Atip Latipulhayat, Ph.D(Dosen Fakultas Hukum UNPAD Bandung)
Di negeri ini, akibat arus global yang kuat, sedikit demi sedikit pengaruh budaya dan pemikiran Barat juga semakin kuat. Salah satunya adalah seks bebas, baik yang dilakan oleh pasangan lain jenis (zina) maupun yang dilakukan sejenis (homoseks). Secara tekstual, UU Pidana (KUHP) yang kita miliki tidak melakukan pelarangan atas tindakan-tindakan di atas. Oleh sebab demikian, tidak mengherankan apabila pengaruh ini juga menyebar di negeri ini tanpa “perlawanan” secara formal dari negara. Seolah-olah negara membiarkannya. Hanya agama dan norma-norma yang masih hidup dalam tradisi masyarakat yang mencegah terus berkembangnya perbuatan bejat di atas.
Di pihak lain, ada juga pendukung “seks bebas” ini di kalangan masyarakat sendiri. Mereka tentu adalah kelompok yang sudah sepenuhnya terbaratkan (westernized). Bagi mereka UU Pidana (KUHP) yang ada saat ini justru dianggap sesuai dengan norma universal hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, usaha untuk mengubahnya dengan membuat norma baru bahwa “perzinaan” dan “homeksual” dianggap sebagai tindak pidana dianggap bertentangan dengan HAM. Sekalipun agama yang dilindungi oleh konstitusi di suatu negara, seperti di Indonesia, mendukung pidana bagi pezina dan pelaku homoseksual, hal itu tetap dianggap bertentangan dengan HAM yang bersifat universal. Tulisan ini pertama-tama ingin menggali secara singkat apakah ada HAM yang sifatnya “universal” di dunia ini; lalu apakah pemidanaan zina dan homoseksual bertentangan dengan HAM?
Hakikat Hak Asasi Manusia (HAM)
HAM adalah hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia terlahir dengan hak-hak dasar yang melekat kepadanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks ini, maka HAM sebenarnya adalah sesuatu yang bersifat “given” (diberikan sejak lahir kepada manusia). HAM adalah manusia itu sendiri. HAM tidak pernah terpisahkan dari manusia, kecuali dengan perbuatan manusia yang telah kehilangan jati diri kemanusiaannya.
Lahirnya HAM modern yang antara lain ditandai dengan terbentuknya instrumen-instrumen hukum internasional mengenai HAM, khususnya pasca Perang Dunia ke-2, utamanya disebabkan karena imperialisme dan kolonialisme yang substansinya tidak lain adalah “dehumanisasi”. Imperialisme dan kolonialisme telah mengubur HAM. Dalam konteks ini, HAM harus dipahami sebagai proses dan upaya untuk “memanusiakan manusia” (humanization of human being). HAM (modern) adalah menemukan kembali “manuia dan kemanusiannya”. Dengan demikian, HAM itu ada dan tertanam di setiap kehidupan manusia dari berbagai bangsa.
HAM adalah universal dalam tataran nilai atau prinsip. Namun, ketika nilai atau prinsip tersebut diformulasikan ke dalam norma-norma kongkrit, HAM tidak lain adalah kumpulan dari nilai-nilai partikular. Universalisme HAM tidak lain adalah “common platform” (kesepakatan bersama) yang berbahan baku nilai-nilai partikular yang hidup di setiap bangsa. Dalam pengertian ini, universalisme HAM tidak berfungsi dan menempatkan dirinya sebagai hakim pemutus bagi nilai-nilai partikular, melainkan menempatkannya sebagai penguat “common platform” tersebut.
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dianggap sebagai instrumen hukum yang meneguhkan universalisme HAM sebetulnya menguatkan pandangan bahwa universalisme HAM itu lebih pada tataran nilai dan prinsip. Mengapa demikian? Universalisme HAM yang dikandungnya merupakan sebuah pengakuan akan nilai dan prinsip HAM. UDHR dimaksudkan sebagai “standard-setting and implementation” (pembentukan dan implementasi standar) yang dapat dijadikan model dalam pembentukan konstitusi atau perundang-undangan nasional lainnya di setiap negara, bukan sebagai aturan pemutus yang harus secara hitam putih diikuti oleh setiap negara.
