Meneropong Ramadhan di Mesir

oleh Reporter

05 Juli 2016 | 09:57

Ramadan di Mesir sangat terasa berbeda dibanding hari-hari biasa. Masyarakat Mesir sangat antusias menyambut kedatangannya. Beberapa hari sebelum Ramadan, di setiap jalanan dan toko-toko menjual lampu Fanous yang dipasang tiap jalan atau depan pintu apartemen. Dahulu lampu Fanous sering digunakan sebagai lampu penerang jalan menuju masjid atau berkunjung ke rumah handai taulan saat maam hari. Konon awal mula lampu Fanous saat masyarakat mesir berbondong-bondong membawa lampu tersebut menyambut kedatangan Khalifah Muiz Lidinillah pada masa dinasti Fathimiyah pada tanggal 5 Ramadan 358 Hijriah. Kedatangannya pada bulan Ramadan menjadikan Fanous sebagai salah satu tradisi masyarakat dalam menyambut Ramadan di Mesir. Lampu Fanous bagi rakyat Mesir memiliki nilai filosofi yang berarti ungkapan kebahagiaan, kegembiraan serta kesyukuran dalam menjamu tamu Agung yaitu bulan Ramadan. Ukuran Fanous pun beragam dari mini sampai ukuran besar. Biasanya para orang tua akan selalu membelikan Fanous dan menghadiahkannya kepada anak-anaknya dan menjadi mainannya. Penetapan Bulan Ramadan Awal Ramadan di Mesir diumumkan oleh Mufti Syeikh Ali Gouma dan disiarkan secara langsung melalui chanel televisi. Dua tahun terakhir ini di Mesir pengumuman penetapan bulan Ramadan diadakan di Azhar Convention Center kawasan Rabea Adawea dan mengundang seluruh para cendekiawan, ulama, tokoh serta pejabat negara termasuk sebagian mahasiswa asing ikut menghadiri acara tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, terkadang ada perbedaan pendapat dalam penetapan Ramadan di antara ormas yang bahkan bisa berbeda dengan penetapan oleh pihak pemerintah. Di Mesir pun memang terdapat beberapa ormas dan juga beberapa perbedaan pendapat, akan tetapi ini dapat dieliminir dengan adanya pengumuman yang ditetapkan oleh Mufti. Semua lapisan masyarakat Mesir langsung mengikutinya sam’ah wa tha’ah. Suasana Ramadhan Sepanjang bulan Ramadan, dalam tradisi Mesir, Musaharati adalah orang Mesir dengan mengenakan Galabiya (jubah) dan topi serta memegang Baza (drum kecil) di tangannya serta menjelajahi jalan-jalan dan menyebut nama-nama penduduk sekitar membangunkan mereka untuk sahur dua jam sebelum azan Subuh berkumandang. Tradisi ini hanya berlaku di beberapa kawasan saja, seperti di kawasan Bathniya (belakang masjid Al-Azhar), sebagian distrik 10 serta beberapa kota di luar propinsi Kairo seperti Tafahna Al-Asyraf Propinsi Daqahliyah. Ramadan kali ini pada akhir musim panas. Untungya puncak musim panas pada pertengahan september sehingga tidak akan merasa panasnya cuaca saat menunaikan ibadah Ramadan. Waktu siang agak panjang dibanding musim biasa. Azan subuh berkumandang jam lima pagi, sedang azan magrib berkumandang jam setengah delapan malam. Awal minggu pertama Ramadan terjadi perubahan waktu, sehingga berubah menjadi diajukan satu jam. Sekarang azan subuh pukul empat pagi dan magrib jam enam seperempat sore. Masjid-masjid menjadi semakin penuh. Salat lima waktu pun lebih banyak dari hari-hari biasa. Itulah kehebatan bulan Ramadan, bahkan ada yang tidak pernah salat pun menjadi makmum salat tarawih. Hari-hari bulan Ramadan, memang tetap seperti biasa masuk kantor bagi pegawai kantoran baik swasta maupun pemerintahan, termasuk para diplomat di lingkungan KBRI sekalipun tetap masuk seperti biasanya. Sedang para siswa dan mahasiswa masih berkutat dalam kesibukan mengisi hari-hari liburnya selama musim panas. Kecuali beberapa sebagian mahasiswa menuju kampus sekedar menengok hasil ujian maupun urusan administrasi. Ketika waktu Magrib akan tiba, selain suasana sunyi senyap jarang ada mobil yang lewat, kita akan melewati banyak sekali tenda-tenda yang dibangun, meja-meja yang berjejer rapi siap dengan hidangan aneka ragam makanan untuk berbuka puasa dan gratis untuk