Mengurai Kontroversi Takbiran Iedul Adha

oleh Reporter

20 Agustus 2018 | 17:57

Sebagaimana telah kita maklumi bahwa saat Iedul Fitri dan Iedul Adha kaum muslim disyariatkan bertakbir. Meski demikian terdapat perbedaan durasi dan interval waktu pelaksanaan takbir di antara keduanya.

Saat Iedul Fitri disyariatkan bertakbir sejak dari rumah menuju dan saat di tanah lapang tempat salat ied, hingga imam memulai salat. Praktik demikian itu sebagaimana diterangan dalam hadis berikut ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ الْفِطْرِ مِنْ حِينِ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ حَتَّى يَأْتِىَ الْمُصَلَّى

“Dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah saw. bertakbir pada iedul fitri dari mulai keluar rumah hingga mendatangi lapang.” HR. Al-Baihaqi. [1]

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ  فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى

 “Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang.” HR. Ibnu Abu Syibah. [2]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa durasi dan interval waktu takbir pada Iedul Fitri sangat terbatas, yaitu sejak keluar rumah hingga shalat iedul fitri dilaksanakan.

 

  1. Batas Waktu Takbiran Iedul Adha

Takbir pada Iedul Adha berbeda dengan Iedul Fitri, karena durasi dan interval waktu pelaksanaanya lebih panjang selama lima hari, yaitu sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga Ashar 13 Dzulhijjah. Ketentuan takbir demikian itu merujuk kepada hadis Nabi saw. berikut ini:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Dari Jabir, ia berkata, ‘Nabi saw. bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh hingga salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah)’.” HR. Al-Baihaqi. [3]

Dalam riwayat lain disebutkan oleh Ali bin Abu Thalib dan ‘Ammar bin Yasir:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ فِي الْمَكْتُوبَاتِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ. 

“Sesungguhnya Nabi saw. menjaharkan basmalah pada shalat-shalat wajib dan beliau berqunut pada shalat shubuh, dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq.” HR. Al-Hakim dan Ad-Daraquthni. [4]

Imam Al-Hakim (w.405 H) berkata:

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ ، وَلاَ أَعْلَمُ فِي رُوَاتِهِ مَنْسُوبًا إِلَى الْجَرْحِ وَقَدْ رُوِيَ فِي الْبَابِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَغَيْرِهِ ، فَأَمَّا مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيدٍ فَصَحِيحٌ عَنْهُمُ التَّكْبِيرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Ini hadis shahih sanadnya, dan saya tidak mengetahui pada rawi-rawinya nisbat jarah (celaan) dan dalam topic ini telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan lainnya. Adapun amal Umar, Ali, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Sa’id maka shahih bersumber dari mereka bertakbir sejak pagi pada hari Arafah hingga akhir hari tasyriq.” [5]

Takbir Iedul Adha seperti pengamalan Nabi saw. di atas dipraktikan pula oleh para shahabat sebagai berikut:

Pertama, Umar bin Khatab

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ ، قَالَ : كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ.

“Dari Ubaid bin Umar, ia berkata, ‘Umar bin Khatab bertakbir setelah shalat shubuh pada hari Arafah hingga shalat Zuhur di akhir hari tasyriq.”HR. Al-Hakim. [6]

Hadis di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khatab bertakbir hingga 13 Dzulhijjah dan menghentikannya pada waktu Zuhur.

Kedua, Ali bin Abu Thalib

عَنْ شَقِيقٍ ، قَالَ : كَانَ عَلِيٌّ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ ، ثُمَّ لاَ يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Dari Syaqiq, ia berkata, ‘Ali bertakbir setelah shalat shubuh pada pagi hari Arafah kemudian tidak menghentikannya hingga imam shalat di akhir hari tasyriq, lalu bertakbir setelah Ashar.”HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi. [7]

Hadis di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abu Thalib bertakbir hingga 13 Dzulhijjah dan masih bertakbir setelah Ashar.

Ketiga, Abdullah bin Mas’ud

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ سَعِيدٍ ، قَالَ : قَدِمَ عَلَيْنَا ابْنُ مَسْعُودٍ فَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ.

“Dari Umair bin Sa’id, ia berkata, ‘Ibnu Mas’ud datang menemui kami, maka ia bertakbir sejak shalat shubuh pada hari Arafah hingga shalat Ashar di akhir hari tasyriq.” HR. Al-Hakim. [8]

Keempat, Abdullah bin Abbas

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Sesungguhnya Ibnu Abbas, bertakbir sejak pagi pada hari Arafah hingga shalat Ashar di akhir hari tasyriq.” HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. [9]

Berbagai keterangan di atas, baik hadis marfu’ (terhubung kepada Nabi) maupun mauquf (terhubung kepada shahabat) menunjukkan takbiran Iedul Adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah waktu Ashar atau setelah Ashar.

