Kritik Nalar Hadis Khilafah Akhir Zaman (Kritik Atas Kritik-Tamat)

oleh Reporter

14 Maret 2018 | 15:02

Kritik atas hadis khilafah akhir zaman dengan sebab kelemahan Habib bin Salim dan Abu Dawud Ath-Thayalisi telah selesai dikritik balik (cek dua artikel sebelumnya di sini http://persis.or.id/kritik-nalar-hadis-khilafah-akhir-zaman-kritik-atas-kritik/  dan di sini http://persis.or.id/kritik-nalar-hadis-khilafah-akhir-zaman-kritik-atas-kritik-2/). Kini tinggal tersisa satu persoalan lagi berkenaan dengan perbandingan matan. Menurut pengkritik, pada matan riwayat Ahmad terdapat teks hadis yang tidak diriwayatkan oleh periwayat lain, yaitu: ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ “Kemudian akan ada khilafah yang menempuh jejak kenabian.” Selanjutnya, pengkritik mengajukan beberapa jalur riwayat lain sebagai pembanding, sebagai berikut:
  1. Riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah dari Hudzaifah
Menurut pengkritik, pada riwayat ini urutan masanya adalah: Masa Kenabian >> Masa Kekhilafahan >> Masa Kelam kerajaan yang suka minum-minuman Khamr dan lain-lain. Pada riwayat ini tidak didapatkan keterangan: “masa terakhir yakni kembalinya kekhalifahan atas manhaj kenabian.” Padahal sebenarnya riwayat itu menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa yang keadaannya begini dan begitu, lalu (IV) Masa Mulkan Azhan, mereka minum khamr dan memakai pakaian sutra, dengan redaksi sebagai berikut إِنَّكُمْ فِي نُبُوَّةٍ وَرَحْمَةٍ وَسَتَكُونُ خِلافَةٌ وَرَحْمَةٌ ثُمَّ يَكُونُ كَذَا وَكَذَا ثُمَّ يَكُونُ مُلْكًا عَضُوضًا يَشْرَبُونَ الْخُمُورَ وَيَلْبَسُونَ الْحَرِيرَ وَفِي ذَلِكَ يُنْصَرُونَ إِلَى أَنْ تَقُومَ السَّاعَةُ “Kalian berada pada (masa) kenabian dan rahmat, dan tidak lama lagi aka nada (masa) khilafah dan rahmat. Kemudian akan ada (masa) begini dan begitu, kemudian akan ada (masa) Mulkan Azhan, mereka minum khamr dan memakai pakaian sutra, dan pada demikian itu mereka akan ditolong sampai terjadi kiamat.” HR. Ath-Thabrani. [1] Riwayat Abu Nu’aim (bukan Abu Na’im) dari Hudzaifah Menurut pengkritik, pada riwayat ini urutan masanya sama dengan riwayat di atas, yaitu: Masa kenabian >> Masa kekhalifahan >> Masa Kezhaliman dan Kezhaliman. Pada riwayat ini pun tidak didapatkan keterangan: “masa terakhir yakni kembalinya kekhalifahan atas manhaj kenabian.” Riwayat Nu’aim bin Hammad (bukan Na’im bin Hamad) dari Abu Ubaidah Menurut pengkritik, pada riwayat ini urutan masanya sama dengan riwayat di atas, yaitu: Masa kenabian >> Masa kekhalifahan >> Masa Kezhaliman yang keji memenggal leher dan memotong tangan. Pada riwayat ini pun tidak didapatkan keterangan: “masa terakhir yakni kembalinya kekhalifahan atas manhaj kenabian.” Padahal sebenarnya riwayat itu menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa Mulkan Azhan, lalu (IV) Masa Jabarut Shal’aa’, dengan redaksi sebagai berikut: أَوَّلُ هَذِهِ الأُمَّةِ نُبُوَّةٌ وَرَحْمَةٌ ثُمَّ خِلافَةٌ وَرَحْمَةٌ ثُمَّ مُلْكًا عَضُوضًا وَقَالَ أَحَدُهُمَا: عَاضٌّ وَفِيهِ رَحْمَةٌ ثُمَّ جَبَرُوتٌ صَلْعَاءُ لَيْسَ لأَحَدٍ فِيهَا مُتَعَلَّقٌ تُضْرَبُ فِيهَا الرِّقَابُ وَتُقْطَعُ فِيهَا الأَيْدِي وَالأَرْجُلُ وَتُؤْخَذُ فِيهَا الأَمْوَالُ “Masa pertama umat ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian (masa) khilafah dan rahmat. Kemudian (masa) Mulkan Azhan, dan padanya terdapat rahmat, kemudian (masa) Jabarut Shal’aa’, seseorang yang tidak punya hubungan pada kekuasaan itu akan dipenggal leher, dipotong tangan dan kaki serta dirampas harta pada masa itu.” HR. Nu’aim bin Hammad. [2] Riwayat Al-Bazzar dari Abu Ubaidah Menurut pengkritik, pada riwayat ini urutan masanya sama dengan riwayat di atas, yaitu: Masa kenabian >> Masa kekhalifahan >> Masa Kezhaliman yang keji yang suka mengalirkan darah. Pada riwayat ini pun tidak didapatkan keterangan: “masa terakhir yakni kembalinya kekhalifahan atas manhaj kenabian.” Padahal sebenarnya riwayat itu menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa Mulkan Azhan dan (IV) Masa Jabriyyah, dengan redaksi sebagai berikut: إِنَّ أَوَّلَ دِينِكُمْ بَدَأُ نُبُوَّةٍ وَرَحْمَةٍ ، ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ وَرَحْمَةٌ ، ثُمَّ يَكُونُ مُلْكًا وَجَبْرِيَّةً ، يُسْتَحَلُّ فِيهَا الدَّمُ. “Sesungguhnya masa pertama agama kalian adalah permulaan kenabian dan rahmat, kemudian (masa) khilafah dan rahmat. Kemudian (masa) Mulkan dan Jabriyyah, padanya dianggap halal pembunuhan.” HR. Al-Bazzar. [3]   Riwayat Muslim dari ‘Utbah bin Ghazwan Menurut pengkritik, “pada riwayat ini disebutkan bahwa setelah kenabian  dan kekhalifahan para sahabat yang muncul adalah kerajaan dan kenegaraan duniawi.” Padahal sebenarnya riwayat itu tidak sedang menjelaskan urutan, sehingga tidak layak dijadikan sebagai pembanding riwayat Ahmad.   Riwayat Abu Dawud (dan Ibnu Hiban) dari Safinah Pengkritik menulis redaksinya sebagai berikut: الخلافة النبوة ثلاثون سنة ثم يؤتي الله الملك أو ملكه من يشاء Padahal seharusnya sebagai berikut: خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ “Khilafah kenabian 30 tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan atau kerajaan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [4] Sementara dalam riwayat Ibnu Hiban dengan redaksi berikut: الْخِلاَفَةُ ثَلاَثُونَ سَنَةً وَسَائِرُهُمْ مُلُوكٌ وَالْخُلَفَاءُ وَالْمُلُوكُ اثْنَا عَشَرَ “Khilafah kenabian 30 tahun dan semua mereka adalah raja. Khalifah dan raja itu 12 orang.” [5] Menurut pengkritik, “pada riwayat ini jelas bahwa Kekhilafahan pada umat Islam itu hanya 30 tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.” Padahal pada riwayat itu, Nabi saw. tidak menyebutkan “batasan hanya 30 tahun.” Dilihat dari segi matan, berbagai riwayat di atas—yang diklaim oleh pengkritik sebagai pembanding untuk menunjukkan kedhaifan riwayat Ahmad—menunjukkan urutan masa dan istilahnya yang berbeda-beda, untuk tidak menyebut saling bertentangan, yaitu:   Riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Abu Syaibah dari Hudzaifah, menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa yang keadaannya begini dan begitu, lalu (IV) Masa Mulkan Azhan, mereka minum khamr dan memakai pakaian sutra. Riwayat Abu Nu’aim  dari Hudzaifah, menunjukkan urutan: (I)  Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa Kezhaliman dan Kezhaliman. Riwayat Nu’aim bin Hammad dari Abu Ubaidah, menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa Mulkan Azhan, lalu (IV) Masa Jabarut Shal’aa’. Riwayat Al-Bazzar dari Abu Ubaidah, menunjukkan urutan: (I) Masa Kenabian, lalu (II) Masa Khilafah, lalu (III) Masa Mulkan Azhan dan (IV) Masa Jabriyyah. Jika perbedaan ini diposisikan sebagai indikasi mukhaalafah (pertentangan) yang tidak dapat dikonvergensi (al-Jam’u) niscaya kita harus memilih yang lebih unggul (Raajih) di antara keempat riwayat itu. Manakala tidak dapat di-Tarjih (pengunggulan yang lebih kuat) berarti riwayat-riwayat itu tengah mengalami kegoncangan (idhtirab). Jika demikian halnya, mana mungkin berbagai riwayat ini laik dipakai sebagai pembanding dalam rangka mendhaifkan riwayat Ahmad. Pasalnya, jangankan menjadi pembanding kedhaifan riwayat Ahmad, “dirinya saja” tengah mengalami idhtirab. Belum lagi jika digunakan pendekatan at-Tarjih berbagai riwayat itu dengan riwayat Ahmad dari segi sanad, tentu riwayat Ahmad lebih unggul karena para rawinya Tsiqah, apalagi Abu Dawud Ath-Thayalisi dinilai Tsiqah Haafizh. Sementara riwayat Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, misalnya, tidak semua rawinya Tsiqah, namun ada yang Shaduq, Shalih (rawi Zaid bin Al-Hubbab). Begitu pula dengan riwayat Abu Nu’aim, karena terdapat Abdurrazaq bin Hammam yang Tsiqah namun mukhtalith, yaitu berubah kapasitas intelektualnya di akhir hayat. Sementara hadis ini dapat dipastikan diriwayatkan oleh Ishaq bin Ibrahim Ad-Dabariy dari Abdurrazaq setelah ia mukhtalith.