Mengikuti Iedul Adha Arab Saudi Dalam Perspektif Syar’I dan Astronomi

oleh Reporter

14 Agustus 2015 | 17:15

Oleh: Syarief Ahmad Hakim[1] PENDAHULUAN Diantara masalah kontemporer yang senantiasa mengemuka setiap menjelang bulan Dzulhijjah adalah masalah penetapan hari raya Iedul Adha. Dalam hal ini ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Iedul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum Arafah dalam hadits Abu Qatadah al-Anshari: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ – رواه مسلم وأحمد والنسائى والبيهقي وإبن خزيمة Dan Rasul saw. ditanya tentang puasa Arafah, maka beliau menjawab: “(puasa Arafah) menghapus (dosa) satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya”.[2] Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi Arafah” yang kemudian dihubungkan dengan hadits اَلْحَجُّ عَرَفَاتٌ “Puncak ibadah haji itu (wukuf) di Arafah”.[3] maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di Arafah. Karena Iedul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Iedul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu. Disamping itu, sebagian ulama berpendapat bahwa penetapan hari raya Iedul Adha harus didasarkan kepada keterlihatan hilal awal Dzulhijjah di tempat masing-masing, sebagaimana halnya Iedul Fitri ditetapkan berdasarkan keterlihatan hilal awal Syawal di wilayah setempat. Untuk mengetahui alasan kedua pendapat di atas maka dalam tulisan ini akan dibahas tentang latar belakang penamaan Arafah, kronologis disyariatkannya puasa arafah dan ibadah haji, makna yang tepat untuk istilah shaum arafah, praktek penentuan awal Dzulhijjah di zaman Rasul saw. dan penetapan awal bulan Dzulhijjah dalam perspektif astronomi. LATAR BELAKANG PENAMAAN ARAFAH Dalam beberapa kitab lughah, kitab fiqih dan pendapat yang mengemuka pada akhir-akhir ini nama atau istilah “Arafah” ternyata menunjukkan kepada tiga hal. Pertama nama untuk sebuah tempat sebagaimana yang dikemukakan oleh:
  1. Imam al-‘Aini dan ar-Raghib menyatakan bahwa Arafat adalah:
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ “Nama bagi tempat yang khusus ini”.[4] Dalam redaksi ar-Raghib: بُقْعَةٌ مَخْصُوْصَةٌ “Tanah atau daerah yang khusus”.[5]
  1. Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa nama Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam as. dan Hawa di tempat itu. Beliau menyatakan:
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتٍ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ “Dan keduanya ta’aruf di Arafah, karena itu dinamai Arafah”.[6] Keterangan Ibnu Abbas tersebut dijadikan pijakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi,[7] Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha[8] dan ar-Raghib al-Ashfahani.[9] Keterangan di atas menunjukkan bahwa kata Arafah untuk nama suatu tempat telah ada sejak zaman Nabi Adam as. jauh sebelum disyariatkannya ibadah haji. Kedua nama untuk hari ke sembilan (tanggal 9) bulan Dzulhijjah sebagaimana dikemukakan oleh:
  1. Imam ar-Raghib, al-Baghawi, al-Kirmani dan ar-Razi menyatakan bahwa Arafah adalah:
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ “Nama untuk hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah”.[10]
  1. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim as. yang diperintah untuk menyembelih anaknya, dimana pada pagi harinya (hari ke-9 bulan Dzulhijjah) Nabi Ibrahim as. baru mengetahui bahwa perintah itu benar datang dari Allah SWT. Ibnu Qudamah menyatakan:
فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ “Maka ia mengenal (mengetahui) bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah”.[11] Keterangan di atas menunjukkan bahwa kata Arafah untuk nama hari ke sembilan bulan Dzulhijjah telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim as. jauh sebelum disyariatkannya ibadah haji kepada Nabi Muhammad saw. Ketiga nama untuk salah satu aktifitas ibadah haji sebagaimana dalam sebuah hadis dinyatakan:اَلْحَجُّ عَرَفَاتٌ “Puncak ibadah haji itu (wukuf) di Arafah”.[12] Jika hadits ini dikaitkan dengan perintah puasa arafah maka dapat dipahami bahwa puasa arafah itu harus bertepatan dengan aktifitas wukuf jama’ah haji di Arafah. Benarkah demikian? Untuk menjawab hal tersebut maka kita harus mengetahui tarikh tasyri’ (kronologis pensyariatan) ibadah haji dan puasa arafah. TARIKH TASYRI’ PUASA ARAFAH DAN HAJI Menurut sebuah hadits dari Anas ra.: عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ" – رواه أبوداود والنسائى والحاكم Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya. Beliau bertanya: “Dua hari apakah ini?” Mereka menjawab: “Di dua hari ini kami biasa bermain-main pada masa jahiliyah”. Maka beliau bersabda, “Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri.”[13] Sehubungan dengan hadits di atas para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijriyah.[14] Dalam hal ini para ulama menerangkan: “Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)”.[15] Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai disyariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 Hijriyah. Keduanya disyariatkan setelah disyariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama. Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriyah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama.[16] Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah.[17] Kedua pendapat ini seolah bertentangan, namun bila dilihat dari segi waktu disyariatkan dengan waktu pelaksanaannya yang memiliki rentang waktu panjang dapat mementahkan dugaan tersebut. Memang tahun ke-6 adalah tahun disyariatkannya ibadah haji sebagaimana pendapat Jumhur Ulama, namun pada kenyataannya Rasulullah saw. tidak bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut bahkan tahun-tahun sesudahnya karena senantiasa dihalang-halangi kaum Kafir Quraisy. Beliau baru bisa melaksanakan ibadah haji tersebut pada tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim di atas, yaitu setelah penaklukkan kota Mekah oleh kaum Muslimin dan inilah ibadah haji yang dilaksanakan Rasulullah saw. yang pertama dan terakhir kalinya pasca disyariatkannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Qatadah ra. berikut ini: عَنْ قَتَادَةَ، سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَمُ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: " أَرْبَعٌ: عُمْرَةُ الحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ المُشْرِكُونَ، وَعُمْرَةٌ مِنَ العَامِ المُقْبِلِ فِي ذِي القَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ، وَعُمْرَةُ الجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ - أُرَاهُ - حُنَيْنٍ " قُلْتُ: كَمْ حَجَّ؟ قَالَ: «وَاحِدَةً» – رواه البخارى و أحمد و إبن حبّان و أبو نعيم Dari Qatadah ra, aku bertanya kepada Anas ra: “Berapa kali umrahnya Rasulullah saw?” Dia menjawab: “empat kali; umrah Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah ketika orang musyrik menolak beliau (untuk melakukan ibadah haji), umrah pada tahun depannya ketika beliau berdamai (dengan orang kafir), umrah Ji’ranah ketika beliau membagi ghanimah -aku kira- (ghanimah perang) Hunain”. Aku bertanya: “Berapa kali hajinya Rasul saw?” Anas menjawab: “Satu kali”.[18] Dalam hadits lain disebutkan: حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا تِسْعَ عَشْرَةَ غَزْوَةً، وَأَنَّهُ حَجَّ بَعْدَ مَا هَاجَرَ حَجَّةً وَاحِدَةً، لَمْ يَحُجَّ بَعْدَهَا حَجَّةَ الوَدَاعِ» ، قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: «وَبِمَكَّةَ أُخْرَى» [19]– رواه البخارى و مسلم و أحمد و الطبراني و البيهقي Zaid bin Arqam ra. telah bercerita kepadaku: “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah berperang sebanyak 19 kali dan sesungguhnya beliau melaksanakan haji setelah hijrahnya (ke Madinah) satu kali haji, beliau tidak pernah melaksanakan haji setelahnya, yakni haji wada’.” Abu Ishaq berkata: “Dan (ketika) di Mekah pernah melakukannya”.