Melawan Sekularisme di Mahkamah Konstitusi

oleh Reporter

28 Februari 2017 | 10:24

Beberapa minggu yang lalu dari sejak bulan Agustus, Persistri beberapa kali menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kegiatan ini terkait dengan upaya jihad konstitusi Persistri dalam mendukung judicial review terhadap pasal 284, 285, dan 292 dalam KUHP. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., menyebutkan judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Artinya Persistri mengajukan permohonan agar MK melakukan pengujian terhadap pasal-pasal tersebut, karena keberadaan pasal-pasal tersebut dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga Negara. Dalam pasal 284 perzinahan hanya dilarang bila salah satunya menikah. Pasal ini tidak data memberikan hukuman jika perzinahannya terjadi antara pria hidung belang dengan anak sekolah, atau pergaulan sex bebas diantara anak-anak atau remaja sekolah yang sama-sama belum menikah. Masyarakat juga tidak bisa melaporkan perzinahan kepada penegak hukum, apabila istri si pria hidung belang tersebut tidak mengajukan aduan. Timbul pula persoalan jika yang berzinah itu sesama anak-anak yang belum menikah, maka siapa yang akan mengadukan perilaku tercela tersebut? Dalam pasal 285, disebutkan larangan perkosaan terjadi apabila perkosaan itu dilakukan kepada perempuan saja. Padahal saat kini tidak sedikit terjadi pemerkosaan terhadap laki-laki, seperti kasus pria penyuka laki-laki, atau sebagaimana Al Qur’an menceritakan kejadian Nabi Yusuf as yang didesak oleh perempuan berkuasa. Pasal 292 KUHP melarang pencabulan sesama jenis (Homoseksual) orang dewasa terhadap anak-anak. Artinya jika pencabulan sesama jenis tersebut terjadi di antara dua orang dewasa, dalam hukum Negara Republik Indonesia ternyata tidak dilarang. Keberadaan pasal-pasal seperti tersebut, apabila tidak segera dikoreksi, maka perbuatan nista yang merusak kehidupan manusia yakni perzinahan, perkosaan, dan penyimpangan seksual tidak dapat dijerat oleh hukum Negara karena dianggap tidak melarang undang-undang. Isi pasal undang-undang seperti itu tentu saja sangat tidak sesuai dengan hati nurani, pemahaman norma dan adat istiadat bangsa, apalagi syariat Islam. Bagi Persistri pasal tersebut tidak saja sudah tidak sesuai dengan zaman, namun memiliki kekuatan hukum yang sangat lemah karena membiarkan perilaku tindak kejahatan seksual dan kesusilaan tidak terjangkau oleh tuntutan hukum. Keberadaan Persistri adalah mewujudkan perempuan shalihah, sehingga terbentuk keluarga sakinah sebagai pondasi Negara yang berkualitas. Untuk mencapai rencana jihad tersebut, Persistri melakukan pembinaan meningkatkan pemahaman dan pengalaman ajaran Islam kepada anak-anak dan perempuan dewasa. Persistri sangat berkepentingan dengan pokok perkara yang sedang diuji. Maraknya perzinahan, hubungan sesama jenis baik sesama orang dewasa maupun sesama anak-anak, tentunya mengancam keselamatan anak, mengancam generasi muda penerus bangsa, serta sangat meresahkan bagi terwujudnya ketahanan keluarga berkualitas. Persistri sebagaimana pemerintah bersungguh-sunggu menaruh perhatian terhadap pembenahan karakter bangsa. Walaupun aturan agama sudah melarang dan pembinaan akhlaq gencar dilakukan oleh Persistri, namun Negara harus segera hadir memberikan perlindungan terhadap orang tua yang merasa terancam dan terhadap anak yang sedang tumbuh kembang. Persistri menilai pentingnya pemerintah merevisi KUHP mengenai keasusilaan ini guna menciptakan ketahanan keluarga. Perubahan aturan hukum terhadap ketiga masalah tersebut merupakan langkah penguatan hukum yang perlu segera dilakukan pemerintah guna mempertahankan ketahanan keluarga, yang muara akhirnya menuju Indonesia yang bermartabat. Upaya yudicial review ke MK yang dipimpin ibu Titin Suprihatin, MH. Ini tidaklah langsung diterima begitu saja. Muncul perlawanan dari kelompok lain yang berusaha menolak upaya perubahan KUHP ini. Pihak lawan memohon agar permohonan ini ditolak. Mereka yang menolak adalah kelompok yang memandang bahwa  memberikan sanksi pidana bagi pezina atau pelaku homoseksual adalah melanggar HAM. Memilih berhubungan seksual dengan sesama jenis dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan kecenderungan seksualnya. Negara tidak punya otoritas untuk mengatur pilihan seksual seseorang. Oleh karena itu usaha untuk mengubah kecenderungan seksual seseorang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM. Penolakan juga muncul dari kelompok yang memisahkan hukum agama dengan hukum Negara (Hukum yang dibuat Negara). Hubungan seks adalah urusan privat. Negara tidak perlu campur dalam urusan privat, kecuali ada pihak yang merasa langsung dirugikan. Dosa adalah konsep keagamaan, hubungan manusia dan Tuhan berdasarkan iman. Bukan konsep hubungan warga dengan warga, atau warga dengan Negara. Dosa akan dihukum