiqih”.
Berkaitan dengan petualangan ilmiahnya, Imam an-Nawawi mengatakan : “dia adalah salah satu yang mengembara untuk mencari ilmu ke berbagai kota dan negara, perjalanannya sangat luas sekali hingga beberapa kali dia berkunjung ke negara muslim. Hal tersebut didukung karena semangat, kejeniusan yang hebat dan kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangannya”. Usia 12 tahun Imam Muslim berkelana ke luar negeri seperti Ray (Iran), Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Di Khurasan -Turkmenistan-, ia berguru kepada Yahya bin Yahya bin Bakir at-Tamimi an-Naisabur (W. 226 H), Ishak bin Rahawaih (W. 238 H) dan Qutaiban bin Sa’id (W. 240 H). Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu `Ansan. Di Irak ia belajar hadis kepada Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah, di Hijaz belajar kepada Sa`id bin Mansur dan Abu Mas`Abuzar, di Mesir berguru kepada `Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadis yang lain.
Guru Imam Muslim lebih 220 guru yang paling utama adalah Imam al-Bukhori dan tentunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Imam al-Bukhori di mata Imam Muslim adalah guru utama yang sangat berpengaruh sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad bin Yakub al-Hafidz “aku melihat Muslim bin al-Hajaaj di hadapan imam al-Bukhori bertanya sebuah pertanyaan anak kecil”. Imam Muslim menjadi salah satu murid Imam al-Bukhori yang paling dekat dan apabila menemui gurunya dia senantiasa mencium keningnya. Dia tidak pernah menjauh dari Imam al-Bukhori pada saat di Naisabur walaupun ketika hubungan Imam al-Bukhori dan Muhammad bin Yahya ad-Dihli terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Bahkan Ad-Dihli pernah dalam suatu majlis pernah berkata “siapa saja yang belajar kepada al-Bukhori maka jangan mengikuti majlisku” dan Imam Muslimpun segera keluar dan lebih memilih belajar kepada Imam al-Bukhori.
Kesenjangan antara Imam al-Bukhari dan Ad-Dihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Ad-Dzihli. Sehingga Imam Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadis-hadis yang diterima dari Ad-Dihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadis dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru. Namun demikian pengaruh gurunya al-Bukhori sangat besar sekali “Kalaulah tidak ada al-Bukhori tidaklah Muslim sehebat ini” tutur ad-Daruqutni.
Selain Imam Muslim memiliki kebiasaan traveling untuk belajar ke berbagai tokoh ulama terkemuka pada saat itu, ia juga tercatat pernah 40 kali menunaikan ibadah haji dimulai usia 14 tahun. Imam Ad-Dzahabi dalam bukunya Tarikh al-Ibr jilid halaman 22 mengatakan “dia hidup dari hasil usahanya sendiri, yaitu dia berprofesi sebagai pedagang kain”. Dia memiliki toko di Khon Muhamash yang menjual al-Bazz –pakain yang terbuat dari sutera-. Tentang profesi aslinya tersebut sebagaimana kesaksian dari Muhammad bin Abdul Wabab al-faraa mengatakan dia adalah seorang bazaaz profesional.
Profesinya sebagai pedagang pada saat itu adalah pilihan yang sangat tepat karena kota Naisabur adalah sebagai pusat perdagangan. Perdagangan berbagai produk kain dan beragam kain sutera mewah yang dijual hingga ke Syam serta ke beberapa negara yang penduduknya masih banyak menyembah berhala. Imam Muslim memiliki banyak produk kain dengan kualitas tinggi yang biasanya dibeli oleh para penguasa saat itu. Bahkan Imam Muslim memiliki banyak kekayaan dan perkebunan di Astiwa yang dapat menafkahi kehidupan sehari-harinya. Perdagangan, kekayaan dan perkebunan sangat penuh berkah digunakan oleh Imam Muslim sebaik-baiknya. Dia terkenal sebagai dermawan di kota Naisabur. Kedermawanan Imam Muslim pada orang yang membutuhkan kata Imam Ad-Dzhahabi sangat memberikan berkah tersendiri pada perjalanan karirnya.
Bagi Imam Muslim perdagangan tidak menjadi penghalang dalam aktivitas mengajar kepada muridnya atau dalam menyampaikan hadis Rasulullah. Bahkan terkadang berdiskusi tentang masalah ilmu di toko miliknya. Menurut al-Hakim an-Naisaburi aku mendengar Bapakku berkata : “aku mendengar dari Muslim bin al-Hajaaj senantiasa menyampaikan wejengan dan nasehat di tokonya di distrik Khan Muhamash”. Imam Muslim di sini sangat menyadari amal yang paling dahsyat adalah perpaduan sedekah harta dan keilmuan berupa karya yang sejak 11 abad yang lalu kitab Shohih Muslim dijadikan rujukan umat Islam setelah al-Quran. Rasulullah Saw bersabda : “Apabila anak Adam mati maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya ” HR. Muslim. Dari hadist ini tampak jelas sekali Imam Muslim tidak hanya meriwayatkan hadist tetapi juga dia mengamalkan keutamaan esensi hadis yang sangat terkenal di kalangan umat Islam ini.
Dengan kekayaannya tersebut Imam Muslim senantiasa melakukan pengembaraan ilmu ke berbagai negara berkali-kali. Khususnya dia lebih menyukai berkunjung ke beberapa negara muslim yang mana segala kegiatan itu sangat memerlukan biaya yang sangat besar sekali. Imam Nawawi yang berpenampilan menawan, berwajah tampan dan jenggot putihnya adalah tipe seorang yang optimis juga penuh aktivitas tidak pernah keluar dari mulut mencaci atau menjelekan seseorang. Atas kedermawanannya tersebut, Imam Muslim di Naisabur menjadi orang yang berpengaruh baik dalam bidang politik, sosial maupun ekonomi.
Imam Muslim yang hidup pada abad ketiga hijriah (206-261) yang pada masa itu merupakan masa keemasan dalam bidang keilmuan yang luas dan peradaban umat Islam sangat berpengaruh sehingga kaum muslimin sangat berpegang teguh terhadap ajarannya. Orang yang menerima hadis dari dia ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa tulisan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadis shahih ini, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kedua tokoh hadis ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli hadis.
Sebagaimana penulis bahas sekilas di atas, Imam Muslim secara finansial sangat berkecukupan karena profesinya sebagai pedangan sukses dan memiliki harta melimpah ia manfaatkan untuk pembiayaan visi-misinya yang independen. Untuk mendukung semangatnya yang tinggi dalam berguru kepada berbagai syeikh seantero dunia guna memperdalam hadis dan membukukannya sangat diperlukan biaya yang sangat besar. Semua biaya traveling dan biaya penulisan buku Imam Muslim tidak mengandalkan uluran dana dari orang lain. Sehingga dia murni berkaya yang terbebas dari pesanan para sponsor dan keinginan pengusaha pada saat itu. Padahal pada zamannya, para khilafah dan pejabat negara sangat memiliki perhatian besar dan terbiasa memberikan hadiah dan bantuan keuangan kepada para ulama yang senantiasa dijadikan rujukan utama dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya.
Oleh : Dr. H. Arip Rahman, *(Dosen Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam di Program Pascasarjana STEI Tazkia-Bogor).
Bogor, 17 April 2018M/1 Syaban 1439H