Menyoal Peran A. Hassan di Kandang Banteng

oleh Reporter

07 Juni 2017 | 16:14

Ada agenda acara yang tidak  biasanya di kantor Megawati Institute, Menteng Jakarta Pusat pada hari Selasa, 6 Juni 2017, lalu yang bertepatan dengan 11 Ramadhan 1438 H. Fenomena tidak biasanya itu setidaknya dari tema kegiatan dan sebagian pesertanya yang menghadiri acara tersebut. Sebagai institusi yang menjadi dapur pengkajian dan penelitian yang didirikan oleh seorang tokoh partai terbesar dan yang sedang berkuasa, tentu hal yang wajar  mengkaji dan meriset segala hal yang berkaitan dengan kepentingan tokoh maupun lembaga partai tersebut. Demikian juga suatu yang lumrah sebagai lembaga ilmiah untuk menghadirkan narasumber dan peserta yang beragam latar belakang. Namun terasa istimewa ketika tema itu justru diberi judul besar “Ngaji Bareng Bung Karno” dan salah satu tema kecilnya adalah pengaruh A. Hassan (Persis) terhadap pemikiran keislaman Bung Karno. Tema ini tentu saja paradoks dengan stigma yang selama ini kuat berkembang di kalangan mayoritas muslim Indonesia bahwa seakan semua institusi yang berafiliasi ke Partai Moncong Banteng itu adalah tidak suka terhadap Islam dan semua hal yang terkait dengannya, dan yang terasa lebih tidak biasa lagi adalah dihadirkannya salah seorang narasumber dari alumni Pesantren Persis Bangil yaitu Prof Syafiq Mugni, yang sekarang menjadi salah seorang Ketua PP. Muhammadiyah. Akumulasi dari itu semua nampaknya yang menjadi daya tarik bagi sebagian alumni Pesantren dan aktivis muda Persis untuk hadir pada acara ini sehingga terkesan mendominasi peserta yang lain yang datang dari berbagai kalangan muslim maupun non muslim. Sungguh suatu pemandangan yang sangat langka dimana kader-kader PERSIS tanpa rasa canggung dan minder bertandang di Lembaga Penelitian milik Ketum PDIP. Hal ini patut jadi preseden baik bahwa suatu saat kader PERSIS bukan hanya hadir sebatas bersumbang saran dalam diskusi, tetapi benar-benar mampu berkiprah dan memposisikan peran A.Hassan di  “Kandang Banteng” yang sesungguhnya. Pada sesi diskusi, saya diberi kesempatan khusus untuk meyampaikan tanggapan terhadap tiga narasumber. Yang ingin saya kemukakan pada saat itu sebenarnya banyak, tetapi karena masalah waktu saya tidak mungkin menjelaskan secara detail. Pada tulisan inilah saya sampaikan tanggapan lengkap saya atas diskusi itu: Pertama-tama saya mengajak semua hadirin untuk mendoakan Bung Karno agar diberi kedudukan yang indah di Surga Allah SWT, dan juga diampuni segala dosa dan kekhilafannya. Sebagai Proklamator kemerdekaan  dan Presiden Pertama RI tentu saja tidak sedikit jasanya bagi negara dan bangsa juga agama, dan sebagai manusia biasa beliau juga tidak akan luput dari dosa dan kesalahan. Kedua, saya setuju dengan pernyataan Pak Amich Al Humami, Ph.D, bahwa seorang tokoh yang besar dan briliant seperti Bung Karno tidaklah mungkin terbentuk hanya dengan terpaan pemikiran dan didikan terbatas satu dua guru di belakangnya, melainkan dibentuk oleh guru pemikir dan pergaulan yang seluas-luasnya, bukan hanya yang lagsung berhadapan tetapi juga dari pemikiran tokoh-tokoh dunia yang sedang berkembang pada zamannya. Demikian pula halnya dengan pemikiran dan sikap keagamaan Bung Karno semenjak bersentuhan dengan gerakan Islam hingga mencapai puncak kepemimpinan tertinggi untuk pertama kalinya di bumi Indonesia ini, yaitu menjadi Presiden RI, semuanya bergerak secara dinamis dan dialektis untuk menjadi sikap dan kebijakannya dalam beragama.  Persentuhan Bungkarno dengan pemimpin Syarekat Islam, HOS. Cokro Aminoto, di Jogjakarta, telah memberi kesan yang kuat terhadap pembentukan kepemimpinan dan kecintaannya terhadap politik dan pergerakan kemerdekaan. Bahkan gaya pidato dan kemampuan orasinya dalam menggerakan semangat perjuangan dan dalam memobilisasi massa disebut-sebut tersibghah oleh gayanya HOS Cokro Aminoto. Persentuhan Bung Karno dengan A. Hassan di Bandung telah menginspirasi kesadaran keislaman Bung Karno lebih baik lagi dari sebelumnya. Pemikiran-pemikiran yang tajam dari A. Hassan tentang pemurnian ajaran Islam dan penerimaannya terhadap kemodernan terasa cocok bagi jiwa Bung karno yang revolusioner dan agresif. Persahabatan dan pertukaran gagasan-pemikiran terus berlanjut secara lebih intensif justru ketika Bung Karno mengalami kesunyiaan di pengasinganya, di