Oleh: Prof. Dr. H. Dadan Wildan M.Hum
Muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS) akan digelar pada tanggal 23-26 September 2022 di Bandung, tepat pada 99 tahun usia jamiyyah PERSIS. Muktamar XVI ini seharusnya digelar pada tahun 2020, tetapi karena pandemi Covid-19, Muktamar PERSIS, sebagaimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, harus diundur sampai pandemi Covid-19 mereda.
Salah satu agenda muktamar PERSIS yang biasanya menarik perhatian jamaah adalah proses pemilihan ketua umum yang akan menakhodai kapal besar jamiyyah PERSIS.
Saat ini, PERSIS dipimpin oleh Al-Ustaz K.H. Aceng Zakaria, salah satu ulama besar yang dimiliki PERSIS saat ini. Jika beliau masih bersedia mengemban amanah melanjutkan kepemimpinannya, saya kira muktamar akan berlangsung cepat. Sebab harus diakui, PERSIS masih kekurangan tokoh ulama yang mumpuni.
Ulama generasi murid KH. E. Abdurrahman Allahu yarham tidak banyak lagi yang berperan aktif di jamiyyah. Mungkin tinggal Prof. Dr. KH. Maman Abdurrahman dan KH. M. Romli yang juga sudah cukup sepuh. Rata rata di atas usia 70 tahunan.
Lapis kedua setelah Ustaz Aceng nampaknya belum ada yg menonjol. Dalam pandangan saya, Dr. KH. Dedeng Rosyidin mungkin salah satunya di lapis ini, di samping Ustaz Dr. KH. Uyun Kamiludin, Dr. KH. Komarudin Saleh, Ustaz Zae Nandang, Ustaz Drs. Jalaludin dan Ustaz Drs. Daerobi yang rata rata menjelang usia atau lebih dari 60 tahun.
Ada lapis ketiga setelah itu di kisaran usia 50 tahunan. Pada lapis ini, mereka mantan aktivis Pemuda PERSIS. Ada Prof. KH. Atip Latifulhayat, S.H., LLM., Ph. D., ada Dr. Irfan Syafrudin, KH. Drs. Ustaz Uus M. Ruhiyat, dan Ustaz Wawan Sofwan misalnya.
Usia di bawah 50 tahunan, yang nampak menonjol saat ini ada Dr. KH. Jeje Zaenudin, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, Dr. Haris Muslim, Dr. Ihsan Setiadi Latif, Dr. Latif Awaludin, Dr. Nasrudin Syarif, Dr. Nurmawan, KH. Amin Muchtar, dan masih banyak lagi kader lain, yang dari sisi pendidikan cukup mumpuni.
Saya berharap muktamar tahun 2022 lebih mengedepankan musyawarah mufakat dibandingkan dengan pemungutan suara ala demokrasi yang terkadang dapat memecah belah umat.
Jika KH. Aceng Zakaria masih bersedia melanjutkan kepemimpinannya, saya kira aklamasi menjadi solusi. Jika beliau tidak lagi bersedia karena faktor usia misalnya, musyawarah dan mufakat dapat dilakukan untuk menentukan penggantinya. Tanpa harus mempertandingkan atau adu geulis antar ulama PERSIS. Dengan cara itu, jamiyah akan tetap utuh, musyawarah untuk mufakat menjadi pilihan terbaik daripada pemilihan langsung ala demokrasi.
Yang juga cukup penting, mudah-mudahan Muktamar tahun ini dapat menghasilkan tasykil Pimpinan Pusat PERSIS yang tangguh, amanah, ikhlas, dan istiqamah sekaligus melahirkan program jihad yang lebih implementatif. Agenda utama yang perlu dibahas dalam Muktamar XVI adalah bagaimana menempatkan kembali posisi organisasi PERSIS sebagai organisasi yang bergelut dalam bidang pengkajian, penelitian, dan menghasilkan produk hukum (Islam) sebagai jawaban terhadap berbagai persoalan umat. PERSIS perlu menampilkan kembali ruh utama jamiyyah sebagai penggerak pemikiran Islam di Indonesia.
Tokoh tokoh muda PERSIS yang berusia di kisaran 40 hingga 50 tahunan dapat didorong untuk membawa gerbong PERSIS ke level nasional dan internasional. Prof. KH. Atip Latifulhayat dan Dr. KH. Jeje Zainudin memiliki kompetensi yang mumpuni. Prof. Atip yang juga guru besar hukum Universitas Padjajaran yang lebih dari sepuluh tahun tinggal di Australia dan seringkali hadir di forum-forum internasional, akan lebih mudah membawa PERSIS melompat jauh berperan di forum internasional. Demikian pula Dr. Jeje Zainudin, pergaulan di level nasional dan internasionalnya cukup lumayan. Ustaz Jeje merupakan salah satu unsur pimpinan MUI pusat.
Di era global, digital, dan metaverse saat ini dan ke depan, PERSIS tentu tidak hanya bekutat pada persoalan-persoalan ibadah semata, tetapi harus merambah pada persoalan muamalah sejagat.
[]
Editor: Dhanyawan