Konflik Politik dan Solusinya

oleh Reporter

19 Juli 2016 | 13:00

Para ahli ilmu politik menelusuri kata politics dalam bahasa Inggris dari tiga kata Yunani; politikos, yang artinya hal menyangkut kewarganegaraan; polites, yang artinya seorang warga negara; polis, yang artinya kota atau negara; atau politeia yang artinya kewargaan.[1] Jadi secara bahasa, politik adalah sesuatu yang berkenaan dengan hal kenegaraan, kewargaan atau kewarganegaraan baik dalam tataran pemikiran ataupun dalam praktek prilaku manusia yang berkaitan dengannya. Aktivitas pemikiran maupun prilaku manusia dalam masyarakatnya yang terkait dengan substansi ilmu politik sudah lama sekali dikenal dalam peradaban manusia. Secara teoritis, bagian-bagian tertentu dari aspek politik sudah lama pula menjadi pembicaraan kaum ilmuwan. Di Yunani, sejak kurang lebih tahun 450 SM. , para filosof sudah menaruh perhatian tentang masalah negara dan masyarakat. Herodotus, Demokritos, Plato dan Aristoteles adalah di antara contoh filosof-filosof Yunani yang sudah membicarakan rumusan politik secara teoritis. Pada abad-abad yang kurang lebih berbarengan dengan Yunani, di India sudah termasyhur kitab kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang di dalamnya banyak mengandung didikan etika bernegara. Demikian halnya di Cina, sejak tahun 500 SM hingga 350 SM.,  sudah menyebar ajaran filsafat Confucius dan Mencius.[2] Bukan hanya itu, percobaan mempraktekkan rumusan-rumusan politik ke dalam kenyataan hidup bernegara telah dilaksanakan di Athena pada masa pemerintahan Pericles yang berkuasa dengan pilihan bebas warganya selama 30 tahun (460 SM-430 SM).[3] Pada masa ini negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis telah berhasil diimplementasikan dengan beberapa ciri yang utama: Pertama, warganegara telah dilibatkan dalam perumusan dan penentuan kebijakan pemerintah. Hanya saja waktu itu masih dibatasi bagi warganegara yang laki-laki saja. Kedua, telah terbentuknya lembaga-lembaga negara yang berupa Badan Perhimpunan, Dewan Eksekutif, dan Majlis Kehakiman. Dan ciri yang ketiga, adalah diselenggarakannya pemilihan pemimpin secara demokratis.[4] Meskipun demikian, sampai akhir abad ke 19 M. dimana ilmu politik telah lahir dan berkembang pesat sebagai ilmu tersendiri berdampingan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, politik tetap masih merupakan peristilahan yang labil. Bukan tidak adanya upaya-upaya pendefinisian, tetapi sulit didapatkan batasan tunggal yang disepakati. Kesulitan memberikan batasan tunggal atas politik ini, menurut Duverger, disebabkan karena terlalu populernya kata politik. Kata tersebut “ada dalam kosakata setiap orang” sehingga “karena seringnya dipakai dia menjadi sangat samar-samar dan umum”.[5] Di sisi lain, objek kajian politik adalah aktivitas masyarakat dengan sifatnya yang sulit didefinisikan karena senantiasa berubah dan berkembang. Sementara itu, kata politik tidak mengandung pengertian dalam dirinya sendiri, ia membutuhkan penjelasan dari luar yang sangat ditentukan oleh sudut pandang dari para sarjana penelitinya. Sejak manusia pertama kali berpikir tentang politik, mereka terombang ambing di antara dua interpretasi yang saling bertentangan secara diametrik. Bagi sebagian orang politik secara hakiki adalah pergolakan pertempuran. Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan individu-individu yang memegangnya untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat dan mengeksploitirnya; kelompok dan individu lain menentang dominasi dan eksploitasinya dengan berusaha melawan dan membinasakannya. Tafsiran kedua menganggap politik sebagai usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan melindungi kemakmuran umum dan kepentingan umum (common good) dari tekanan dan tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang khusus. Bagi yang pertama, politik bertugas mempertahankan hak-hak istimewa suatu minoritas terhadap mayoritas. Bagi yang kedua, dia adalah alat untuk mengitegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan “kota adil” yang dibicarakan Aristoteles.