[20] Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa aktifitas wukuf di arafah bukan penyebab adanya shaum arafah karena Rasulullah saw. puasa arafah tahun ke-2 sampai tahun ke-9 atau ke-10 Hijriyah belum ada pelaksanaan wukuf di Arafah, atau sekitar 8 atau 9 kali puasa arafahnya beliau tidak berbarengan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah. MAKNA SHAUM ARAFAH Dari berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa kata Arafah pada istilah puasa Arafah hanya ada dua kemungkinan, yaitu menunjukkan tempat atau menunjukkan hari. Mana diantara kedua maksud itu yang paling tepat? Berikut komentar para ulama: Ibnu Abidin menjelaskan tentang perbedaan antara Arafah yang memiliki arti hari dengan Arafah yang mempunyai arti tempat yaitu dari segi penulisannya, beliau menyatakan: “Arafah (عرفة) adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat (عرفات) adalah ismul makan (nama tempat)”.[21] Dengan demikian kata Arafah yang mempunyai arti tempat adalah yang huruf fa-nya pakai alif (عرفات) sedangkan yang menunjukkan hari huruf fa-nya tidak pakai alif (عرفة), sehingga hadits صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ harus diartikan “Puasa hari ke sembilan bulan Dzulhijjah” dan اَلْحَجُّ عَرَفَاتٌ harus diartikan “Puncak ibadah haji adalah wukuf di padang Arafah”. Penamaan Arafah untuk hari ke sembilan (tanggal 9) Dzulhijjah seperti di atas diperkuat dengan hadits-hadits di bawah ini:
  1. Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلعم قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ – رواه أبو داود وأحمد والبيهقي Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura dan tiga hari setiap bulan”.[22] Dalam hadits ini disebut dengan ungkapan Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadits ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.
  1. Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ صلعم صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: Shaum Asyura, shaum al-Asyru (Arafah), shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh”.[23] Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadits tersebut bahwa Rasul saw. tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi saw. sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah),[24] serta penjelasan Aisyah ra. “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi saw. shaum pada 10 (Dzulhijjah)”.[25] Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa puasa arafah tidak dinisbatkan kepada tempat atau aktifitas wukuf tetapi kepada hari atau tanggal ke-9 dari bulan Dzulhijjah. PRAKTEK PENENTUAN AWAL DZULHIJJAH DI MASA RASULULLAH SAW. Tidak ada perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah dari penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal, semuanya berpatokan kepada keterlihatan hilal awal bulan qamariyah, sebagaimana petunjuk al-Qur’an berikut ini: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (البقرة : ١٨٩) Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 189). Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan sahabat Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanamah al-Anshari yang senantiasa menyaksikan penampakan bulan. Dimulai dari bentuk sabit tipis seperti sehelai benang, kemudian perlahan-lahan membesar menjadi setengah lingkaran, purnama, lalu mengecil menjadi setengah lingkaran dan kembali lagi ke bentuk sabit. Fenomena ini kemudian ditanyakan kepada Rasulullah saw, kenapa hal demikian itu terjadi? Maka turunlah ayat di atas.[26] Menurut ayat di atas, bulan sabit itu sebagai pertanda waktu bagi manusia baik untuk urusan keduniawian mereka seperti perdagangan dan pertanian mereka, maupun urusan keagamaan mereka seperti waktu ‘iddah, masa haidh, usia kehamilan, waktu puasa dan lebaran mereka, terutama untuk waktu ibadah haji mereka.[27] Penyebutan secara khusus lafazh وَالْحَجِّ pada ayat di atas menandakan bahwa menentukan waktu ibadah haji berpedoman kepada hilal itu harus diprioritaskan, karena ibadah haji pada masa jahiliyah kadang-kadang dilaksanakan pada bulan “Muharram” akibat dari adanya praktek an-Nasi-i atau menambah bulan ke-13 pada tahun-tahun tertentu.