Meski demikian, namun ada sementara pihak yang berpendapat bahwa takbir Iedul Adha itu dilaksanakan selama 13 hari, dimulai sejak tangga 1 hingga berakhir pada 13 Dzulhijjah. Pendapat ini berhujjah dengan hadis lain, selain hadis-hadis di atas, sebagai berikut:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Ibnu Umar dan Abu Huraerah pergi ke pasar pada hari-hari yang sepuluh sambil bertakbir dan orang-orang bertakbir bersama takbir keduanya.” HR. Al-Bukhari secara ta’liq. [10]

Dari kalimat:

فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ

“pada hari-hari yang sepuluh sambil bertakbir.” Diambil dalil bahwa takbiran Iedul Adha itu pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Hemat kami, aspek pendalilan (wajh al-istidlaal) demikian itu tidak tepat jika merujuk pada  wajh al-istidlaal Imam Al-Bukhari, karena amal Ibnu Umar dan Abu Huraerah itu ditempatkan pada bab berikut:

بَاب فَضْلِ الْعَمَلِ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ وَالْأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا

“Bab: Keutamaan Beramal Pada Hari-hari Tasyriq, dan Ibnu Abbas berkata, ‘Sebutlah nama Allah pada hari yang telah ditentukan, yaitu sepuluh hari dan hari yang berbilang  adalah Hari-hari Tasyriq, serta Ibnu Umar dan Abu Huraerah pergi ke pasar pada hari-hari yang sepuluh sambil bertakbir dan orang-orang bertakbir bersama takbir keduanya.”[11]

Berdasarkan penjelasan dari Imam Al-Bukhari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat fii Ayyam al-‘Asyr yukabbiraani tidak menunjukkan bahwa keduanya  bertakbir full selama 10 hari pertama, sejak tangga 1 hingga 10 Dzulhijjah, namun pada hari-hari tertentu dalam 10 hari pertama bulan itu. Hari-hari yang dimaksud mesti dipahami sesuai dengan pengamalan Nabi saw. dan praktik para shahabat Nabi lainnya, yaitu 9-13 Dzulhijjah, karena tidak mungkin shahabat Nabi saw. dengan sengaja menyalahi syariat beliau.

 

  1. Redaksi dan Kaifiyat (Tata Cara) Takbir

Petunjuk tentang redaksi dan kaifiyat takbir didapatkan dari ucapan atau amal sahabat (hadis mauquf), baik secara khusus berkaitan dengan event Ied maupun event umum. Keterangan redaksi takbir dalam event umum merujuk kepada penjelasan Salman al-Farisi, sebagai berikut:

عَنْ أَبِى عُثْمَانَ النَّهْدِىِّ قَالَ : كَانَ سَلْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُعَلِّمُنَا التَّكْبِيرَ يَقُولُ : كَبِّرُوا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا

“Dari Abu Usman an-Nahdi, ia berkata, “Salman mengajarkan takbir kepada kami, ia berkata, ‘Bertakbirlah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar kabiira’.” HR. Al-Baihaqi. [12]

Sedangkan redaksi takbir dalam event khusus ied, merujuk kepada keterangan para shahabat Nabi saw. sebagai  berikut:

عَنْ أَصْحَابِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ صَلاةَ الْغَدَاةِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَيَقْطَعُ صَلاةَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، يُكَبِّرُ إِذَا صَلَّى الْعَصْرَ قَالَ: وَكَانَ يُكَبِّرُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Dari para shahabat Ibnu Mas’ud, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir sejak shalat shubuh pada hari Arafah dan berhenti pada shalat Ashar di hari Nahar (10 Dzulhijjah), setelah shalat Ashar beliau bertakbir, ia (Rawi) berkata, ‘kaana yukabbiru.’: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  HR. Ath-Thabrani. [13]

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ أَبِي الأَحْوَص عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Dari Abu al-Ahwash, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir pada hari-hari tasyriq: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  HR. Ibnu Abi Syaibah. [14]

Pengamalan takbir versi Ibnu Mas’ud di atas sejalan dengan Ali bin Abu Thalib, sebagaimana dijelaskan Syarik bin Abdullah an-Nakha’I:

قُلْتُ لأَبِي إِسْحَاقَ : كَيْفَ كَانَ تَكْبِيرُ عَلِيٍّ ، وَعَبْدِ اللهِ ؟ فَقَالَ : كَانَا يَقُولاَنِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Saya bertanya kepada Abu Ishaq, ‘Bagaimana takbir Ali dan Ibnu Mas’ud?’ Maka ia menjawab, ‘Keduanya mengucapkan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu’.”  HR. Ibnu Abi Syaibah. [15]

Begitu pula pengamalan Umar bin Khatab, sebagaimana diterangkan Ubaid bin Umair:

أَنَّ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاةِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّاِم التَّشْرِيْقِ يُكَبِّرُ فِي الْعَصْرِ يَقُوْلُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Bahwa Umar bertakbir sejak shalat shubuh pada hari Arafah hingga shalat Zuhur pada akhir hari tasyriq, beliau bertakbir pada waktu Ashar dengan mengatakan: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  HR. Ibnu al-Mundzir. [16]

