Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semenjak Reformasi bergulir memang keberadaannya cukup fenomenal. Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “partai politik internasional”, walaupun tidak pernah ikut pemilihan umum di manapun.
Sebagai partai, HTI juga tidak pernah melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kekuasaan sebagaimana lazimnya partai politik. Ia malah mirip dengan ormas yang lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial, terutama dakwah; walaupun yang didakwahkan domain utamanya masalah-masalah politik. Hampir dalam setiap dakwahnya HTI mewartakan bahwa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini adalah dengan mewujudkan kekhilafahan.
Khilafah yang dimaksud HTI adalah khilâfah ‘alâ minhâj al-nubuwwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj Nabi Saw.) yang pernah dipraktikkan terutama pada masa Khulafaur Rasyidin. Khilafah ini skupnya bukan hanya untuk satu wilayah, melainkan menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Untuk menegakkannya HTI menolak metode-metode yang dianggapnya sudah gagal antara lain: metode demokrasi, metode perbaikan sosial ekonomi masyarakat, metode perbaikan individu, metode people power, dan metode kudeta seperti saat terjadi Arab Springs.
HT sangat percaya, bahkan sampai pada tingkat memitoskannya, bahwa metode untuk mewujudkan kekhalifahan terdiri dari tiga tahap. Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqîf wa takwîn), kedua, tahap interaksi dan perjuangan di tengah umat (tafa’ul ma’a al-ummah), dan ketiga, tahap penerapan hukum Islam (tathbîq ahkâm al-Islâm).
Pada tahap pertama harus dibentuk partai politik yang tugasnya mencetak kader-kader yang mengusung dakwah khilafah. Setelah itu, kader-kader ini disebar ke tengah-tengah umat pada marhalah kedua untuk menyampaikan dakwah khilafah. Pada akhir marhalah kedua ini, kader-kader partai ini melakukan thalab al-nushrah, yaitu meminta kepada para pemilik kekuasaan untuk menyerahkan kekuasaan kepada kader-kader partai ini (hizbut-tahrir) agar umat diatur dengan sistem hukum Allah Swt. Dengan cara inilah marhalah ketiga dapat diraih dengan gemilang.
Gagasan ini bagi sebagian kalangan terasa sebagai impian yang agak mustahil diwujudkan secera persis seperti itu. Akan tetapi, bagi HT sendiri gagasan ini diyakini amat mendalam sebagai satu-satunya metode yang dapat mewujudkan kembali kekhalifahan Islam seperti pada masa Nabi SAW.
HT bahkan sangat tidak percaya pada mekanisme demokrasi. Mereka menilainya sebagai suatu sistem yang “kufur” karena berasal dari ide Yunani yang menegasikan kekuasaan Tuhan dalam politik. Itulah sebabnya, walaupun mengklaim sebagai partai politik, HT(I) tidak pernah tertarik untuk ikut dalam kontestasi kekuasaan di negara-negara demokrasi.
Pada saat yang sama, HT(I) juga tidak menyetujui sistem kerajaan seperti yang berlaku di beberapa negara Islam semisal Saudi Arabia, Brunai Darussalam, dan lainnya. Mereka menilainya sistem ini adalah juga sistem yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Saw. Secara praktik, entah negara seperti apa yang ingin diwujudkan HT(I) karena hingga saat ini tidak pernah ada role model yang kongkrit untuk zaman sekarang.
Di Indonesia, kelihatannya HT sudah menilai situasi dakwahnya sudah masuk pada tahap kedua. Oleh sebab itu, untuk memuluskan dakwahnya HT membentuk ormas bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan mendaftarkan diri ke Kemenkumham sebagai legalitas. Oleh sebab itu, di Indonesia segala kegiatan HTI adalah legal sebagaimana ormas lain, walaupun gagasan-gagasannya belum tentu disetuji banyak orang.
Setalah belasan tahun HTI menjadi ormas yang sah dan resmi di negeri ini, tiba-tiba publik dikejutkan oleh pengumuman Wiranto yang seolah mengisayaratkan bahwa Ormas ini akan dibubarkan oleh Pemerintah. Pengumuman rencana Pembubaran HTI oleh Pemerintah harus disikapi seluruh elemen umat Islam dengan hati hati dan penuh kewaspadaan.
Sebab selain ada beberapa kejanggalan dalam prosedurnya juga membuka berbagai spekulasi dampak yang akan ditimbulkannya.
Kejanggalan dari aspek prosedur hukum pemerintah melabrak undang undang yang dibuatnnya sendiri bersama DPR, yaitu UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Di mana ormas berbadan hukum hanya bisa dibubarkan melalui putusan pengadilan.
Alasan pembubaran juga sepihak tanpa ada klarifikasi, dialog, maupun surat teguran sebagai peringatan awal. Jika alasannya bertentangan dengan falsafah dan dasar negara apakah itu fakta atau sekedar persepsi dan interpretasi.