[6] Meski begitu, sejatinya terdapat celah untuk “mensandingkan” berbagai riwayat itu dengan riwayat Ahmad, sebelum kita “mentandingkannya”. Jika dapat disandingkan mengapa harus ditandingkan??? Adapun langkah “mensandingkan” merujuk kepada kaidah sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Shalah berikut ini: قدْ رأيتُ تقسيمَ ما ينفردُ بهِ الثقةُ إلى ثلاثةِ أقسامٍ :أحدُها : ما يقعُ مخالفاً منافياً لما رواهُ سائرُ الثقاتِ ، فهذا حكمهُ الردُّ ، كما سبقَ في نوعِ الشاذِّ. الثاني : أنْ لا يكونَ فيهِ منافاةٌ ومخالفةٌ أصلاً لما رواهُ غيرُهُ ، كالحديثِ الذي تفرّدَ بروايةِ جملتِهِ ثقةٌ ، ولاَ تعرض فيهِ لما رواهُ الغيرُ بمخالفةِ أصلٍ. فهذا مقبول،وقدِ ادَّعى الخطيبُ فيهِ اتفاقَ العلماءِ عليهِ،وسبقَ مثالهُ في نوعِ الشاذِّ. الثالثُ : ما يقعُ بينَ هاتينِ المرتبتينِ ، مثلُ زيادةِ لفظةٍ في حديثٍ لَمْ يذكرْهَا سائرُ مَنْ روى ذلكَ الحديث “Sungguh saya melihat apa yang diriwayatkan rawi tsiqah sendirian terbagi kepada tiga bagian: Pertama, terjadi pertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh seluruh rawi tsiqat, maka ini hukumnya tertolak, sebagaimana telah diterangkan terdahulu pada jenis Syadz. Kedua, padanya tidak terdapat pertentangan sama sekali dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang lain, seperti rawi tsiqah menyendiri dengan periwayatan suatu perkataan dalam hadis dan tidak terlihat padanya pertentangan sama sekali dengan periwayatan orang lain, maka ini diterima dan sungguh Al-Khatib telah mengklaim adanya kesepakatan para ulama tentang itu, serta contohnya telah dikemukakan terdahulu pada jenis Syadz. Ketiga, apa yang terletak di antara dua martabat ini, seperti menambah  suatu lafal pada suatu hadis yang tidak disebutkan oleh semua orang yang meriwayatkan hadis itu.”[7] Berdasarkan kaidah Ibnu Shalah di atas, hemat kami perbedaan berbagai riwayat tentang periodesasi kepemimpinan umat Islam hingga munculnya khilafah akhir zaman lebih tepat diposisikan pada kedudukan riwayah bil ma’naa, dan keterangan yang tercantum secara khusus pada riwayat Imam Ahmad merupakan Ziyadah Tsiqah (tambahan keterangan dari rawi tsiqah), bukan pertentangan (mukhaalafah). Mengakhiri tulisan ini, mari kita cermati kembali riwayat Ahmad dimaksud: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ (Kata Imam Ahmad) Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi telah menceritakan kepada kami. Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi telah menceritakan kepadaku. Habib bin Salim telah menceritakan kepadaku, dari An-Nu'man bin Basyir, ia berkata, كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ "Kami pernah duduk-duduk di dalam Masjid bersama Rasulullah saw. dan Basyir menahan pembicarannya. Kemudian datanglah Abu Tsa'labah Al-Khusyani, lalu berkata, ‘Wahai Basyir bin Sa'd, apakah kamu hafal hadis Rasulullah saw. tentang Umara (para pemimpin)?’ Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Aku hafal Khutbah beliau.’ Maka Abu Tsa'labah pun duduk, kemudian Hudzaifah berkata, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ "Rasulullah saw. Bersabda, 'Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.  Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistem kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.   