[28] Atas dasar ayat al-Qur’an di atas maka Rasulullah saw pun menetapkan awal Dzulhijjah itu berpedoman kepada penampakan hilal sebagaimana diinformasikan dalam hadits berikut ini: عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ – رواه مسلم والترمذي والنسائى وإبن ماجه وإبن حبان والحاكم Dari Umi Salamah ra., sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: “Apabila kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan kamu bermaksud untuk berkurban, maka tahanlah untuk tidak memotong rambut dan menggunting kukunya”.[29] Dari hadits ini diketahui bahwa penentuan awal bulan Dzulhijjah di masa Rasul saw. itu berdasarkan keterlihatan hilal, bukan berdasarkan peristiwa lain. Artinya apabila maghrib di akhir bulan Dzulqa’dah hilal sudah terlihat maka mulai malam itu dan esok harinya sudah masuk bulan Dzulhijjah setelah itu baru diketahui hari ke sembilannya (hari arafah). Dengan demikian berarti menetapkan hari ke-9 yang diumumkan pemerintah Arab Saudi terlebih dahulu baru ditentukan tanggal 1 Dzulhijjahnya adalah perbuatan yang menyalahi sunnah Rasul saw. di atas. Awal bulan Dzulhijjah seharusnya ditetapkan berdasarkan keterlihatan hilal setempat sebagaimana petunjuk hadits tadi. Perbedaan waktu pelaksanaan puasa arafah di Indonesia dengan waktu wukuf di Arab Saudi bisa dibenarkan secara syar’i karena ada dalil yang melandasinya, yaitu hadits yang berikut ini: عَنْ كُرَيْبٍ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: " لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رواه مسلم وأبوداود والترمذي والنسائى وأحمد والبيهقي والدرقطنى وإبن خزيمة Dari Kuraib sesungguhnya Ummul Fadlal binti al-Harits telah mengutusnya ke Mu’awiyah di Syam (Syiria). Ia berkata, saya telah sampai di Syam lalu saya menyelesaikan keperluannya (Ummul Fadlal) dan nampaklah padaku hilal bulan Ramadhan sedangkan saya berada di Syam dan saya melihat hilal pada malam Jum’at, lalu sampai di Madinah akhir bulan (Ramadhan). Saya ditanya oleh Abdullah bin Abbas lalu ia mengatakan tentang hilal, lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?”, saya menjawab: “Kami melihatnya malam Jum’at?” Ia bertanya: “Engkau melihatnya sendiri?”, saya menjawab: “Ya, bahkan orang-orang juga melihatnya lalu mereka puasa dan Mu’awiyah pun puasa”, Ia berkata: “Akan tetapi kami melihat hilal malam Sabtu, oleh karena itu kami akan terus puasa sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihat hilal”, Saya bertanya: ”Apakah anda tidak merasa cukup dengan rukyat Mu’awiyah dan puasanya?”, Ia menjawab: “Demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami”.[30] Hadits tersebut diberi judul oleh Imam Muslim dengan باب بيان أن لكل بلد رئيتهم “bab yang menjelaskan sesungguhnya setiap negara (berdasarkan) rukyat mereka”. Dipahami dari hadits tersebut bahwa kemunculan hilal awal bulan tidak bisa dilihat di seluruh permukaan bumi, hanya sebagian saja yang dapat melihatnya. Daerah yang bisa melihat hilal dalam terminologi fiqih disebut mathla’. Berarti berdasarkan hadits di atas, syar’i memberi peluang kepada daerah/wilayah yang berbeda mathla’ untuk berbeda dalam mengawali penanggalannya, termasuk antara wilayah/negara Indonesia dengan negara Arab Saudi. PENETAPAN AWAL DZULHIJJAH DALAM PERSPEKTIF ASTRONOMI Sebagaimana kita ketahui bahwa penanggalan almanak Islam didasarkan kepada peredaran bulan mengelilingi bumi oleh karena itu dinamakan kalender komariyah,[31] sedangkan kalender masehi didasarkan kepada peredaran semu tahunan dan semu harian matahari yang diakibatkan oleh gerak revolusi bumi mengitari matahari dan gerak rotasi bumi, oleh karena itu dinamakan kalender syamsiyah. Antara kalender komariyah (hijriyah) dengan kalender syamsiyah (masehi) memiliki beberapa perbedaan mendasar, yaitu:
  1. Dimulainya tanggal dan hari dalam kalender masehi adalah tengah malam atau jam 00:00:00 waktu setempat, sedangkan kalender hijriyah adalah pada waktu maghrib.
  2. Dalam kalender masehi yang lebih dulu masuk tanggal itu adalah wilayah timur, sedangkan dalam kalender hijriyah yang lebih dulu masuk tanggal adalah wilayah barat.
  3. Garis batas tanggal dalam kalender masehi tidak berubah, yakni senatiasa berhimpit dengan bujur 180º BB/BT, sedangkan dalam kalender hijriyah senantiasa berubah-rubah.