Walau HTI sering mengangkat isu kembali ke sistem khilafah Islamiah, pada kenyataanya HTI taat hukum nasional, tidak pernah memberontak, menyampaikan aspirasi dengan demonstrasi yang menunjukan pengakuan pada sistem demokrasi yang mereka kecam sendiri, bahkan mereka jadi ormas yang berbadan hukum.
Kejanggalan juga semakin kuat ketika pemerintah mendasarkan pembubaran HTI karena sering berbenturan dengan ormas lain di masyarakat. Pada kenyataanya hanya belakangan ini saja kegiatan HTI dihalang-halangi dan dibubarkan oleh satu ormas tertentu yang memang tidak menyukainya. Dengan ormas lain, semisal Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PUI, dll., HTI tetap rukun mesti ada perbedaan pandangan tentang beberapa aspek ajaran Islam, terutama konsep khilafah.
Apakah pemerintah akan menjadikan pandangan ormas tertentu yang pro kepada kekuasaannya sebagai hakim yang menentukan mana kelompok ormas yang harus diakui dan mana yang harus dibubarkan, mana yang dinilai sesuai dasar negara dan mana yang divonis mengancam negara. Cara-cara mengambil kebijakan seperti itu tentu sangat naif dan destruktif di sebuah negara yang mengklaim dirinya demokratis.
Sementara di sisi lain, pemerintah begitu berat untuk mengabulkan desakan ormas ormas Islam untuk membubarkan ormas ataupun yayasan yang jelas jelas terindikasi penyelewengan dan penyimpangan seperti Ahmadiyah, ataupun organisasi yang berideologi kiri dan anarkis.
Masyarakat khususnya umat Islam sudah sejatinya meningkatkan kewaspadaan dampak yang mungkin muncul dari rencana pembubaran HTI itu jika benar benar dilaksanakan.
Pertama. Bisa terjadi gelombang perlawanan penolakan dari internal HTI sendiri dan dari ormas dan elemen masyarakat muslim yang lain walaupun berbeda pandangan dengan HTI. Hal itu tentu akan menambah berat beban pekerjaan rezim Presiden Jokowi dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan domestik karena semakin kuat dicitrakan anti ormas Islam dan pro komunis .
Kedua. Harus diwaspadai kemungkinan meluasnya ketegangan dan konflik horizontal di akar rumput, dimana kelompok masyarakat yang anti HTI semakin agresif menghalangi, membubarkan dan menyerang HTI karena seakan mendapat legitimasi dari rencana pembubaran HTI oleh pemerintah. Belum diumumkan akan dibubarkan saja sudah demikian gencar diserang, apalagi jika resmi dibubarkan. Pro kontra pembubaran HTI juga bisa jadi terus meluas apabila tidak ada upaya-upaya persuasif untuk mengeliminirnya.
Jika ini yang terjadi maka konflik horizontal antar umat Islam bisa benar-benar terjadi sebagaimana yang didesain dan diharapkan oleh musuh-musuh Islam dan musuh-musuh NKRI dari dalam maupun luar negeri.
Ketiga. Rencana pembubaran HTI bisa diinterpretasi sebagai wujud nyata upaya pembungkaman gerakan Islam yang kritis terhadap rezim. Ini adalah semacam testcase dan langkah awal untuk mengancam gerakan Islam lainnya yang dianggap anti rezim seperti FPI, MMI, JAT, dan yang lainnya.
Keempat. Rencana pembubaran HTI bisa dinilai sebagai kebijakan blunder yang bisa menjadi boomerang bagi rezim Jokowi sendiri. Bukannya dapat memperkuat posisi Presiden Jokowi yang kekuasaanya hanya tinggal lebih dua tahun setengah lagi, tapi justru bisa berubah menjadi alat isu pemakzulan presiden karena dinilai bertindak otoriter plus represif terhadap ormas Islam dan bertindak inkonstitusional.
Jika itu yang terjadi maka keputusan untuk membubarkan HTI disadari ataupun dapat menjadi isu pembusukan dari dalam tubuh rezim itu sendiri untuk menjatuhkan kredibilitasnya di pilpres 2019. Artinya bahwa kabinet Presiden Jokowi mungkin saja sudah tidak solid lagi.
Di atas semua spekulasi itu, saya secara pribadi mendukung upaya perlawanan hukum dilakukan oleh HTI untuk membuktikan bahwa HTI benar menghormati hukum yang berlaku di negeri ini. Insya Allah masih banyak elemen umat maupun ormas Islam yang berpihak membela perjuangan dan hak-hak konstitusional HTI sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
***
Penulis: KH. Dr. Jeje Zaenudin, Wakil Ketua Umum PP Persis