Mari Menjaga Indonesia, Mewujudkan Keadilan

oleh Reporter

30 Januari 2017 | 07:31

Kondisi ke-Indonesiaan akhir-akhir ini nampak mengkhawatirkan. Tanda-tanda konflik horizontal mulai terlihat nyata. Bukan lagi hanya sekedar gunjang-ganjing, namun sudah mulai terasa. Semua tentu sadar dan sangat faham, berbagai gejolak sosial terjadi pada umumnya diakibatkan oleh tidak terpenuhinya rasa keadilan. Selama keadilan tidak ditegakkan, selama itu pula potensi konflik horizontal ada, bahkan bisa semakin membesar yang pada akhirnya tidak lagi bisa dibendung. Karenanya, keadilan suka atau tidak, mau tidak mau harus ditegakkan demi terhindarnya konflik horizontal. Ini sangatlah penting dan harus menjadi kesadaran bersama. Para founding father bangsa ini menjadikan keadilan sebagai pondasi penting dalam bernegara. Kata adil ada dalam falsafah negara kita, bahkan tercantum dalam dua sila dari pancasila. Dalam falsafah negara kita, adil dijadikan sebagai pondasi penting dalam mewujudkan humanisme. Artinya, memanusiakan manusia dengan prinsip adil, keseimbangan dan penuh adab. Bangsa ini dibangun agar menjungjung tinggi kemanusiaan. Karenanya, negara mesti memanusiakan rakyatnya dengan penuh keadilan. Itulah kemanusiaan yang adil dan beradab. Menempatkan atau memperlakukan rakyat dengan tidak adil, adalah bentuk pengkhiantan terhadap negara, pengkhiantan terhadap para founding father bangsa ini. Adil dalam mewujudkan humanisme semakin dikokohkan dengan tuntutan agar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada yang kaya semakin kaya sembari menindas yang lemah. Negara harus bisa mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara benar-benar harus hadir ketika rakyatnya berada pada keterpurukan sosial, ketertinggalan sosial, apalagi bila kondisi ketidakadilan tersebut terjadi disaat banyak warga negara asing yang diberikan akses lebih dalam mendapatkan kesejahtraan sosial. Selama keadilan tidak bisa dilaksanakan atau diwujudkan pemerintah, maka potensi konflik horizontal akan terus ada dan bisa meledak kapan saja. Realitasnya memang saat ini pemerintah seakan tidak bisa menegakkan dua pondasi falsafah negara kita. Terutama bagi mayoritas umat Islam. Kemanusiaan yang adil menjauh apabila dihadapkan kepada umat Islam. Seorang muslim langsung diproses hukum secara cepat. Tidak ketinggalan publikasi masif di berbagai media. Namun, ketika itu terjadi pada tokoh non muslim, proses hukumnya lambat, bahkan terlihat secara kasat mata untuk melindungi tokoh tersebut dari penegakkan hukum. Contohnya sangat banyak. Habib Rizieq Shihab begitu cepat diproses hukum ketika ada laporan terhadap dirinya. Kesalahannya pun terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Dugaan penodaan terhadap pancasila dari ceramahnya dihubungkan dengan hasil tesis ilmiahnya. Lain Habib Rizieq lain Basuki Tjahya Purnama (BTP) alias Ahok. Polisi memerlukan waktu yang lama untuk memprosesnya dan menetapkannya sebagai tersangka. Jalannya terjal bahkan memerlukan jutaan masa umat Islam untuk menetapkannya sebagai tersangka. Untuk menyelematkan seorang HRS, butuh pengerahan puluhan ribu masa dari umat Islam. sementara Ahok sebaliknya, butuh jutaan energi umat Islam untuk menetapkannya sebagai tersangka. Hebatnya lagi, Ahok yang sudah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama, masih bisa bebas berkeliaran, tidak ditahan. Padahal beberapa kasus yang sama pelaku penistaan agama langsung ditahan. Tidak hanya itu, Ahok begitu mendapatkan perlakuan istimewa dengan dugaan korupsinya dalam kasus rumah sakit Sumber Waras, Cengkareng dan Reklamasi. KPK yang biasanya menggunakan data BPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, Ahok dikecualikan. Ahok bebas bahkan alasan yang dikemukakan KPK diluar nalar. KPK mentok dan terdesak lalu menyebut Ahok tidak punya niat jahat melakukan korupsi meskipun secara