Kemudian berlangsung Mulkan Azhan (kerajaan yang lalim dan sewenang-wenang) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.  Kemudian berlangsung Mulkan Jabriyyah[8] (kerajaan yang menindas/diktator) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya  Kemudian akan berlangsung kembali kekhalifahan menurut sistem kenabian.  Kemudian beliau berhenti’.” قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ Habib berkata, “Ketika Umar bin Abdul ‘Aziz menjadi khalifah di mana Yazid bin an-Nu’man bin Basyir mendampinginya, aku menulis hadis ini untuknya dan aku mengisahkan hadis ini kepadanya dan aku katakan, ‘Aku berharap Amirul Mukminin setelah Mulk Azh dan Jabriyyah, maksudnya Umar bin Abdul Aziz. Lalu suratku itu diberikan kepada Umar bin Abdul Aziz, maka dia senang dan mengaguminya.” HR. Ahmad. [9] Khilafah akhir zaman akan tegak di Baitul Maqdis, Palestina, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. Kepada Ibnu Hawalah: يَا ابْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلَافَةَ قَدْ نَزَلَتِ الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ فَقَدْ دَنَتِ الزَّلَازِلُ وَالْبَلَايَا وَالْأُمُورُ الْعِظَامُ وَالسَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنَ النَّاسِ مِنْ يَدِي هَذِهِ مِنْ رَأسِكَ “Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau melihat kekhilafahan telah turun di bumi Al-Maqdis (Baitul Maqdis, Palestina), maka itu pertanda telah dekatnya berbagai goncangan, cobaan, dan peristiwa-peristiwa besar. Pada saat itu, kiamat lebih dekat kepada manusia daripada dekatnya telapak tanganku kepada kepalamu ini.” HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim.[10]     Bandung, 14 Maret 2018   *** Penulis, Para Santri Pesantren Ibnu Hajar kelas Ulum al-Hadits Editor: Amin Muchtar, Anggota Dewan Hisbah Persis     [1]Lihat, Al-Mu’jam Al-Awsath, VI:345, No. 6581 [2]Lihat, Kitab Al-Fitan, I:98, No. 233 [3]Lihat, Musnad Al-Bazzar, IV:108, No. 1282 [4]Lihat, Sunan Abu Dawud, IV:211, No. 4646 [5]Lihat, Shahih Ibnu Hiban, XV:24, No. 6657 [6]Sejumlah orang yang mendengar hadis dari Abdurrazaq setelah ia mukhtalith, antara lain Ishaq bin Ibrahim Ad-Dabariy, Ahmad bin Muhammad Syibawaih, Muhammad bin Ahmad Ath-Thahrani dan Ibrahim bin Manshur Ar-Ramadiy, Ibrahim bin Muhammad bin Barrah Ash-Shan’aniy, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Suwaid, Al-Hasan bin Abdul A’la ash-Shan’ani. Lihat, Kitab al-Mukhtalithin, hlm. 75, Tadrib ar-Rawi, II:377, Al-Kawakib an-Nirat, hal. 274-281. [7]Lihat, Syarh At-Tabshirah wa at-Tadzkirah, karya Imam Al-Iraqi, hal. 150-151. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Ibnu Shalah tidak menghukumi status apapun pada rawi bagian ketiga ini, dan yang berlaku berdasarkan kaidah para ahli hadis bahwa mereka tidak dihukumi dengan status tersendiri, baik diterima maupun ditolak, namun mereka mentarjih dengan berbagai indikasi pendukung (qarinah).” Lihat, An-Nukat, II:687 [8]Mulkan Azhan, yaitu menindak rakyat dengan sewenang-wenang dan lalim, seakan-akan mereka digigit dengan kuat pada masa itu. Jabriyyah maknanya sangat lalim (Zhulm Syadiid). Lihat, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, III:494 dan Al-Jaami’ Ash-Shahih li al-Sunan wa Al-Masaanid, hal. 851. [9]Lihat, Musnad Ahmad, IV:273, No. 18.430. Kata Imam Al-Haitsami, “Hadis itu diriwayatkan oleh Ahmad dalam Biografi An-Nu’man, dan Al-Bazzar lebih lengkap darinya, serta Ath-Thabarani dengan sebagiannya pada kitabnya Al-Mu’jam Al-Awsath, dan para rawinya tsiqat.” Lihat, Majma’ Az-Zawa’id, V:189 [10]Lihat, Musnad Ahmad, V:288, No. 22.540, As-Sunan Al-Kubra, IX:169, No. 18.333, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, IV:471, No. 8309
Reporter: Reporter Editor: admin