[6]   Plato dan Aristoteles memang lebih menekankan pemaknaan politik dari sudut tujuan ideal sebuah masyarakat. Bagi keduanya politik ada demi tujuan mulia; mencari kebaikan umum, kebaikan warga dan kesempurnaan moral. Sebagai konsekwensinya, dengan politik para pembuat keputusan harus mengacu kepada tujuan-tujuan moral. Cara-cara pemilihan pejabat, struktur kekuasaan, dan keputusan-keputusan, semuanya mesti ditujukan untuk maksud-maksud ideal.[7]  Pendek kata, dalam teori Plato dan Aristoteles esensi politik terletak pada tujuannya. Selebihnya adalah perangkat-perangkat, sarana, alat dan metode bagi terlaksana dan untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi pada akhirnya, sebagaimana dirumuskan oleh Robert A. Dahl,  tujuan itu telah dengan sengaja membangun “pola-pola hubungan manusia yang terus-menerus melibatkan, pada tingkat tertentu, kekuasaan undang-undang atau otoritas”.[8] Bagaimanapun sulitnya mencari batasan tunggal bagi istilah politik, pengertian umum yang lebih terbuka dan mengakomodir berbagai sisi dari sudut pandang yang beragam bukan hanya masih tetap mungkin, melainkan menjadi harus dilakukan. Karena bagaimanapun kasarnya batasan-batasan itu tetap menjadi kebutuhan bagi jelasnya wilayah yang menjadi kajian politik sebagai sebuah ilmu. Identifikasi atas objek-objek atau masalah-masalah yang tercakup dalam katagori politik adalah jalan terdekat untuk mengatasi kesulitan mencari definisi tunggal yang disepakati. Demi keperluan ini, mengutip pendapat yang memilah-milah pengertian politik menjadi relevan dilakukan. Geoffrey[9] menjelaskan arti politik dari dua pendekatan; politik sebagai aktivitas dan politik sebagai studi atas aktivitas tersebut. Sebagai aktivitas, politik adalah proses dalam sebuah sistem sosial, yang tidak mesti dalam sekala nasional suatu negara, dengan tujuannya memilih dan mengatur serta melakukan alokasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok dan individu masyarakat. Termasuk ke dalamnya kerjasama dan pemecahan konflik dengan peranan penting penggunaan kekuasaan politik. Ia dibedakan dari proses sosial yang lain dari sudut tujuannya yang dikonsentrasikan bagi pencapaian cita-cita bersama sebuah masyarakat. Sedang sebagai studi, politik mencakup ilmu politik, sejarah politik, dan filsafat politik yang berusaha menggambarkan dan menjelaskan, mengklasifikasi  serta menganalisa aktivitas politik berikut nilai-nilai yang diterapkan dalam keputusan politik. Sementara itu, Lorens Bagus menginventarisir tidak kurang dari empat pengertian yang biasa terkandung dalam kata politik. Menurutnya politik ialah:
  1. Apa yang berhubungan dengan pemerintah
  2. Perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijakan umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai yang berperan dalam kehidupan bangsa
  3. Bidang study yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil sosial dan menggabungkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-masalah tersebut
  4. Aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang berhubungan dengan penggunaan kekuasaan negara.[10]
Dengan rumusan yang agak berbeda, Syahrial (dkk) mengemukakan lima pengertian politik yang menurutnya biasa tercakup dalam penggunaan kata politik: Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan cita-cita bersama. Kedua, politik ialah segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik ialah segala kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.[11] Untuk merangkum pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, penulis sepakat dengan rumusan konsep politik yang dikemukakan oleh Ramlan Surbekti, sebagaimana dikutip juga oleh Syahrial (dkk),[12] politik ialah “interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah tertentu”. Jika politik diletakkan sebagai bagian dari sistem sosial yang luas, maka konflik politik hanyalah bagian dari jenis konflik sosial yang karakteristik serta latarbelakang penyebabnya telah digambarkan pada pembahasan di muka. Konflik politik berarti sejenis konflik sosial dengan seluruh ragam dan tingkatannya yang berada dalam wilayah politik. Dari sekian aspek yang tercakup dalam wilayah atau makna politik, kekuasaan adalah di antara maknanya yang punya peran paling dominan. Karena dengan kekuasaan di tangannya seorang politikus akan benar-benar merealisasikan gagasan-gagasan politiknya melalui keputusan-keputusan kebijakan yang dibuatnya.