Apakah hasil dari wakaf wajib dikeluarkan zakatnya?
- Hadi, Padarincang, Banten
Wakaf itu artinya berhenti. Berhenti dalam pengertian telah dishadaqahkan kepada Allah swt dan tidak seorang pun dapat memilikinya lagi. Oleh karena itu sesuatu barang yang sudah diwakafkan, harus diurus dan digunakan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Umpamanya ayat sebagai berikut:
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Q.S, 72/al-Jin : 18.
Selanjutnya di dalam hadits, wakaf disebut pula dengan istilah shadaqah untuk Allah swt. Umpamanya di dalam hadits sebagai berikut :
عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ t يَقُولُ كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ r يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ r فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r بَخٍ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ.
Dari Ishaq bin Abdulah bin Abu Thalhah bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik r.a, berkata: “Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling banyak kebun kurmanya. Harta yang paling dicintainya adalah Bairuha. Kebun itu menghadap masjid dan Rasulullah saw sering memasukinya dan meminum air yang segar dari kebun itu. Ketika turun ayat: (Kalian tidak akan pernah mencapai kebaikan yang mabrur sebelum menginfaqkan dari harta-harta yang dicintai), berangkatlah Abu Thalhah menemui Rasulullah saw, lalu berkata: “
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah swt telah berfirman: (Kalian tidak akan pernah mencapai kebaikan yang mabrur sebelum menginfaqkan dari harta-harta yang dicintai) Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha. Maka Bairuha tersebut saya nyatakan sebagai shadaqah untuk Allah swt. Saya berharap kemabrurannya dan keabadiannya di sisi Allah swt. Maka letakkanlah wahai Rasulullah, sesuai dengan kebaikan yang Allah beritahukan kepada tuan.” Rasulullah saw bersabda: “
Wah, itu harta keberuntungan, itu harta keberuntungan. Saya sudah mendengar apa yang kamu katakan, dan sesungguhnya saya memandang lebih baik engkau berikan kepada karib kerabat.” Maka Abu Thalhah berkata: “
Akan saya lakukan wahai Rasulullah.” Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya di antara kerabatnya dan keluarga besar uwaknya
.” Musnad Ahmad bin Hanbal, III : 185, no. 12461, Shahih Al-Bukhari, III : 504, no. 1464, Shahih Muslim, III : 79, no. 2362,
Pada hadits ini dijelaskan bahwa Abu Thalhah mewakafkan harta yang paling dicintainya dan ia diperintahkan untuk menginfaqkan sebagian hasil dari panen kebun kurma itu kepada kerabat dan keluarga dari uwaknya. Rasulullah saw menyatakan dengan wakaf kebun itu yang manfaatnya dirasakan oleh umat dan hasilnya oleh sebagian keluarga dan karib kerabat, “
Bakh, dzalika malun rabih, dzalika malun Rabih”. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani makna
malun rabih itu adalah pahalanya terus sampai kepadanya secara dawam dan tidak terputus.
Dengan demikian suatu harta yang diwakafkan yang tentunya sudah dirasakan manfaatnya oleh Islam dan muslimin atau kerabat dari muwaqif (yang mewakafkan) tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Tetapi hasilnya dapat diinfaqkan sesuai kebijakan nazhir (yang dipercaya mengurus wakaf baik lembaga maupun perorangan yang amanah).
Selanjutnya hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ لَمَّا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ أَتَى رَسُولَ اللهِ r فَقَالَ: إِنَّ اللهَ لمَ ْيُنَجِّنِي إِلاَّ بِالصِّدْقِ وَإِنَّ مِنْ تَوْبَتِي إِلَى اللهِ أَنْ لاَ أَكْذِبَ أَبَدًا وَأَنِّي أَنْخَلِعُ مِنْ مَالِي صَدَقَةً لِلَّهِ تَعَالَى وَرَسُولِهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ r اَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَإِنِّي أَمْسِكُ سَهْمِي مِنْ خَيْبَرَ
Dari Abdurahman bin Abdulah bin Ka’ab Malik, bahwasannya Ka’ab bin Malik ketika bertaubat, mendatangi Rasulullah saw dan berkata: “
Sesungguhnya Allah swt tidak menyelamatkanku selain dengan shadaqah. Maka di antara wujud taubatku kepada Allah swt adalah saya tidak akan pernah lagi berdusta selamanya dan saya tanggalkan harta saya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. bersabda: “
Tahanlah, sebagian hartamu tetap jadi milikmu, karena hal itu lebih baik bagimu.” Ia berkata: “
Maka saya tahan sebagian harta saya yang di Khaibar.” Musnad Ahmad bin Hanbal,V : 509, no. 15808.
Barang yang diwakafkan bisa merupakan benda bergerak seperti kendaraan, benda tidak bergerak seperti tanah, sawah, ladang, bangunan, dan wakaf tunai berupa uang atau permodalan. Semua ini apabila dikelola dengan benar dapat menghasilkan. Maka wakafnya tetap wakaf dan hanya milik Allah swt. Tetapi hasilnya dapat dishadaqahkan atau diinfaqkan. Dan dari hasilnya tidak diwajibkan zakat.
Istifta Edisi Bulan Mei 2015