  4. Bentuk garis batas tanggal dalam kalender masehi adalah lurus, membujur dari arah kutub utara ke kutub selatan bumi, sedangkan garis batas tanggal dalam kalender hijriyah berbentuk kurva, dimana letaknya di permukaan bumi dari awal bulan ke awal bulan berikutnya senantiasa berubah-rubah, tergantung konfigurasi posisi bulan dan matahari terhadap bumi.
Tiga gambar ketampakkan hilal pada peta dunia berikut ini akan memperlihatkan pernyataan di atas. Selain itu menggambarkan juga tiga kemungkinan posisi hilal antara Indonesia dengan Arab Saudi yang berimplikasi kepada penentuan awal bulan hijriyah pada wilayah masing-masing.[32] Gambar 1. (Syawwal 1436 H.) Gambar 1 menunjukkan peta dunia yang ditutupi oleh kurva melintang secara horizontal dengan warna yang berbeda. Warna-warna tersebut melambangkan hilal dari segi ketampakkannya. Daerah yang tertutup dengan kurva warna merah berarti untuk daerah tersebut hilal mustahil terlihat. Daerah dengan kurva yang tidak berwarna menujukkan hilal untuk daerah tersebut tidak mungkin terlihat. Daerah dengan kurva berwarna biru menujukkan hilal di daerah tersebut bisa terlihat dengan bantuan alat optik. Daerah dengan kurva warna merah jambu menujukkan hilal untuk daerah tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan kurva yang berwarna hijau menunjukkan untuk daerah tersebut dengan mata telanjang saja hilal mudah dilihat. Dalam contoh gambar 1 di atas antara Indonesia dengan Arab Saudi berada dalam satu kurva yang sama, yaitu kurva yang tidak berwarna, artinya untuk wilayah Indonesia juga Arab Saudi hilal tidak mungkin kelihatan sehingga jatuhnya awal bulan qamariyah antara Indonesia dan Arab Saudi akan sama yaitu lusa harinya. Gambar 2, (Shafar 1443 H.) Pada gambar 2, wilayah Indonesia dengan Arab Saudi berada dalam satu kurva yang sama,[33] yaitu kurva berwarna biru. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik Indonesia maupun di Arab Saudi hilal sudah bisa dilihat meskipun dengan bantuan alat optik. Ketika posisi demikian antara Indonesia dengan Arab Saudi juga akan sama dalam mengawali bulan qamariyahnya, yaitu malam itu dan besok harinya. Gambar 3, (Rabi’uts Tsani 1437 H.) Gambar 3 memperlihatkan posisi wilayah Indonesia dengan posisi Arab Saudi berada pada kurva yang berbeda. Wilayah Indonesia berada di kurva tidak berwarna sedangkan Arab Saudi berada pada kurva berwarna biru. Artinya untuk wilayah Indonesia hilal pada saat maghrib tidak (mungkin) terlihat, sedangkan empat jam kemudian maghrib di Arab Saudi hilal terlihat. Dengan demikian untuk Arab Saudi karena hilal terlihat, maka mulai maghrib hari itu sudah masuk tanggal 1 bulan baru hijriyah sedangkan di Indonesia karena hilalnya tidak terlihat maka malam itu masih tanggal 30 bulan yang sedang berjalan (di-istikmal-kan) dan tanggal 1 bulan baru hijriyahnya jatuh pada lusa harinya. Artinya dalam posisi demikian Arab Saudi akan lebih dulu masuk tanggalnya sedangkan Indonesia belakangan (terlambat 1 hari). Jadi, secara astronomis antara Indonesia dengan Arab Saudi dalam mengawali awal bulan hijriyahnya hanya ada dua kemungkinan. Pertama, akan bersamaan apabila pada waktu maghrib di kedua wilayah tersebut hilal masih di bawah ufuk atau sudah sama-sama di atas ufuk dan hilal terlihat. Kedua, akan berbeda, yaitu Arab Saudi lebih dulu masuk tanggal barunya sedangkan Indonesia belakangan, apabila