[13] Kebijakan-kebijakan mana dapat dianggap menguntungkan sekelompok orang dan dapat dianggap merugikan kelompok lain dalam sebuah masyarakat politik. Sementara itu, kepentingan-kepentingan masyarakat politik itu tidak melulu bersifat materi. Desakan kepentingan ideologis atau tuntutan yang lahir dari  kepercayaan dan kebutuhan spiritual tertentu, umpamanya, sering juga menjadi alasan ketidakpuasan suatu kelompok atas suatu kebijakan pemerintah yang didukung oleh kelompok lainnya. Saat itulah konflik tidak dapat dihindari. Dengan argumen seperti inilah, wajar jika konflik politik lebih sering dimaksudkan dalam makna perselisihan memperebutkan kekuasaan atau jabatan strategis pada suatu masyarakat politik. Namun demikian, tidak berarti bahwa perebutan kekuasaan merupakan sebab utama konflik politik. Karena sebagai subsistem dari sistem sosial, politik bertalian erat dengan aspek-aspek sosial lainnya. Sangat mungkin terjadi konflik politik dilatarbelakangi oleh masalah non politik, dan sebaliknya konflik non politik dapat disebabkan dan atau berbuntut kepada antagonisme politik. Jadi sebuah konflik sosial dapat dimulai dan atau diakhiri sebagai suatu konflik politik. Ada beberapa pendekatan yang mencoba memberi penjelasan tentang sebab-sebab konflik Politik. Kaum konservatif tradisional memandang konflik politik diakibatkan rakyat umum atau massa merebut hak-hak istimewa kaum elite yang sudah ditakdirkan sebagai para pemimpin bagi orang umum. Dalam tahap tertentu, kaum koservatif juga meyakini adanya ras atau suku tertentu dari manusia yang memiliki bakat alamiah sebagai manusia-manusia pilihan untuk jadi pemimpin bagi orang atau kelompok lain. Maka terjadinya konflik adalah perjuangan mempertahankan atau menegakkan kembali kedudukan yang menjadi hak kaum elite ini.[14] Kaum liberal menolak teori ini. Dalam keyakinan mereka, manusia itu sama dan sejajar. Maka tidak ada satu kelompok ataupun ras yang boleh mengklaim bahwa mereka adalah ras yang ditetapkan Tuhan sebagai pemimpin atas orang lain. Bagi kaum liberal, konflik politik merupakan bagian dari struggle for life yang sebab utamanya adalah perebutan benda-benda konsumsi yang tidak banyak tersedia. Kekuasaan memberi keuntungan untuk mempermudah memperoleh benda-benda konsumsi tadi. Jadi konflik politik tidak ada bedanya dengan persaingan ekonomi. Kekuasaan hanya tersedia bagi segelintir orang saja, sementara hampir semua orang berambisi untuk berkuasa.[15] Kaum Marxis mengemukakan pendekatan yang hampir sama dengan kaum liberal, bahwa konflik politik pada hakikatnya bersifat ekonomis. Hanya saja dalam pandangan mereka bukan benda-benda konsumsinya yang jadi objek perebutan dan persaingan, tetapi masalah sistem produksi yang mengakibatkan munculnya kelas-kelas sosial. Kelas pemilik alat produksi atau tuan tanah terus ingin mempertahankan posisi mereka dalam menindas kelas yang tak punya harta milik sebagai buruh dan pekerja mereka yang secara alami, kelas yang disebut belakang ini, akan berjuang mengubah nasib hidup mereka supaya bisa sejajar dengan kelas yang disebut pertama. Inilah sebab paling mendasar –menurut kaum Marxis– yang mengakibatkan terjadinya konflik politik.[16] Selain itu, pendekatan psikologis juga dipakai untuk mengurai sebab-sebab konflik politik. Dengan menggunakan teori psikoanalisa, umpamanya, dapat dijelaskan bahwa motivasi psikologis sangat besar pengaruhnya kepada pergolakan-pergolakan politik. Tidaklah benar jika keinginan memperoleh keuntungan material dari kekuasaan selalu menjadi motiv utama  dalam setiap konflik politik. Konflik-konflik batin di internal masyarakat, baik secara individual atau kolektif,  sangat besar potensinya menjadi kekuatan konflik yang melibatkan ras, kelas sosial, maupun sosiokultural.