Pengemasannya dalam bentuk Deklarasi lewat instrumen Resolusi Majelis Umum PBB menunjukkan pemahaman dan pengakuan secara implisit terhadap eksistensi nilai-nilai partikular yang tidak dimasukkan dalam UDHR. Para penyusun Deklarasi sadar betul bahwa perumusannya secara prosedural kurang demokratis (deficit democracy) karena hanya melibatkan sejumlah kecil negara. Faktanya sejumlah negara menyatakan keberatan atas Pasal-Pasal tertentu misalnya Saudi Arabia berkeberatan terhadap Pasal 18 mengenai Kebebasan Beragama. Oleh karenanya, instrumen Deklarasi dianggap sebagai pilihan moderat. Lewat mekanisme ini, universalisasi HAM bukan sesuatu yang bersifat “top down”, melainkan mekanisme sinergis dengan nilai-nilai partikular.
Perbedaan pandangan antara konsep universalisme dan partikularisme HAM ini sebenarnya sudah berakhir sejak ditandatanganinya Deklarasi Wina 1993, yang menyatakan bahwa terdapat pengakuan terhadap adanya standar minimum regional. Deklarasi tersebut menyatakan pula bahwa penerapan nilai universalisme HAM harus memperhitungkan juga kondisi khusus setiap negara yang memiliki keberagaman budaya, agama, sosial, ekonomi dan politik.
Menteri Luar Negeri Singapura saat itu (Shunmugam Jayakumar) mengingatkan bahwa pengakuan terhadap HAM universal itu berbahaya apabila kaum universalis menggunakan pengakuan tersebut untuk meniadakan realitas keberagaman HAM yang ada di berbagai kawasan. HAM itu adalah universal-partikular bukan absolut. HAM justru harus menjadi penengah yang hadir diantara keberagaman atau perbedaan tersebut.
Praktik HAM di Eropa yang sering dianggap sebagai kiblat perlindungan HAM khususnya yang mengklaim “universal absolut” justru memperlihatkan perkembangan yang sebaliknya yang lebih memahami dan menyadari arti penting nilai-nilai partikular dalam HAM. Prof. Willem van Genugten Guru Besar Hukum Internasional Tilburg University yang juga Presiden International Law Association(ILA) Eropa dalam suatu diskusi dengan saya di Clingendael Institute (Belanda) pada bulan Agustus 2015 mengatakan bahwa saat ini tidak mungkin dapat menerapkan prinsip-prinisp HAM secara “top down” dengan dalih universalisme HAM, tapi harus “bottom up” dengan mempertimbangkan nilai-nilai partikular di masing-masing negara. Pernyataan Prof. Genugten dalam banyak hal terkonfirmasi dengan melihat praktik Eropa di bawah ini.
Mahkamah HAM Eropa selain mengacu pada pembatasan HAM yang terdapat dalam ECHR (European Court of Human Rights) juga menggunakan doktrin Margin of Appreciation dalam menganalisis dan memutuskan kasus. Doktrin ini merupakan ‘ruang’ bagi Mahkamah Eropa untuk mempertimbangkan kepentingan nasional suatu negara dalam memenuhi kewajiban konvensi. Nowak dalam bukunya Introduction to International Human Rights Regime menyatakan bahwa doktrin ini adalah suatu pembatasan HAM. Latar Belakang lahirnya doktrin “margin of appreciation” dipaparkan oleh Schutter sebagai berikut: The background of the doctrine is the difficulty of the states parties in imposing the rule of law set out in the ECHR because the diverse social, economy, politics and culture. It was recognized by the Europeans themselves that they are heterogeneous, in reverse the non-Europeans often think that European was homogeneous. Margin of appreciation will allow to be applied where there is an absence of a uniform European conception of the implications of the convention.
