Ketua PCI Persis Jerman Haikal Akbar Sulaeman Berbagi Pengalaman Selama 8 Tahun Menikmati 19 Jam Shaum Ramadhan di Jerman

oleh Reporter

29 Mei 2018 | 08:03

Jerman - persis.or.id, Secara umum tinggal di negara yang mayoritas penduduknya masih belum memeluk Islam merupakan tantangan tersendiri. Mulai dari mencari dan memilih makanan halal, menyesuaikan jadwal kuliah dan kerja dengan jadwal sholat, termasuk menjalani Ramadhan yang penuh berkah ini.  Selama hampir 8 tahun kuliah dan kerja di Jerman ada dua bekal mendasar yang diperlukan seorang muslim dalam menghadapi keunikan kehidupan beragama disini:

1.    Iman
2.    Ilmu

Yang pertama seorang muslim yang tinggal di daerah yang umat Islamnya belum banyak perlu keimanan yang kuat bahwa Islam ini adalah jalan kehidupan yang benar dan segala sesuatu yang diperintahkan Allah adalah untuk kebaikan manusia juga. Selain Iman agama juga menuntut umatnya belajar, ilmu dibutuhkan agar seorang muslim dapat terus memenuhi kewajiban agama dalam kondisi apapun dan agar pintar dalam bermuamalah terhadap sesama di negri non-muslim.

Ditambah lagi masyarakat muslim di Jerman datang dari berbagai negara,  ada yang dari Asia Timur, Afrika Utara, Timur Tengah, dan juga Eropa Timur. Selain latar belakang negara asal, di Jerman dapat ditemukan juga berbagai mazhab yang berbeda-beda di kalangan umat Islam. Selama disini saya pernah beribadah dengan saudara-saudara yang bermazhab syafii seperti di Indonesia, pernah juga dengan yang Hanafi, ataupun Hambali.

Insya Allah akan sedikit saya ceritakan tentang Ramadhan di Jerman.

Penetapan Awal Ramadhan

Berbeda dengan Indonesia atau negara muslim lainya yang punya badan resmi dari negara untuk penetapan awal Ramadhan, di Jerman tidak ada badan seperti MUI yang secara resmi benar-benar menaungi seluruh umat Islam. Aliansi atau kumpulan ulama-ulama dan masjid-masjid memang ada, namun fatwa atau keputusanya juga tidak mengikat seluruh umat Islam. Bagi masyarakat muslim Indonesia disini, mereka yang di kotanya sudah ada Masjid Indonesia seperti Berlin, Frankfurt, Hamburg, München, warga disana mengikuti syuro Masjid Indonesia untuk penetapan awal Ramadhan. Pernah juga kejadian lebaran di Masjid Indonesia di Jerman berbeda dengan lebaran di Indonesia sendiri.

Untuk warga di kota-kota lain yang belum punya Masjid Indonesia, penetapan awal Ramadhan kemudian diserahkan kepada masjid-masjid lokal tempat sehari-hari sholat jamaah atau Jumatan.

Sehari-hari Shaum

Selama 8 tahun saya di Jerman Ramadhan selalu jatuh pada musim panas sekitar Mei-Juli dimana matahari bisa sudah terbit sejah jam 3 dini hari dan baru terbenam jam 21:30 malam. Kira-kira waktu shaum disini sekitar 18-19 jam. Alhamdulillah, walaupun sekilas terkesan panjang, selama ini saya dan teman-teman Indonesia tetap shaum dengan lancar. Beberapa kali saya ditanya teman kuliah atau kolega di kantor bagaimana caranya kamu bisa tidak makan dan minum selama 18 jam ditambah itu dilakukan di musim panas yang siang hari nya suka bikin haus dan gerah. Saya menjawab selama ini ya saya jalani saja, kan sudah perintah agama.

Tantangan lain Ramadhan di Jerman adalah mengatur waktu tidur. Kalau disini Maghrib masuk jam 21:30, maka isya paling cepat hampir 23:00, beres taraweh bisa jam 24:00 dini hari, lalu jam 03:00 sudah masuk subuh. Kapan tidurnya? 

Biasa saya dan teman-teman disini kebanyakan baru tidur setelah subuh, dan bangun lagi sekitar jam 7-9 untuk kembali beraktivitas kuliah/kerja. Untuk kompensasi tidur yang belum puas, biasanya sore pulang kuliah/kerja kita tidur lagi. Agak sulit untuk tidur di malam hari.

Buka Bersama Warga Muslim

Disini berbagai masjid menyediakan Ifthar bersama selama Ramadhan, makanan yang disediakan tergantung masjid yang dikunjungi. Masjid Turki menyediakan ifthar khas turki, dan Masjid Arab menyediakan makanan arab. Untuk lidah orang Indonesia lebih nendang kalau ifthar bersama dengan saudara-saudara dari Pakistan atau Afghanistan yang selera bumbunya mirip-mirip dengan Indonesia.

Masjid-masjid Indonesia juga ikut menyediakan ifthar bersama, untuk kota-kota yang belum punya masjid sendiri, biasanya buka bersama diadakan di akhir pekan sekalian pengajian. Kalau sudah ada acara buka bersama dan pengajian gini biasanya takjil dan menu-menu tanah air bisa dinikmati kembali.

Suasana Ramadhan

Jangan berharap masyarakat yang mayoritas non-muslim disini menutup warung atau kedai mereka selama Ramadhan atau ada spanduk “Hormati orang yang…..” dipasang di jalan. Bisa dibilang suasana Ramadhan dan diluar Ramadhan disini tidak jauh berbeda. Justru umat Islam sendiri yang harus menghadirkan suasana Ramadhan itu di rumah, lingkungan, keluarga, dan masyarakat mereka.

Umat Islam harus menunjukan terutama untuk mereka yang belum mengenal Islam atau masih punya persespi yang belum sempurna tentang Islam, bahwa walaupun umat Islam menahan makan dan minum selama lebih dari 18 jam kita tetap produktif dan aktif menjalanu aktivitas kita sehari-hari. Shaum di musim panas bukan halangan bagi kita menunjukan performance terbaik. 

Ketika Ramadhan tidak disambut dengan embel-embel spanduk, iklan tv, baliho, atau acara-acara kultum dan komedi sahur, justru umat Islam sendiri yang harus menunjukan pada dunia bahwa ia sedang menjalani Ramadhan dan menunjukan bagaimana Ramadhan membina dirinya menjadi muslim yang lebih baik.

Haikal Akbar Sulaeman
Cicit tokoh Persis KH. Sudibja

PCI Persis Jerman

 

Reporter: Reporter Editor: admin