ketika maghrib di Indonesia hilal tidak mungkin terlihat yang salah satu sebabnya karena ketinggiannya terlalu rendah, namun empat jam kemudian ketika maghrib di Arab Saudi hilal sudah terlihat. Tetapi yang tidak mungkin adalah Indonesia lebih dulu awal bulannya sedangkan Arab Saudi belakangan. Dengan demikian, secara astronomi antara Indonesia dengan Arab Saudi di dalam mengawali bulan hjriyahnya bisa saja berbeda termasuk untuk bulan Dzulhijjah, disamping memang ada landasan syar’inya sebagaimana dalam hadits dari Kuraib riwayat Muslim di atas.   PENUTUP Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa penetapan Idul Adha yang didasarkan kepada waktu pelaksanaan wukuf di Arafah tidak bisa diterima disebabkan dua hal. Pertama, karena secara syar’i tidak ditemukan dalil yang melandasinya. Menurut syar’i, penetapan Idul Adha harus didasarkan kepada penampakkan hilal awal Dzulhijjah di tempat masing-masing sebagaimana hadits dari Ummu Salamah ra dan hadits dari Kuraib ra riwayat Muslim di atas. Kedua, secara astronomi, posisi hilal -termasuk hilal awal Dzulhijjah- antara Indonesia dengan Arab Saudi bisa sama bisa juga berbeda, tergantung posisi permukaan bumi terhadap bulan dan matahari pada saat konjungsi. Pada saat posisi hilal antara Indonesia dengan Arab Saudi berbeda, tentu saja akan menyebabkan perbedaan awal Dzulhijjah, yakni Arab Saudi akan lebih dulu masuk tanggalnya sedangkan Indonesia belakangan. Wallahu A’lam Bi ash-Shawwab [1] Sekretaris Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis dan anggota Tim Hisab Rukyat Kementrian Agama RI. [2] Shahih Muslim 2:819, Musnad Ahmad 37:224, Shahih Ibnu Khuzaimah 3:291, Sunan Kubra Li an-Nasa-i 3:224, Sunan Kubra Li al-Baihaqi 4:468. Redaksi di atas versi Imam Muslim. [3] Sunan at-Tirmidzi 5:214, Musnad Ahmad 31:63, Sunan ad-Darimi 2:1200, Sunanun Kubra Li an-Nasa-i 4:160, Shahih Ibnu Hibban 9:203 [4] Umdatu al-Qari, I:263 [5] Al-Mufradat fi Gharibi al-Quran, hal. 969 [6] Al-Kamil fi at-Tarikh, I:12 [7] Mu’jam al-Buldan, IV:104 [8] At-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, II:89 [9] Al-Mufradat fi Gharibi al-Quran, hal. 969 [10] Tafsier al-Baghawi 1:225, Hasyiah asy-Syihab ‘ala Tafsier Baidhawi 2:290, dan Tafsier ar-Razi 5:324 [11] Al-Mughni, 3:58 [12] Sunan at-Tirmidzi 5:214, Musnad Ahmad 31:63, Sunan ad-Darimi 2:1200, Sunanu al-Kubra Li an-Nasa-i 4:160, Shahih Ibnu Hibban 9:203 [13] Sunan Abu Daud, 1:295, Sunan an-Nasa-i, 3:179, Al-Mustadrak Ala ash-Shahihain Li al-Hakim, 1:434. Redaksi di atas versi Abu Daud. [14] Shubhu al-A’sya, 2:444; Bulughu al-Amani, juz 6:119; Subulu as-Salam, I:60 [15] Hasyiah al-Jumal, 6:203, Hasyiah al-Bajirumi ‘ala al-Manhaj, 4:235 [16] Fathu al-Bari, 3:442 [17] Zaadu al-Ma’ad, 2:101, Manaru al-Qari, 3:64 [18] Shahih Bukhari 3:3, Musnad Ahmad 40:89, Shahih Ibnu Hibban [Muhaqqaq] 9:80, Al-Musnad al-Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim Li Abi Nu’aim 3:348. Redaksi di atas versi Imam Bukhari. [19] Menurut hadits di atas, Rasulullah saw sebelum hijrah ke Madinah pernah melakukan ibadah haji, berarti haji yang dilakukan Rasul saw adalah dalam rangka mengikuti millah Ibrahim as, karena saat itu ibadah haji belum disyariatkan. Berkenaan dengan hadits di atas, penulis telah meneliti beberapa kitab syarahnya untuk mengetahui apakah setelah disyariatkan puasa Arafah di Madinah, Rasul