Jejak Langkah Pemikiran A. Hassan, "Pemikir Islam Radikal"

oleh Reporter

28 September 2022 | 07:28

Penulis:
Abdul Aziz, S.T.
(Sekretaris PW PERSI Sumatera Utara)

 

Menjelang seratus tahun usianya, Persatuan Islam (PERSIS) tidak dapat dilepaskan dari sosok seorang pemikir Islam reformis, yaitu Ahmad Hassan yang lebih dikenal dengan sapaan Hassan Bandung.  Andilnya tidak mungkin kita lewatkan dan nafikan, karena perannya yang begitu besar dan pengaruhnya yang begitu luas melewati batas organisasi yang dia gerakkan, yakni Persatuan Islam.

Posisi Ahmad Hassan atau Hassan Bandung dalam pertarungan pemikiran Islam itu ditunjukkan lewat tulisannya yang tajam  dan tegas di berbagai media. Disamping  itu, ia juga dikenal sebagai polemis dan kritikus yang pedas. Ia dikenal sebagai ahli debat yang ulung dalam menggugurkan argumentasi lawan-lawannya.

Sebelum Islam datang, kepercayaan animisme dan dinamisme serta ajaran Hindu-Budha telah berkembang di Indonesia. Namun, kepercayaan-kepercayaan tersebut makin lama perkembangannya semakin menurun dan akhirnya digantikan oleh peranan Islam.

Islamisasi yang paling luas terjadi ketika penjajah Portugis datang di Indonesia dan kemudian berhadapan dengan kerajaan-kerajaan Islam.

Sejarah Persatuan Islam

Persatuan Islam didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan, yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.

Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad XX, Persatuan Islam memiliki ciri tersendiri, kegiatannya dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan.

Allan Samson membagi tokoh politik Islam menjadi (1) fundamentalist, dengan tokoh A. Hasan dan Isa Anshari (keduanya tokoh PERSIS); (2) reformist, dengan  tokoh M. Natsir; dan (3) accomodationist,  dengan tokoh Sukiman dan Agus Sudono. (Dr. Syafiq A. Mughni, M.A, Ph.D. dalam bukunya Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal)

Sangat menarik membicarakan sosok pribadi dan integritas seorang A. Hassan yang dapat disimak dari riwayat hidupnya.

Untuk mengenal siapa sesungguhnya A. Hasan, berikut ini adalah asal usulnya. Beliau lahir di Singapura tahun 1887, ayahnya bernama Ahmad yang berasal dari India, ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat Madras.

A. Hassan sendiri adalah pembelajar yang otodidak, makanya beliau tidak pernah menamatkan Sekolah Dasar sekali pun. Namun, kecemerlangan dan ketajaman hujjah dan penanya membuat lawan-lawan debatnya tidak berkutik.

A. Hassan dan Tokoh-Tokoh Indonesia

Ketokohan seseorang salah satunya dapat dilihat dari keluasan hubungannya. Dengan siapa saja dia berhubungan dan berinteraksi menunjukkan di mana posisinya berada.

Perlu digarisbawahi bahwa A. Hassan bukanlah politisi. Sehingga, kita akan sulit menemukan hubungan  A. Hassan  dengan berbagai pihak  dalam konteks politik. Sementara pada umumnya orang melihat kepeloporan dari sudut pandang politik.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila mereka yang disebut "tokoh" dan "berpengaruh" adalah mereka yang berkecimpung di dunia politik, padahal dalam realitas sesungguhnya tidak selalu politik yang memiliki peran dalam menggerakkan sejarah.

A. Hassan  dalam konteks ini bukanlah aktivis politik, walaupun hubungannya banyak juga dengan tokoh pergerakkan, seperti dengan Sukarno.

Menarik dan patut mendapat apresiasi bahwa dalam Muktamar XVI PERSIS, yang diselenggarakan di Bandung pada 26-29 Shafar 1444 H/23-26 September 2022 M, dalam pembahasan di sidang komisi dibahas apakah A. Hassan dan M. Natsir masih perlu dicantumkan dalam Qanun Asasi atau  Qanun Dakhili (AD/ART). Di sini dapat kita lihat kecintaan muktamirin bahwa nama kedua tokoh tersebut harus dicantumkan.

Menarik memang, salah seorang utusan dari Sumatera Utara Agus Salim  Sunarto mengusulkan agar kedua tokoh tersebut harus dimasukkan, dan ini didukung oleh seluruh muktamirin.

Menanggapi gegap gempita tersebut, Muhammad Nuh yang menimba ilmu di Pesantren PERSIS Bangil menanggapi bahwa tokoh-tokoh tersebut adalah idola para santri, sambil beliau menerawang dan mengenang masa lalu saat menimba ilmu di pesantren Bangil, tiga dasawarsa lalu.

"Perasaan berpendar, bagaimana para santri sangat menghormati sesepuh dan guru sebagai wujud kehalusan pekerti," kenang Nuh.

[]

 

ilus: Kahaatayn/foto: penulis/ed.: dhanyawan

 

Reporter: Reporter Editor: admin