عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Terjemah
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah ditanya mengenai amal yang paling utama. Beliau menjawab :”Amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah.” Kemudian (ditanyakan lagi) apa lagi? “Jihad di jalan Allah”, jawab Rasulullah saw. Kemudian apa lagi? Rasul menjawab :”Haji Mabrur”.
Takhrij
Hadits ini tergolong hadits masyhur baik di kalangan ahli hadits maupun di kalangan ahli fiqh, sehingga kita tidak akan kesulitan mencarinya, hampir di semua kitab mu’tabar kita dapat menemukannya. Di dalam shahih Bukhori terdapat pokok bahasan yaitu “kitab jihad” hadits ini terdapat di dalamnya yang sebelumnya juga terdapat dalam pokok bahasan “kitab iman” di bawah sub judul “bab bahwasanya iman itu adalah amal” hadits nomor 26, dan di bawah sub judul “Jihad adalah bagian dari iman”. Di dalam shahih Muslim, kita akan menemukan pokok bahasan yang sama, yaitu “kitab jihad dan bepergian” dengan sub judul di antaranya “bab bayanu kauni iman (bab penjelasan keadaan iman)”, “bab keutamaan jihad dan berjaga-jaga”. Begitu juga di dalam kitab-kitab sunan, hadits di atas terdapat di dalamnya dengan di bawah pokok bahasan yang terang yaitu “kitab jihad”. Selain di kitab-kitab hadits, kita juga tidak akan kesulitan menemukan bahasan mengenai jihad di dalam kitab-kitab fiqih semisal kitab Fiqh Sunnah, susunan Sayyid Sabiq, di situ secara rinci dipaparkan hukum jihad, keutamaan jihad, dll.
Syarah Mufrodat
Jihad menurut akar katanya berasal dari kata “al jahdu”(الجَهْد) yang mengandung arti kesulitan, kesengsaraan. Apabila diambil dari kata “al juhdu” (الجُهد), jihad berarti melaksanakan sesuatu dengan susah payah, karena masing-masing pihak mencurahkan segenap kemampuannya dalam menolak yang lainnya (Al Qasthalany: 1/1, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al Thoyyar dalam Fiqhul Jihad, hal 1).
Di dalam kitab “Al Jihad fi Sabilillah” susunan Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthany hal 2 disebutkan :
لغة: بذل واستفراغ ما في الوسع والطاقة من قول أو فعل
شرعًا: بذل الجهد من المسلمين في قتال الكفار، والبغاة، والمرتدين ونحوهم.
Mengerahkan dan menghabiskan segala daya upaya baik perkataan maupun perbuatan.
Menurut syara’ : jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, pembangkang, orang-orang murtad dan semisalnya. (lihat Al Thoyyar, hal 1).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendefinisikan jihad secara istilah (terminolagi), “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.”
Ar-Raghib Al-Ashbahany menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi saw. ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Lihat Fathul Bari: 6/4-5 dan Nailul Authar: 7/246-247)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari segi bahasa (etimologi), secara sederhana jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan.
Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya.
Syarah Hadits
Tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabilillah. Al-Qur`an dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, kewajiban dan keutamaannya, bahkan di dalam kitab Bulughul maram, hadits yang pertama kali dimunculkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam bab jihad adalah sabda Rasul saw. "Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." Muttafaq Alaihi.
Jihad dalam arti perang hukumnya wajib kifayah sebagaimana firman Allah swt. :
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At Taubah: 122).
Menurut Al Qahthany jihad jadi wajib ‘ain apabila kaum muslimin dihadapkan pada tiga keadaan :
Apabila seorang muslim mukallaf bertemu dan berhadapan langsung dengan musuh. (lihat QS. Al Anfal : 15, 16, dan 45).
Apabila musuh menyerang ke negeri kaum muslimin dan penghuninya tidak mampu untuk menghalaunya, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membantu negeri tersebut terutama negara yang paling dekat dengan negeri tersebut. (At Taubah: 123).
Apabila pemimpin kaum muslimin mewajibkan segenap kaum muslimin untuk berperang. (At Taubah: 38, 41).