dinikmati oleh semua orang. Bukan hanya orang miskin boleh datang, namun untuk semua orang yang kebetulan berada di jalan itu ketika saat berbuka tiba. Negeri Alquran Negeri Alquran ialah negeri yang masyarakat Muslimnya dekat dengan Alquran apapun bahasa nasionalnya. Negeri yang mencintai Alquran sebagaimana mereka menyintai Allah pemilik kitab-Nya. Ramadan adalah bulan Alquran. Ini tentu sangat dirasakan dan diketahui oleh masyarakat di Mesir. Masyarakat Mesir cukup religius dalam keseharian mereka, utamanya dalam interaksi mereka dengan Alquran di tengah arus globalisasi dan invasi budaya Barat yang merajalela di negeri-negeri Muslim. Selama Ramadan semarak lantunan Alquran saling bersahutan. Sepanjang jalan, di bis-bis kota, penjaga toko, polisi atau satpam, anak-anak sampai orang tua pun semua saling berlomba membaca dan mengkhatamkan Alquran apapun kondisi mereka saat itu. Baik dengan bacaan pelan (sirr) atau keras (jahr). Baik mengulang hapalannya atau menambah jumlah bacaannya. Belum lagi para jamaah di masjid baik sebelum atau sesudah menunaikan salat, semua langsung berlomba membuka Alquran dan mengkhatamkannya mengejar target kebaikan dan pahala berlipat ganda pada bulan Ramadan. Ramadan kali ini, Kementerian Wakaf mengadakan “Musabaqah Tahfizh Alquran Internasional ke-17” dengan melibatkan peserta dari 117 Negara. Pembagian hadiah kepada para juara diadakan saat malam ‘asyrul awakhir Ramadan yang biasanya selalu diberikan langsung oleh Presiden Husni Mubarak, ketika masih menjabat. Maidatur Rahman (Hidangan Tuhan) Menurut sebagian sejarawan, permulaan adanya Maidaturrahman atau memberikan hidangan buka puasa saat bulan Ramadan terjadi pada masa Rasulullah Saw. Ada rombongan dari Thaif datang dan Rasulullah Saw mengirimkan kepada mereka makanan untuk berbuka dan sahur dengan Bilal bin Rabah. Khulafa Rasyidin pun mengikutinya bahkan Umar bin Khaththab menyiapkan sebuah rumah untuk memberikan buka tamu yang sedang berpuasa. Di Baghdad, Harun Ar-Rasyid menyediakan jamuan berbuka di pelataran istananya dan berjalan-jalan memutari meja makan tersebut serta menanyakan pendapat Shaimin tentang kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh mereka. Di Mesir, Maidaturrahman memiliki sejarah yang panjang. Konon dimulai saat Harits bin Laits seorang Ahli Fiqh dan Hartawan saat bulan Ramadan dia hanya berbuka dengan memakan Foul (kacang khas Mesir yang sudah diolah). Saat bersamaan dia pun membuat Maidaturrahman dengan menjamu makanan berupa Bubur sampai dikenal dengan Bubur Harits. Selain itu Ahmad bin Toulon pendiri dan penguasa dinasti At-Touloniyah di Mesir pada tahun 880 masehi mendirikan jamuan makanan yang enak bagi yang berpuasa bulan Ramadan. Anaknya Khumarawy mewarisi jejak ayahnya dan mendirikan jamuan untuk berbuka dan sahur di tempat-tempat umum. Pada masa dinasti Fathimiyah, menggelar maidaturahman bagi shaimin dan menamakannya dengan Darul Fitrah. Sedang Masa Dinasti Mamalik dan Ustmaniyah sempat menghilang karena adanya peperangan yang terjadi masa itu. Pada masa penjajahan Inggris dan Perancis beberapa lembaga-lembaga amal menghidupkan kembali tradisi Maidaturrahman untuk kaum fakir miskin. Paruh kurun waktu tahun 70-an sampai sekarang tradisi Maidaturrahman mulai berkembang dan tersebar di beberapa negara Arab dan Islam. Kebaikan sosial para dermawan di Mesir patut diacungi jempol. Terlebih lagi bulan Ramadan mereka berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Salah satu bentuknya adalah pemberian bantuan (musa’adah) dalam bentuk uang, makanan atau sembako kepada para fakir miskin termasuk juga kepada mahasiswa asing yang belajar di sini. Kita sebagai mahasiswa tidak direpotkan dengan urusan masak untuk berbuka cukup dengan pergi ke masjid atau ke tempat-tempat terbuka yang menyediakan maidaturrahman. [/islampos]
Reporter: Reporter Editor: admin