Kristenisasi di Jawa Tengah: Dari Pelabuhan Batavia Hingga Lereng Merapi-Merbabu

oleh Reporter

22 Desember 2023 | 03:50

Gold, Glory, Gospel adalah tiga misi utama kolonialisme. Semangat mencari kekayaan dan kejayaan didasarkan pada spirit menyebarkan agama Kristen.

Sebelum kolonialisme, tidak ada agama Kristen di Indonesia. Awal mula kedatangan Kristen terjadi di Maluku, dibawa oleh orang Portugis yang mencari rempah-rempah. Mereka menyebarkan agama Katolik di sana.

Kemudian, Portugis masuk ke Jawa pada tahun 1585, melakukan kristenisasi di ujung timur pulau Jawa, yaitu Blambangan dan Panarukan. Mereka membaptis keluarga kerajaan Blambangan, merupakan momen pertama kali agama Kristen masuk ke tanah Jawa pada periode Kristenisasi awal (1585-1598).

Seiring kepergian Portugis dan kedatangan Belanda, pola Kristenisasi berubah. Bukan lagi agama Katolik yang disebarkan, tetapi Kristen Protestan. Bahkan di daerah Maluku, banyak warga Katolik yang dipindahkan ke aliran Protestan.

Belanda, khususnya VOC, mulai beroperasi di Jawa sejak tahun 1599. Selama dua abad penyebaran agama Kristen pada masa VOC di pulau Jawa tidak signifikan. Komunitas Kristen hanya ditemukan di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Kesulitan menembus pedesaan, terutama tanah Pasundan, disebabkan VOC tidak ingin bentrok dengan warga pribumi demi mencapai tujuan utama mereka, yaitu berdagang dan mencari kekayaan.

Semua berubah setelah kebangkrutan VOC. Setelah tahun 1799, Indonesia langsung dijajah oleh Kerajaan Belanda, dan misi menyebarkan agama Kristen menjadi serius dengan bangkitnya gerakan evangelis.

Pada tahun 1816, Raja William I mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah. Sejak itu, kristenisasi berkembang pesat di Indonesia, terutama di pulau Jawa.

Nyonya Oostrom Philips dan Le Jolle menjadi misionaris di Salatiga pada tahun 1859. Salatiga menjadi primadona kaum kulit putih dengan udaranya yang sejuk dan dekat dengan kota-kota pusat Jawa Tengah seperti Semarang, Solo, dan Jogja.

Warga kulit putih membuka perkebunan teh, coklat, tebu, dll di Salatiga. Karena banyaknya warga kulit putih, Salatiga berkembang menjadi daerah maju. Sarana publik, sekolahan, dan gereja dibangun dengan baik, awalnya untuk melayani warga kulit putih dan kemudian juga untuk warga pribumi.

Selama masa kolonialisme, Salatiga menjadi tempat liburan favorit para pejabat Belanda. Liburan, terutama pada Natal dan Tahun Baru, dirayakan dengan pawai natal di jalanan dan karnaval meriah yang menarik minat warga pribumi.

Keramaian natal menjadi daya tarik bagi warga pribumi Salatiga untuk mengenal agama Kristen lebih dekat, terutama pada zaman politik etis yang membuka sekolah secara luas untuk kaum pribumi.

Politik etis menekankan edukasi, emigrasi, dan irigasi, menjadi titik masuk utama Kristenisasi di Jawa Tengah, termasuk Salatiga. Sekolah-sekolah milik zending misionaris menjadi basis penkristenan kaum intelek pribumi, terutama di area Merapi-Merbabu.

Frans Van Lith, seorang misionaris di Muntilan Magelang, dikenal gigih dalam melakukan Kristenisasi melalui pendidikan. Ia membangun kompleks sekolah di Muntilan pada tahun 1900, melibatkan muslim yang kemudian konversi menjadi Katolik.

Sejarah Kristenisasi di Jawa Tengah, terutama di area Merapi-Merbabu, berlangsung unik mulai dari zaman kolonial hingga setelah kekalahan pemberontakan G30S/PKI yang menyebabkan konversi agama besar-besaran. (*)

 

Penulis: Widi Astuti (PW Persistri Jateng)

 

Reporter: Reporter Editor: admin