saw mencari tahu waktu pelaksanaan wukuf yang dilakukan orang jahiliyah untuk dijadikan pedoman pelaksanaan puasa Arafah beliau. Ternyata informasi tersebut tidak ditemukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa puasa Arafahnya Rasul saw saat itu tidak berpatokan kepada waktu pelaksanaan wukuf di Arafah. [20] Shahih Bukhari, 5:177, Shahih Muslim, 2:916, Musnad Ahmad, 32:52, Al-Mu’jamul Kabir Li ath-Thabrani, 5:189, As-Sunan al-Kubra Li al-Baihaqi, 4:558. Redaksi di atas versi Imam Bukhari. [21] Hasyiah Raddi al-Mukhtar, II:192 [22] Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, as-Sunan al-Kubra Li al-Baihaqi IV:285, Syu’abu al-Iman, VIII:268. Redaksi di atas versi Abu Daud. [23] Musnad Ahmad, X : 167. No. 26521 dan Sunan an-Nasai, II : 238. Redaksi di atas versi Imam Ahmad. [24] As-Sunan al-Kubra Li an-Nasa-i, II:150 [25] Shahih Muslim, II:833 [26] Mushthafa al-Maraghi: Tafsier al-Maraghi, 2:84, Wahbah al-Zuhaili: Tafsier al-Munir, 2:169, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla: Tafsier al-Manaar, 2:163, Ash-Shabuni: Shafwatut Tafasir juz I halaman 125, Sayyid Quthub: Fii Zhilali al-Qur’an juz I halaman 256, Muhammad ‘Aly as-Sayyis: Tafsier Ayat Ahkaam I : 98, Syekh Muhammad bin Shaalih al-Utsaimin: al-Ilmaam bi ba’dhi ayaati al-ahkaam : 29. [27] Abul Qasim bin Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az-Zamakhsyari: al-Kasysyaf ‘An Haqaaiqi Ghawamidhi al-Tanjiil 1:234, Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani: Maraahi Labiid Li al-Kasyfi Ma’na Qur’ani al-Majiid 1:64 [28] Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur at-Tuunisi: At-Tahriir wa at-Tanwiir 2:194, Nashiruddin bin Abu Sa’id Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi: Anwaaru al-Tanziil wa Asraru al-Ta’wiil 1:127 [29] Shahih Muslim, 3:1565, Sunan at-Tirmidzi, 4:102, Sunan an-Nasa-i, 7:211, Sunan Ibnu Majah, 2:1052, Shahih Ibnu Hibban, 13:239, Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain Li al-Hakim, 4:245. Redaksi di atas versi Imam Muslim. [30] Shahih Muslim 5:367, Sunan Abi Daud 6:270, Sunan at-Tirmidzi 3:122, Sunan an-Nasa-i 7:263, Musnad Ahmad 6:185, as-Sunanu al-Kubra Li al-Baihaqi 4:251, as-Sunanu al-Kubra Li an-Nasa-i 2:68, Sunan ad-Daruqutni 5:471 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 7:171. Redaksi di atas versi Imam Muslim. [31] Selain agama Islam, mayoritas agama lain pun menjadikan peredaran bulan sebagai standar waktu untuk pelaksanaan upacara-upacara keagamaan mereka. Seperti agama Budha menetapkan hari waisaknya saat bulan purnama. Agama Hindu menetapkan hari Nyepinya pada saat bulan mati. Agama Kristen/Katolik menetapkan hari Paskahnya pada hari minggu setelah purnama di awal musim semi, dan agama Konghuchu menetapkan hari Imleknya setelah bulan mati pada musim hujan (Januari/Februari). [32] Sumber gambar diambil dari program Accurate Times milik Muhammad Syaukat Audah. [33] Dalam penetapan Awal Bulan Hijriyah, Indonesia menganut prinsip wihdatul mathali’ fi wilayatil hukmi, maksudnya seluruh wilayah Indonesia disatukan dalam satu mathla’, artinya meskipun hilal hanya terlihat di sebagian wilayah barat Indonesia, maka malam itu dan besok harinya sudah masuk bulan baru dan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia walaupun di Indonesia bagian timur hilalnya belum terlihat.
Reporter: Reporter Editor: admin