Mensikapi Finalisasi Dari Akhir Proses Demokrasi Pilpres 2019

oleh Reporter

28 Juni 2019 | 08:40

Masyarakat Indonesia bukan pertama kali menghadapi persoalan demokrasi baik dari segi proses ataupun hasil dari proses tersebut. Jika diukur apakah proses demokrasi kita telah mencapai nilai yang baik tentu masih banyak sekali evaluasi antara Das sollen (peraturan tertulis) dengan Das Sein (peristiwa kongkret).

Kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi pun masih perlu ditingkatkan, walaupun pada tahun ini partisipasi dan kepedulian masyarakat akan proses demokrasi khususnya Pilpres meningkat tajam sebagaimana akhir-akhir ini ruang-ruang public yang pada mulanya tidak pernah membicarakan politik, pada hari ini hampir setiap celah dan ruang selalu ada warna perbincangan atau perdebatan politik.

Kedewasaan yang belum matang kemudian melahirkan gesekan-gesekan tajam antara satu kubu dengan kubu yang lainnya, walaupun sebetulnya gesekan tersebut lahir bukan semata-mata karena ketidak siapan masyarakat dalam mendewasakan dirinya untuk menghadapi proses demokrasi tapi juga di pengaruhi oleh aturan main sebagaimana diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu beserta dengan aturan-aturan turunannya.

Saat ini kita telah bersama-sama mencapai titik akhir proses dari pesta demokrasi lima tahunan. Dengan telah dibacakannya hasil putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan menolak seluruh dalil permohonan pemohon, sehingga hal tersebut merupakan legitimasi hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU dan di umumkan pada tanggal 21 Mei 2019 bahwa pasangan Capres Cawapres terpilih berdasarkan suara terbanyak adalah jatuh pada pasangan 01 Jokowi – Ma’ruf Amin.

Putusan hakim merupakan hal yang harus kita hormati, baik sebagai pihak yang kalah atau pihak yang dimenangkan. Sebagaimana kisah persengketaan antara Ali bin Abi Thalib dengan seorang yahudi yang diputus oleh Syuraih Al-Qodhi, pada saat itu Syuraih telah menerapkan asas-asas hukum positif seperti audiatur et altera pars atau eines mannes rede ist keines mannes rede yang pada intinya hakim harus mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa, begitupun asas pembuktian Actori Incumbit Probatio bahwa orang yang menuntut harus membuktikan, dimana pada saat itu Syuarih meminta Ali untuk membuktikan tuntutannya, begitupun pada saat itu telah hidup asas equality before the law bahwa kedudukan para pihak adalah sama dihadapan hukum, sehingga syuraih menolak kesaksian hasan sebab hasan adalah anak kandung Ali sedangkan aturan dalam Islam seorang anak tidak dapat menjadi saksi untuk bapaknya, padahal di sisi lain Ali adalah seorang Amirul Mu’minin. Sehingga pada akhirnya Ali menghormati dan menerima putusan Syuraih dengan merelakan baju besi tersebut kepada orang yang menguasainya.

Dari kisah tersebut terlepas dari shahih atau tidaknya, kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting bahwa suatu peristiwa hukum ketika dihadapkan kepada seorang hakim maka harus dapat dibuktikan agar hakim mencapai keyakinannya pada saat memutus perkara. Adagium yang ditulis oleh Sir William Black Stone seorang Hakim Agung Inggris dalam bukunya Commentaries on the Laws of England (1760) ia mengatakan "It is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer" (Lebih baik melepaskan 10 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak berdosa) adalah berkaitan dengan pembuktian dan keyakinan seorang hakim dalam memutus perkara. Maka fakta peristiwa hukum yang terjadi diluar persidangan mungkin saja ada dan memang terjadi, sebagaimana dalam kisah Ali bin Abi Thalib di atas bahwa faktanya baju besi itu adalah milik Ali yang dipungut oleh orang Yahudi, tapi ketika dihadapkan ke persidangan Ali tidak memiliki alat bukti yang cukup maka putusan Syuraih Al-Qodhi harus berpegang pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Sebagian dari kita mungkin merasakan ada kecurangan dalam Pilpres tahun ini sebagian lain mungkin mengalami langsung, namun tatkala hal tersebut di bawa kehadapan seorang hakim maka bukti yang diajukan harus lah kuat sehingga dapat mempengaruhi keyakinan hakim pada saat memutus perkara. Jika kemudian tuntutan-tuntutan kita ditolak oleh hakim bukan berarti hal-hal yang kita dalilkan itu tidak benar, namun kita mungkin berada pada posisi pihak yang inferior tidak cukup kuat untuk membuktikan hal tersebut sebagaimana yang di alami oleh Ali bin Abi Thalib dalam kisahnya bersengketa melawan orang Yahudi.

 

 

***

Penulis: Zamzam Aqbil Raziqin (Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum Persis)

Reporter: Reporter Editor: admin