Endeh, NTT antara tahun 1932 sampai dengan 1936. Melalui surat menyurat dan bertukar buku karya masing-masing, maka konsepsi pemikiran dan praktek keislaman Bung Karno sudah sangat kuat dipengaruhi pemikiran Tuan A. Hassan. Terbukti bahwa Bung Karno tidak mau mengadakan kenduri Tahlilan kematian Ibu Mertuanya yang wafat di Ende dan bersikukuh meskipun para Kiyai di lingkungan sekitar menggungjingnya. Sedangkan persentuhan Bung Karno dengan Muhammadiyah selain ketika beliau masih tinggal di rumah HOS Cokro Aminoto yang sering bertemu dengan KH. Ahmad Dahlan dalam pengajian di sekitar tempat tinggalnya, juga ketika ketika Bung Karno menetap di Bengkulu dan menikahi salah seorang putri tokoh Muhammadiyah di sana hingga beliau menjadi salah seorang pengurus Muhammadiyah Bengkulu.  Hingga wafatnya Bung Karno berpesan agar ditutup dengan kain berlogo Muhammadiyah sebagai bukti kecintaan sampai akhir hayatnya. Adapun interaksi Bung Karno dengan pemahaman keislaman Nahdhatul Ulama lebih luas lagi di lapangan politik praktis terutama ketika ia telah menjadi Presiden jabatan Menteri Agama hampir selalu diberikan kepada tokoh yang berasal dari NU. Dengan demikian praktis kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang keagamaan sangat kuat dipengaruhi pemikiran Nahdhatul Ulama. Pada saat mulai banyak tokoh Islam dari Syarikat Islam, Persis, Muhammadiyah, Perti, dan lainnya berseberangan haluan dengan Bung Karno tentang NASAKOM, Nahdhatul Ulama justru tampil sebagai penyokong utama kebijakan politiknya. Jauh sebelum itu NU bahkan telah berjasa melalui fatwa atau Resolusi Jihadnya menghadapi agresi Inggris. Demikian pula kedudukan Bung Karno sebagai Kepala Negara dijustifikasi dengan kedudukan sebagai Ulil Amri umat Islam Indonesia yang sah secara hukum fikih melalui Konferensi Alim Ulama NU 1954 yang mengukuhkan gelar Waliyyu Amri al Dharuri bil Syaukah bagi Presiden Soekarno. Ketiga. Terkait hubungan Islam dan keIndonesiaan dalam pandangan PERSIS sudah sangat jelas. PERSIS tidak pernah mempertentangkan keislaman dan keindonesiaan, melainkan keduanya diposisikan agar bisa berjalan seiring pada wilayahnya masing masing. Bahkan organisasi Islam yang pertama benar-benar menggunakan bahasa Indonesia adalah Persatuan Islam (PERSIS). Berbeda dengan nama-nama ormas Islam lainnya yang menggunakan nama dengan bahasa Arab, seperti Muhammadiyah atau pun Nahdhatul Ulama. PERSIS dengan jelas membangun paradigma keIslaman untuk Indonesia membedakan antara masalah-masalah yang pokok aqidah dan ibadah yang tidak bisa ditambah atau dikurang dari masalah muamalah duniawiyah yang terbuka adanya pembaharuan dan inovasi. Prinsip pertama mengacu kepada dalil utama “Kullu bid’atin dhalalah”. Dengan prinsip ini maka PERSIS mengharuskan dirinya menjadi ormas puritan yang fokus gerakannya adalah pemurnian aqidah dan ibadah dari tahayyul, bid’ah, dan syirik dengan konsekwensi PERSIS distigma sebagai ormas yang sangat keras dan kaku. Namun disamping prinsip itu, ada prinsip kedua yang menjadi penyeimbangnya, yaitu “Antum a’lamu biumuri dunyakum”.  Dengan prinsip ini PERSIS terbuka kepada semua budaya ataupun kearifan lokal dan juga ilmu pengetahuan serta penemuan modern selama tidak bertentangan dengan aqidah dan ibadah. Maka kekakuan dan ketegasan di bidang aqidah dan ibadah sudah semestinya diimbagi dengan keluwesan dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan kearifan lokal dan berinovasi di bidang yang dikatagorikan keduniawian. Walaupun sangat disayangkan jika belakangan malah Nahdhatul Ulama yang kemudian mengembangan wacana “Islam Nusantara” sebagai jargon dakwahnya dan Muhammadiyah yang mengembangkan jargon “Islam berkemajuan”, tapi kita tetap bergembira karena setidaknya dua prinsip utama dakwah PERSIS pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan paradigma dakwah ormas lainnya sehingga bisa bekerjasama dengan saudara-saudara kita walau dengan konsepsi yang tidak selamanya harus sama. Terakhir.  Saya, dan kita semua, sudah sepatutnya meneladani dan belajar dari tokoh-tokoh besar bangsa ini untuk kembali merajut kesatuan dan kesatuan bangsa menuju kejayaan dunia-akhirat, kemajuan lahir dan batin, yang belakangan ini indikasinya menjurus kepada persetruan dan perpecahan bangsa.   Penulis Dr. Jeje Zaenudin (Wakil Ketua Umum PP Persis).
Reporter: Reporter Editor: admin