Oleh: Shidqy Munjin
[1]
Pendidikan merupakan sebuah arena yang cukup bergengsi bagi status sosial di masyarakat. Begitupun dengan lembaga pendidikan, yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, merupakan simbol ketinggian peradaban sebuah masyarakat.
Di dunia ini ada banyak corak pendidikan, dan salah satu yang menjadi minat terbesar di Negara ini adalah corak pendidikan yang mengajarkan formalisasi Islam. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya lembaga pendidikan yang meng-atasnamakan YPI (Yayasan Pendidikan Islam), IT (Islam Terpadu), dan lain sebagainya. Adanya corak pendidikan seperti ini salah-satunya disebabkan karena adanya tantangan modernitas yang mendorong terjadinya sebuah perubahan. Apalagi bagi lembaga pendidikan yang bersifat komersil yang harus selalu siap melayani pasar (untuk tidak mengatakan pasaran), maka perubahan merupakan suatu yang niscaya bagi tercapainya daya saing dan daya jual yang cukup memadai.
Berbicara mengenai pendidikan yang mengajarkan formalisasi Islam, sebenarnya jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat memadai untuk pengajaran Islam. Apalagi kalau kita lihat dari sejarahnya, pesantren merupakan lembaga yang memiliki andil cukup besar dalam melawan penjajahan. Seperti yang dikatakan oleh Gus Dur, bahwa pesantren adalah “lembaga kultural yang menggunakan simbol-simbol budaya Jawa, sebagai agen-agen pembaharuan yang memperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan, sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat, dan juga sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi yang dibawakan oleh intelektual prolifik Imam al-Suyuthi lebih dari 500 tahun lalu yang beliau tuliskan dalam kitab
Itmâm al-Dirâyah.” Meskipun ada beberapa hal dari pernyataan Gus Dur di atas yang tidak kita setujui, tapi pada dasarnya kita sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga yang tidak sekedar mengajarkan pendidikan formal, melainkan juga sebagai pusat kegiatan masyarakat. Singkatnya, pesantren merupakan lembaga yang komprehensif.
Kalau kita mau melihat seberapa besar peranan pesantren dalam kehidupan masyarakat, kita bisa melihatnya di Persatuan Islam (Persis). Persis adalah salah satu organisasi yang tidak hanya berjasa dalam pengembangan kurikulum pesantren, tapi juga bisa dikatakan sebagai organisasi yang paling sukses dalam membangun pesantren. Untuk melihat peranan Persis bagi pesantren dan pentingnya pesantren bagi Persis, bisa dibandingkan dalam dua peristiwa beerikut ini. Pertama, peristiwa hijrahnya Rasulullah
shallallâhu ’alayhi wasallam yang dalam perjalanannya mendirikan dua masjid; yaitu masjid Kuba yang didirikan oleh beliau ketika singgah, dan masjid Nabawi ketika beliau tiba di Madinah. Peristiwa kedua adalah peristiwa hijrahnya Ahmad Hassan, sang guru Persis, dari Bandung ke Bangil yang berhasil mendirikan pesantren, baik ketika tinggal di Bandung maupun ketika di Bangil. Kedua peristiwa ini memberikan kesan kepada kita bahwa semua pergerakan Islam itu berawal dari masjid sedangkan pergerakan Persis berawal dari pesantren, dan posisi pesantren bagi Persis itu ibarat posisi masjid bagi Islam. kesimpulan ini diperkuat lagi dengan bukti bahwa pesantren dan masjid keduanya sama-sama merupakan pusat kegiatan masyarakat. Keadaan seperti ini berdampak pada pembengkakan jumlah pesantren Persis, khususnya di Jawa Barat yang nota-bene merupakan provinsi yang sesak dengan pesantren Persisnya, dan juga berbanding lurus dengan pembangunan masjidnya.
Namun lain halnya dengan yang terjadi di Sumatera Utara. Sumatera Utara merupakan provinsi yang sangat kering akan pesantren Persisnya. Padahal kalau dilihat dari perkembangannya, Persis sudah masuk ke Sumatera Utara pada tahun 1965 di Kab. Tanjung Tiram. Bahkan Akh Minhaji mencatat bahwa sebenarnya faham Persis sudah mulai dipublikasikan di Medan oleh Usman El-Muhammady, seorang saintis yang mendapat bimbingan keagamaan dari Ahmad Hassan, pada tahun 1940-an melalui majalah
Industrie. Namun Persis baru bisa mendirikan perwakilannya di Sumatera Utara pada tahun 1992 dan dua tahun kemudian diresmikan sebagai Pimpinan Wilayah Sumatera Utara.
Ditilik dari perkembangannya, Persis Sumatera Utara bisa dibilang lambat. Namun yang menjadi keanehan adalah bahwa ternyata Persis Sumatera Utara tidak didirikan sebagaimana di Jawa. Persis Sumatera Utara didirikan tanpa adanya bangunan pesantren. Bila di Bandung Persis mendirikan pesantren Bandung, di Garut dengan mendirikan pesantren Bentar, begitupun dengan di Bangil, maka Persis Sumatera Utara tidak mendirikan pesantrennya sama sekali. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup penting untuk difikirkan, karena seiring berkembangnya Persis di Sumatera Utara tetap saja pendirian pesantren belum juga dapat terealisasikan. Maka seolah-olah Persis Sumatera Utara itu bisa dibilang belum memiliki “masjid”-nya sendiri.
Permasalahan ini berimbas pula pada kuantitas santri Persis di Sumatera Utara. Disebabkan karena faktor keuangan yang tidak memadai untuk memasukkan anak-anaknya ke pesantren Persis di luar Sumatera Utara, maka banyak pula di antara mereka yang memasukkan anak-nya ke pesantren-pesantren di luar Persis bahkan tidak dipesantrenkan sama sekali. Maka dikarenakan faktor inilah dikhawatirkan bila eksistensi Persis di Sumatera Utara akan luntur. Keadaan ini bisa dibuktikan dengan langkanya Pemuda Persis di Sumatera Utara. Bila kader muda Persis sendiri sudah tidak bisa diharapkan, lalu kemana lagi Persis harus mencari pengganti?
Semoga tulisan ini bisa membuat para muhsinin Persis ikut memikirkan pembangunan pesantren Persis di Sumatera Utara yang pada periode ini sudah mulai memperlihatkan perkembangannya. Dengan didirikannya MDA (meskipun semuanya masih di luar Medan) dan diusahakan pula pendirian tingkat Tsanawiyyah di Tanjung Tiram pada tahun ini, akan menjadi cikal-bakal berdirinya Pesantren Persis yang pertama di Sumatera Utara. Dan kita berharap bahwa PW Persis Sumatera Utara, di tangan ust. Muhammad Nuh dkk. bisa segera merealisasikannya. Amin.
[1] Peserta Kafilah Du`at Persatuan Islam, Alumnus STAI Persis Garut.