Pengamalan takbir seperti di atas bukan ijtihad pribadi shahabat, melainkan ijma shahabat, karena selain merupakan amal jama’I (kolektif) juga tidak diriwayatkan terdapat pengingkaran dari salah seorang pun shahabat Nabi. Amal kolektif demikian itu sebagaimana diterangkan oleh Ibrahim an-Nakha’i:

كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلٌ الْقِبْلَةَ فِي دُبُرِ الصَّلاَة : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Mereka bertakbir pada pada hari Arafah, dan salah seorang di antara mereka menghadap kiblat setelah melaksanakan shalat: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  HR. Ibnu Abi Syaibah. [17]

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa redaksi takbir dalam Iedul Fitri dan Iedul Adha, yang sesuai dengan petunjuk syariat, dapat menggunakan dua versi redaksi:

  1. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.” 
  2. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar kabiiraa.

Sementara dengan lafal Allaahu Akbar sebanyak tiga kali dan tambahan redaksi lainnya, tidak berlandaskan dalil yang shahih, bahkan tidak berdalil sama sekali. Sehubungan dengan itu, Imam Ahmad menegaskan takbir Ibnu Mas’ud (Allaahu Akbar dua kali) merupakan takbir yang shahih. Abu Dawud berkata:

قُلْتُ لِأَحْمَدَ: كَيْفَ التَّكْبِيرُ؟ قَالَ: كَتَكْبِيرِ ابْنِ مسعودٍ، يَعْنِي: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.قَالَ أَحْمَدُ: يَرْوُونَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: يُكَبِّرُ ثَلَاثًا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ (اللَّهُ أَكْبَرُ) ، قَالَ أَحْمَدُ: كَبِّرْ تَكْبِيرَ ابْنِ مسعودٍ.

“Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Bagaimana bertakbir?’ Ia menjawab, ‘Seperti takbirnya Ibnu Mas’ud, yaitu Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.’ Ahmad berkata, ‘Mereka meriwayatkan dari Ibnu Umar: ‘Ia bertakbir tiga kali: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Ahmad berkata,  ‘’Bertakbirlah seperti takbirnya Ibnu Mas’ud’.”[18]

Adapun teknis pelaksanaanya, karena pada hadis-hadis itu tidak ditentukan, maka kita dapat mengaturnya sedemikian rupa, baik ketika berkumpul di masjid maupun di rumah masing-masing, sebab pada prinsipnya selama 5 hari itu (9-13 Dzulhijjah) tidak “kosong” dari gema takbir. 

Syariat Nabi saw. berkenaan dengan Iedul Adha ini tampaknya mulai “ditinggalkan” oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia. Karena itu, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk Ihyaa As-Sunnah (menghidupkan syariat Nabi).

 

 

***

Penulis: Amin Muchtar, sigabah.com

 

[1]Lihat, As-Sunan al-Kubra, III:279, No. 5926

[2]Lihat, Al-Mushannaf, I:487

[3]Lihat, As-Sunan al-Kubra, III:312, No. 6501

[4]Lihat, HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:439, No. 1111,  ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:49, No. 26

[5]Lihat, Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:439, No. 1111,  Sunan Ad-Daraquthni, II:49, No. 26

[6]Lihat, Al-Mustadrak, I:439, No. 1112. 

[7]Lihat, Al-Mustadrak, I:440, No. 1113, As-Sunan al-Kubra, III:314, No. 6069

[8]Lihat, Al-Mustadrak, I:440, No. 1115.

[9]Lihat, Al-Mustadrak, I:440, No. 1114, As-Sunan al-Kubra, III:314, No. 6070

[10]Lihat, Shahih Al-Bukhari, IV: 33. Ta’liq artinya membuang  seorang rawi atau lebih, bahkan seluruhnya pada jalur periwayatan hadis. Hadis yang di-ta’liq disebut mu’allaq. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mu’allaq itu adalah hadis yang dibuang rawinya, baik seorang ataupun lebih, bahkan seluruhnya, dari permulaan sanadnya. (Lihat, Hady as-Sariy, hal. 654)

[11]Lihat, Shahih Al-Bukhari, IV: 33. Ta’liq artinya membuang  seorang rawi atau lebih, bahkan seluruhnya pada jalur periwayatan hadis. Hadis yang di-ta’liq disebut mu’allaq. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mu’allaq itu adalah hadis yang dibuang rawinya, baik seorang ataupun lebih, bahkan seluruhnya, dari permulaan sanadnya. (Lihat, Hady as-Sariy, hal. 654)

[12]Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:316, No. 6076

[13]Lihat, Al-Mu’jam al-Kabir, IX:307, No. 9538.

[14]Lihat, Al-Mushannaf, I:490, No. 5651

[15]Lihat, Al-Mushannaf, I:490, No. 5653.

[16]Lihat, Al-Awsath fii as-Sunan wa al-Ijmaa’ wa al-Ikhtilaaf, IV:33.

[17]Lihat, Al-Mushannaf, I:490, No. 5650

[18]Lihat, Masaa’il al-Imaam Ahmad Riwayah Abu Dawud as-Sijistani, I:88

Reporter: Reporter Editor: admin