terang benderang menyebutkan kerugian negara ratusan miliar. BPK menyebut kasus RS. Sumber Waras merugikan negara Rp. 191.3 miliar. Tidak hanya itu, total dana pembelian RS. Sumber Waras senilai Rp. 755 miliar, pihak Yayasan Sumber Waras sebagaimana dikatakan Kartini Moeljadi, hanya menerima Rp. 355 miliar. Sementara sisanya Rp. 400 miliar tidak diketahui kemana. KPK seolah tidak bertaji menghadapi Ahok dan hanya mengatakan tidak ada niat jahat. Berbeda dengan Ahok, Patrialis Akbar, Hakim MK yang getol menyuarakan pembelaan terhadap Aksi Bela Islam dan uji materi KHUP pernikahan, ditangkap dan langsung dijadikan tersangka Operasi Tangkap Tangan KPK, padahal sejumlah uang yang dituduhkan tidak ada di yang bersangkutan. Apakah mungkin KPK telah yakin kalau PA sudah punya niat jahat? Sehingga KPK langsung menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka? Hebatnya, penangkapan Patrialis Akbar dibumbui dengan berbagai drama-drama spectacular dan bombastic media mainstream di tiga tempat yang berbeda. Sehingga terkesan simpang siur dan kejanggalannya. Menurut Jawa Post, PA Ditangkap di Hotel daerah taman sari, jakarta barat (http://www.jawapos.com/read/2017/01/26/105069/patrialis-akbar-ditangkap-di-hotel-bersama-perempuan). Sementara Tempo memberitakan PA ditangkap di rumah kos mewah di jakarta barat (ttps://m.tempo.co/read/news/2017/01/26/063840082/hakim-patrialis-akbar-disebut-ditangkap-di-kos-mewah-ini). Sedangkan detik news menyebut PA ditangkap di mall grand Indonesia, Jakarta Pusat (https://news.detik.com/berita/d-3406614/kpk-patrialis-akbar-ditangkap-di-grand-indonesia-bersama-wanita). Bagaimana mungkin seorang PA ditangkap ditempat yang berbeda dalam waktu bersamaan, apalagi operasi tangkap tangan. Tidak hanya itu, ketidakadilan pemberitaan terhadap tokoh muslim juga sangat nyata tidak hanya menyerang profesinya, melainkan langsung pada kepribadiannya. PA diasosiakan sebagai pelaku zina, main dengan wanita komersial. Padahal, wanita yang membersamai PA pada waktu penangkapan adalah istrinya sendiri. Tidak hanya itu, ketidakadilan terhadap muslim Indonesia juga terlihat dari persoalan tentang bendera merah putih bertuliskan lafadz Tauhid, laa ilaha I'll alloh. Aparat langsung menangkap Nurul Fahmi karena membawa bendera tersebut. Disisi lain aparat tidak menindak apapun terhadap mereka yang membawa bendera yang juga ditempel tulisan - tulisan layaknya yang dibawa Nurul Fahmi. Perlakuan yang tidak adil dan tidak beradab ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar dan kecurigaan umat islam. Apakah bener aparat ingin menegakkan hukum, atau tebang pilih dimana hukum hanya ditegakkan khusus kepada umat islam, terutama para tokohnya? Semua itu sangat kontras dengan kasus yang menimpa Ahok, Aguan, Sunny Tanuwijaya, dlll masih banyak lagi tetapi ini lebih segar adalah korupsi besar. Dalam kasus Sumberwaras, Reklamasi, dan Sumbangan kepada @TemanAhok telah ditemukan semua unsur dalam tindak pidana korupsi; pelanggaran UU, memperkaya diri sendiri dan orang lain, merugikan keuangan negara bahkan perekonomian negara. Posisi Aguan dalam kasus ini sama Persis dengan status Fahmi (bendahara MUI) dalam kasus Bakamla). Apakah karena mereka adalah non muslim dan mempunyai sumber dana yang besar sehingga mereka tidak tersentuh hukum? Sulit untuk mengatakan dengan berbagai realitas yang terlihat secara kasat mata, apabila saat ini keadilan telah ditegakkan, terutama apabila dihadapkan pada umat Islam. Umat islam indonesia seolah termarginalkan. Keadilan begitu sulit didapatkan dan atau diberikan kepada umat Islam indonesia, padahal mereka adalah mayoritas di Indonesia ini. Keadilan dalam hukum, keadilan dalam politik dan keadilan sosial-ekonomi seperti menjadi baranglangka bagi umat Islam Indonesia.     ***   Penulis: Nizar A. Saputra, Ketua Umum Hima Persis
Reporter: Reporter Editor: admin