di neraka (akhirat) oleh Tuhan yang dipercayai oleh si pemegang iman. Dosa tidak bisa dipenjara atau dihukum oleh Negara. Karena Negara bukan Tuhan, dan orang tidak beriman kepada Negara. Aturan hukum pidana yang mengatur dan memberi sanksi atau tindakan yang secara semena-mena dinyatakan sebagai dosa, adalah jelas-jelas sebagai pengaturan hukum yang berlebih-lebihan dan menjadikan Negara sebagai pengadil yang semena-mena. Jika itu dilakukan, Negara bisa menjadi otoriter dengan alasan agama. Hukum agama adalah sakral dan profan yang bergabung menjadi satu, sementara hukum Negara adalah wilayah sekular sepenuhnya. Jadi sangat tidak tepat dan berlebihan apabila suatu tindakan dimasukan atau dikategorikan sebagai tindakan kriminal karena dikategorikan oleh agama tertentu sebagai dosa. Oleh karena itu Negara tidak perlu membuat dan mengatur mana tindakan yang disebut dengan dosa dan mana yang tidak. Kecuali negaranya sudah berubah menjadi Negara agama. Dalam argument di atas, penolakan perubahan KUHP karena kekhawatiran permohonan perubahan pasal-pasal ini sebagai upaya sedikit demi sedikit mengarahkan Indonesia menjadi Negara Islam. Perlawanan juga muncul dari pihak-pihak yang berupaya melegalkan prostitusi dan peirlaku seksual yang menyimpang. Perubahan pasal-pasal yang lemah dalam KUHP saat ini, tentu saja akan membatasi gerakan mereka. Menurut mereka, pasal-pasal dalam KUHP saat ini sudah tepat karena secara tekstual, KUHP yang kita miliki tidak melarang perilaku perzinahan atau penyimpangan seksual, sehingga tidak bisa dijerat hukum. Masyarakat kita saat ini sudah sangat individual sehingga tidak ingin mengurus persoalan yang tidak berhubungan dengan kepentingan dirinya. Cara berpikirnya adalah yang penting saya dan keluarga saya tetap sholeh. Sikap individual tersebut sepertinya benar, namun menimbulkan pembiaran terhadap terjadinya perilaku penyimpangan seksual atau prostitusi. Pembiaran itulah yang membuat jumlah mereka terus meningkat. Tanpa terasa kita tidak terganggu dengan tampilnya anak-anak remaja yang bermesraan di depan umum, atau anak laki-laki bertingkah gemulai. Benarlah apa yang dikatakan dalam Hadits riwayat Muslim, bahwa tanpa terasa, sejengkal demi sejengkal, kita mengikuti kebiasaan mereka. Begitu juga dengan arus globalisasi. Pandangan sekuler yang menganggap agama sebagai rantai pengikat kebebasan, penegakan HAM yang tidak ada tempatnya, begitu biasa didengar sebagai argument yang benar adanya. Tanpa disadari terinternalisasi dalam cara berpikir masyarakat kita, yang pada akhirnya merasa terganggu dengan argument berdasarkan hukum Islam. Padahal secara umum tujuan pemberlakuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan menghindari mafsadat. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin tentu saja menawarkan aturan yang bisa melindungi keselamatan. Sejak ratusan tahun lalu, hukum islam telah menjadi rujukan dalam perubahan hukum di Indonesia. Islam adalah the living law (hukum yang hidup) di tanah air kita. Sebagai the living law, hukum Islam itu dibagi menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak bisa diabaikan. Sistem hukum Indonesia sebenarnya sangat terbuka dan kondusif untuk menanamkan spirit keislaman didalamnya. Prof. Yusril Ihza mengatakan “Apakah dengan berlakunya hukum Islam, Indonesia kemudian menjadi sebuah “Negara Islam”? Bagi saya tidak, Negara ini tetaplah Negara RI dengan landasan falsafah bernegara Pancasila. Sama halnya dengan dijadikannya hukum adat di bidang privat dan ditransformasikannya hukum ada ke dalam hukum publik, tidaklah menjadikan Negara RI ini berubah menjadi Negara Adat. Selama ini kita gunakan KUHP yang asalnya adalah Belanda kan diberlakukan di Indonesia. Tokoh Negara kita tidak pernah berubah menjadi Negara Napoleon. Tetap saja Negara kita Negara RI”. Pandangan tentang HAM semestinya digunakan secara tepat. Hubungan seksual memang adalah peristiwa pribadi, namun memiliki konsekuensi bagi pihak lain. Sebagai contoh ketika zina dilakukan oleh remaja yang belum menikah, tentu akan mengganggu hak orang tua. Oleh karena itu HAM seseorang harus dibatasi dengan HAM orang lain, bukan hanya antara para pihak yang terlibat. Persistri sudah mencoba memasuki dan memanfaatkan mekanisme legal-fomal dan konstitusional yang disediakan Negara untuk melakukan perubahan undang-undang. Gugatan judicial review adalah upaya jihad jamiyyah ibu-ibu dalam menghadapi gerakan kaum jahiliyah dalam bentuk kaum sekuler, libelar dan pengumbar nafsu syahwat. Beramar ma’ruf nahyi munkar melalui mekanisme legal di tempatnya yakni di sidang Mahkamah Kontitusi untuk menyelamatkan keluarga, mejaga tegaknya cahaya Islam. Wallahu ‘Alamu bil As-Shawwab     Penulis  Dra. Hj. Taty Setiaty. M.Pd. Sekretaris Umum PP Persistri     Akhbar Persistri No. 07 Th Oktober 2016/Muharam 1438 H
Reporter: Reporter Editor: admin