Termasuk jenis jihad adalah jihad dengan hati, lisan, harta, maupun perbuatan. Semua muslim wajib berjihad di jalan Allah dengan salah satu bentuk dari macam jihad tersebut menurut kebutuhan dan kemampuannya. Rasul bersabda :
"جاهدوا المشركين بألسنتكم، وأنفسكم، وأموالكم، وأيديكم"
Perangilah orang-orang musyrik dengan lisan-lisanmu, diri-dirimu, harta-hartamu, dan dengan kekuatan-kekuatanmu. (Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 12577).
Berjihad di jalan Allah merupakan amal yang paling utama setelah beriman kepada Allah, bahkan aplikasi dari sejatinya iman adalah berjihad. Keutamaan Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak, di antaranya :
...dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya telah datang seseorang kepada Rasulullah saw. Seraya bertanya: “wahai Rasulullah saw. Tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang sebanding dengan jihad? “Tidak, aku tidak mendapatinya”, jawab Rasul. Apakah kamu mampu sebagaimana mujahid masuk masjidmu kemudian ia shalat dan tidak tidur, shaum dan tidak makan, siapa yang mampu seperti itu? ... (Bukhori 4/18, no. 2784).
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (2/630) mengutip satu hadits dan disimpan di bawah sub pokok bahasan “Jihad : Amal yang tidak terimbangi oleh amal apapun”. Dalam hadits itu disebutkan: bahwasanya Rasulullah saw. ditanya amalan yang sebanding dengan jihad fi sabilillah. Maka jawab Rasul saw. adalah : “Kalian tidak akan mampu mengimbanginya”, Rasul menyatakan demikian berulang-ulang.
Pintu surga itu ada delapan, salah satunya adalah pintu khusus untuk ahli jihad. Rasul bersabda :”... barangsiapa dari ahli jihad, maka ia akan diseru dari pintu jihad, ... (Bukhori: 3/32, nomor 1897). Dalam hadits lain Rasulullah saw. Mengatakan : “Kalian wajib berjihad di jalan Allah karena ada salah satu pintu di antara pintu-pintu surga (yang disediakan untuk mujahid), yang Allah menghilangkan dengannya segala kepayahan dan ketakutan. (Al jihad karya Ibnu ‘Ashim: 1/134, no. 7).
... sesungguhnya Abu Sa’id al Khudriyi r.a. telah menceritakan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Rasul saw. :Amal mana yang lebih utama? “Amal yang lebih utama adalah seorang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan diri dan hartanya... “ Jawab Rasul. (Bukhori, no. 2786).
Jaminan bagi yang jihad adalah surga, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَنْ جَاهَدَ فِي سَبِيلِهِ لَا يُخْرِجُهُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَّا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ وَتَصْدِيقُ كَلِمَتِهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرُدَّهُ إِلَى مَسْكَنِهِ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ
“dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : Allah menjamin bagi siapa yang berjihad di jalan-Nya yang ia tidak keluar dari rumahnya kecuali jihad fi sabilillah dan membenarkan kalimat-kalimatnya untuk memasukkannya ke surga atau memulangkan ke keluarganya dengan membawa ganjaran dan ghanimah (rampasan perang).
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas bahwa jihad yang paling utama adalah berperang melawan musuh Islam, jihad seperti ini tidak bandingannya dalam Islam dan jaminannya adalah surga.
Namun kapan, di mana, bagaimana jihad dalam arti perang itu terlaksana? Sebelum mencapai derajat tertinggi di bawah ini disampaikan tingkatan-tingkatan jihad:
Al Qahthany mencatat bahwa tingkatan jihad itu terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu: pertama: jihadun nafs, kedua : jihadus syaethan, ketiga : jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munafik, dan keempat : jihad melawan kedzaliman, bid’ah dan munkarat. (lihat pula At Thayyar : Fiqhul Jihad 1/4).
Jihadun nafs, jihad melawan diri sendiri ada empat tingkatan, yaitu : 1. Jihad diri untuk mempelajari urusan-urusan agama dan petunjuk. 2. Jihad untuk mengamalkan ilmu-imu agama yang telah dimilikinya. 3. Jihad di dalam mendakwahkan Islam, dan 4. Jihad dengan kesabaran dalam menghadapi kesulitan dakwah.
Syaetan adalah sejelek-jelek musuh, Allah swt. berfiman: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Fathir: 6).