Pelarangan Zina dan Homoseksual di Indonesia
Apabila sudah dapat kita pahami bahwa UDHR atau DUHAM (Dekalarasi Universal HAM) bukan sesuatu yang mengikat secara universal tanpa batas seluruh negara, melainkan hanya merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai dasar yang dimiliki manusia sejak lahir yang mencerminkan “kemanusiaannya” secara hakiki. Dalam hal ini, nilai-nilai partikular yang dianut setiap negara sangat mungkin merumuskan apa yang disebut “manusiawi” atau sesuai dengan karakter kemanusiaan secara berbeda-beda.
Dalam kasus perzinaan dan homoseksual terlihat cara pandang di berbagai negara yang sangat beragama. Di beberapa negara yang berpandangan liberal, berzina dan berhubungan sesama jenis tidak dianggap sebagai merusak “kemanusiaan” dan bahkan dianggap sebagai “hak dasar manusia” sejak lahir, yaitu hak untuk menentukan kecenderungan seksualnya. Akan tetapi, pandangan itu sama sekali tidak universal. Sebab, sebagian besar masyarakat dunia banyak yang justru berpandangan sebaliknya, yaitu menganggap tindakan tersebut melanggar hak-hak dasar kemanuasiaan yang hakiki. Misalnya, perzinaan dianggap melanggar hak manusia untuk membentuk keluarga; sementara homoseksual melanggar hak dasar manusia untuk melanjutkan keturunan. Dalam hal ini jelas zina dan homoseksual justru malah dianggap bertentangan dengan HAM yang sejati.
Cara pandang yang berbeda mengenai nilai kemanusiaan dalam kasus di atas akhirnya melahirkan kebijakan yang berbeda-beda di berbagai negara. Di negara-negara Eropa saja, aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah kasus the Schalkand Kopf v. Austria. Schalk and Kopf adalah pasangan sesama jenis di Austria yang menuntut perkawinannya diakui secara hukum di negara Austria. Mereka berpendapat bahwa pemerintah Austria gagal dalam memberikan pengakuan perkawinan sejenis dan telah melanggar Pasal 12 Konvensi HAM Eropa (European Convention on Human Rights) yang berbunyi ““Men and women of marriageable age have the right to marry and to found a family, according to the national laws governing the exercise of this right.”
Mahkamah dalam putusannya menolak tuntutan dari Schalk and Kopf dengan menerapkan wide margin of appreciation. Pertimbangan Mahkamah adalah bahwa Austria dan masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai Kristiani, dan dalam Kristiani perkawinan sejenis dilarang. Berbeda dengan kasus-kasus perkawinan sejenis yang diajukan oleh warga negara Belanda pada saat Belanda belum memberikan legalitas perkawinan sejenis.
Praktik di Eropa memperlihatkan bahwa universalisme HAM itu hanya ada pada tataran nilai, sedangkan pada tataran praktik, HAM justru sangat memperhatikan nilai-nilai partikular. Nilai-nilai partikular bukan nilai sub-ordinate, melainkan bagian tidak terpisahkan dari HAM itu sendiri. Bercermin dari praktik Eropa di atas memberikan pesan kuat bahwa pemaksaaan klaim universalisme HAM yang men-subordinat-kan nilai-nilai partikular justru sangat potensial untuk melahirkan pelanggaran HAM baru atas nama universalisme HAM. Hal ini menjadi lebih serius lagi apabila nilai-nilai partikular itu bersumber dari ajaran agama. Oleh sebab itu, apabila di Indonesia ini perzinaan dan homoseksual dilarang oleh undang-undang resmi negara, sama sekali bukan suatu tindakan yang melanggar HAM. Sebaliknya, pelarangan atas hal tersebut justru mencerminkan pemahaman yang jernih dan asli masyarakat Indonesia tentang apa yang dianggap “manusiawi” dan apa yang tidak. Usaha-usaha dari sebagian masyarakat yang mendesak negara untuk membuat aturan mengenai ha tersebut juga bukan merupakan pelanggaran atas HAM sama sekali. Wallahu A’lam.