Oleh: Dr.Jeje Zaenudin
Seakan membenarkan ungkapan penyair bahwa dunia hanyalah panggung sandiwara. Banyak fakta dan peristiwa yang penuh ironi. Kematian tidak wajar, umpamanya, dipersepsi dan disikapi berbeda walaupun akibatnya sama sama hilangnya jiwa.
Lima jiwa yang mati akibat bom teroris tentu sangat mengerikan dan menakutkan selain akan jadi berita dunia tentunya. Pada saat bersamaan hampir lima ratus jiwa mati dan ratusan korban luka akibat kecelakaan lalulintas saat mudik lebaran disikapi dengan dingin dan acuh tak acuh saja.
Bagian terakhir ini yang justru mengusik nurani saya. Bagaimana tidak, jika setiap mudik lebaran rata rata empat sampai lima ratus jiwa mati korban keburukan sistem transportasi dan infrastruktur lalulintas nasional kita. Lebih mengerikan lagi jika mencermati besarnya jumlah korban lalulintas nasional pertahun yang rata rata di atas angka 30 ribu nyawa melayang. Tapi besarnya jumlah korban lalu lintas tidak pernah diopinikan sebagai kegagalan atau bahkan kejahatan negara terhadap rakyatnya.
Sampai saat ini kita masih menerima korban korban jiwa itu sebagai takdir yang wajar dan resiko perjalanan.
Tidak akan pernah ada yang mengatakan bahwa ribuan korban jiwa itu laksana"teror" dari buruknya sistem transportasi nasional pemerintah kita. Meskipun jumlah korbannya lebih besar dari korban teror ISIS di tanah air.
Lalu berapa besar anggaran yang disiapkan negara untuk perbaikan sarana dan infrastruktur transportasi rakyat demi keselamatan warga negaranya dibanding besarnya anggaran BNPT dan DENSUS88 untuk membasmi terorisme? padahal harga nyawa manusia sama saja mati karena teroris ataupun mati karena kecelakaan jalan raya yang jelek.
Sudahkah kita berlaku adil terhadap keselamatan jiwa manusia? Ataukah karena yang jadi korban keburukan sistem transportasi itu hanyalah rakyat jelata yang tidak patut dihargai.