Jihad melawan syaetan ada dua tingkatan yaitu : 1. Jihad dalam menolak apa yang ia bisikkan berupa keraguan-keraguan yang mempengaruhi iman. 2. Jihad dalam menolak apa yang dibisikkannya berupa syahwat-syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak.
Jihad melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik ada empat tingkatan : yaitu dengan hati, lisan, harta, dan perbuatan. Jihad melawan kekafiran lebih utama dengan perbuatan/ kekuatan dan jihad melawan orang-orang munafik lebih utama dengan lisan/debat.
Jihad melawan kedzaliman, perbid’ahan dan kemunkaran ada tiga tahapan : pertama dengan tangan/ kekuatan, kedua dengan lisan dan ketiga dengan hati.
Tahapan-tahapan di atas merupakan tahapan yang harus dilalui oleh seorang mukmin, karena bagaimana ia mencapai jihad tingkatan tertinggi sebelum ia dapat melawan hawa nafsunya. Hal itu diungkapkan oleh Ibnu Manashif dalam kitabnya “Al Injad fi Abwabil Jihad” bahwa menurut syara’ jihad itu terbagi kepada tiga macam, yaitu jihad dengan hati, jihad dengan lisan, dan jihad dengan tangan/ kekuatan. Sebagai pijakan atas pendapat di atas adalah hadits sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Artinya, “dari Ibnu Mas’ud sesungguhnya Rasulullah saw. pernah mengatakan: “Setiap nabi pasti ada pembela dan penolongnya, mereka melaksanakan sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah itu muncul generasi menyimpang, mereka mengatakan apa yang tidak akan mereka kerjakan, dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad, melawan mereka dengan tangannya maka ia itu seorang mukmin; barangsiapa yang berjihad, melawan mereka dengan lisannya maka ia itu seorang mukmin; dan barangsiapa yang berjihad, melawan mereka dengan hatinya maka ia itu seorang mukmin. Dan apabila tidak mengerjakan ketiga-tiganya itu maka tidak ada keimanan padanya walaupun sebesar atom. (Shahih Muslim: 1/51, no. 188).
Jihad bukan Teror, Teror bukan Jihad
Pertentangan antara hak dan bathil, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Al Qardhawy merupakan “sunnah tada’fu” sampai kiamat pasti akan terjadi. Mana yang nampak (idhar) kepermukaan itu tergantung para pembelanya. Dinul Islam merupakan dinul hak, yang menuntut penganutnya untuk menegakkan dan mempertahankan hak dan keadilan tetap tegak di muka bumi ini.
Untuk menwujudkan cita-cita luhur semacam ini, jihad tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Apapun tingkatan jihad, maka seorang mukmin yang bertanggung jawab terhadap diri dan agamanya tidak boleh absen dalam kancah perjuangan. Seorang mukmin yang absen bahkan tidak mempunyai rasa tanggung jawab dalam dirinya ia di cap sebagai orang munafik, pengecut. Maka Islam tidak butuh manusia seperti itu. Oleh karena itu, seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasulnya, hatinya tidak akan tentram apabila melihat kezaliman menempati tahta kekuasaan. Pada titik puncaknya jihad juga menuntut seorang mukmin mengerahkan segala kemampuannya untuk menegakan kebenaran dan keadilan.
Jihad, yang dapat dipahami sebagai konsep perjuangan, merupakan jalan panjang yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita (kemuliaan). Sebagai konsep dan jalan perjuangan, jihad tidaklah cukup dilakukan dengan hati dan lisan saja, tetapi menuntut diaktualisasikan melalui kerja keras dan kerja cerdas, tanpa kenal lelah, dengan mengoptimalkan penggunaan segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki, tak hanya kekuatan spiritual, tapi juga kekuatan fisik, moral, dan intelektual. Tetapi, bentuk jihad mana yang harus kedepankan? Itu tergantung situasi dan kondisi yang mengitarinya. Tetapi ingat! jihad harus tetap dikumandangkan. Seorang mukmin mujahid, tidak akan gentar dengan stigmatisasi negatif dan pengaburan terhadap makna jihad. Dan membela hak haruslah dengan hak, sehingga jihad is jihad, dan terror is terror. jihad bukanlah terror, dan terror bukanlah jihad.
Oleh : Deni Solehudin
Wallahu a’lam.
Photo: Google