[17] Pembahasan di atas memberi kesimpulan bahwa konflik merupakan kenyataan sosial yang diterima secara teoritis maupun praktis. Bukan hanya teori-teori sosiologis yang telah merumuskan kemunculan konflik itu melainkan doktrin teologis agama, sebagaimana terbaca pada bagian yang telah lalu, juga mengajarkan tentang suatu konflik abadi antar manusia jahat dan manusia baik. Hanya saja fenomena konflik bukanlah untuk diterima apa adanya dan kemudian dibiarkan berjalan menurut kemauannya sendiri. Konflik, sejauh ia sebagai pertentangan persaingan yang mendorong dinamika kehidupan sosial secara sehat dan sportif tentu sangat bermanfaat. Tetapi manakala konflik telah melewati garis kewajaran dan menjadi pemicu benturan sosial yang melibatkan perangkat kekerasan senjata untuk saling memusnahkan, maka ia telah menjadi kendaraan penghancuran satu kelompok sosial oleh kelompok yang lainnya yang akan membawa kerugian jiwa dan materi yang harus dicegah semaksimal mungkin. Karena itu, upaya-upaya penyelesaian konflik yang sudah menjurus kepada pertikaian fisik dan kekerasan senjata menjadi kebutuhan masyarakat manusia. A.Bandura ,[18] mengemukakan lima cara penyelesaian konflik yang biasa ditempuh oleh masyarakat: Pertama, elimination. Yaitu suatu penyelesaian konflik dengan cara satu kelompok yang terlibat dalam pertikaian menarik diri dari konflik tersebut. Kedua, subjugation atau domination. Yaitu penyelesaian konflik dengan cara satu kelompok yang lebih kuat menekan dan memaksa kelompok lawan yang lebih rendah dan lemah agar tunduk dan patuh kepada kelompoknya. Cara seperti ini biasanya tidak berlangsung lama. Hanya bisa bertahan manakala kelompok yang satu tetap kuat dan terus mampu mengontrol pihak lawan yang dikalahkannya. Tetapi pihak yang ditundukkan seringkali dapat mengorganisir diri dan berjuang keras agar mampu mengimbangi kekuatan lawannya untuk kemudian melawan atau balik mengalahkannya jika mampu. Maka jikapun konflik kekerasan terhenti itu hanya bersifat semu dan sementara saja. Ketiga, majority rule. Yaitu  penyelesaian konflik dengan mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak. Cara ini bisa diambil jika konflik masih bersifat pertentangan pendapat atau pemikiran dan mereka sepakat untuk menyelesaikan perbedaan tersebut lewat pemungutan suara. Keempat, minority Consent. Yaitu penyelesaian konflik dengan memenangkan mayoritas tetapi tidak mengecewakan minoritas serta merasa tidak dikalahkan. Kelima, compromise. Upaya penyelesaian dengan cara mengambil jalan tengah antara dua kepentingan dari dua kelompok yang bertikai. Keenam, integration. Yaitu penyelesaian konflik dengan mencari keputusan yang disepakati bersama secara memuaskan melalui pendekatan dialog, diskusi, dan mempertimbangkan semua pendapat dan kepentingan dari kelompok-kelompok yang bertikai. Cara ini adalah cara yang paling dewasa dan memberi hasil yang paling baik meskipun pada kenyataan adalah cara yang   tidak mudah untuk ditempuh.     [1]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), hal. 857 [2]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal.1 [3]Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat , terjemah Indonesia oleh Sigit Jatmiko, et.al, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),  hal.80 [4]Lee Hee Men, Sejarah Peradaban Dunia ,  terjemah Indonesia oleh Ahmad Faridi, (Jakarta: CV Ananda, 2000), hal. 13-14) [5]Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terjemah Indonesia Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2002), hal. 16. [6]Ibid, hal.27 [7]Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, terjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati, (Bandung: Pustaka, 2001),  hal. 21 [8]Ibid [9]Robert Geoffrey, A Dictionary of political analysis, (London : Longman Grouf Limited, 1971) hal.169 [10]Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000),  hal. 857 [11]Syahrial Syarbaini, A.Rahman, dan Monang Djihado,  Sosiologi dan politik,  (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 15 [12]Ibid [13]Perhatikan kembali makna poltik dalam pendekatan kedua dari Geoffray, Dictionary…  hal. 169 [14] Duverger, Sosiologi….  hal. 157 [15] Ibid,  hal. 157 [16] Ibid,  hal. 158 [17]Ibid.,  hal.159 [18]Ibid, hal. 122
Reporter: Reporter Editor: admin