Disaat acara pembagian rapot yang belum lama ini berlangsung, penulis bertemu dengan seorang alumni yang sudah beranak satu. Kehadiran dia datang ke sekolah almamaternya dulu karena jajap sang adik yang akan mengambil rapot. Maklum sudah begitu lama tidak bertemu, dialog pun begitu mengalir, sang alumni pun seolah memanfaatkan waktu saat jeda acara tersebut.Pertanyaan klasik dari seorang guru mulai muncul, seputar suami, anak, dan kehidupan berumahtangga. Sebuah pertanyaan yang wajar tentunya. Semuanya terjawab melalui dialog. Hanya ketika mengutarakan hal kehidupan dengan mertuanya dia lebih serius. “ Sebenarnya kehidupan rumahtanggasaya sedikit terganggu, kurang nyaman. Saya sempat mengajukan perceraian. Persoalannya, karena mertua telah ikut campur terlalu jauh dalam urusan “manajemen” keluarga saya. Saya sama sekali tidak tahu berapa penghasilan suami dari pekerjaannya, semuanya disetor ke mamahnya (mertua saya,red) Alasannya, khawatir kalau saya sebagai isterinya tidak bisa mengatur keuangan keluarga”
Tantangan dalam kehidupan akan terus mengalir sejalan dengan status yang kita miliki. Persoalan yang kita hadapi sebelum dan sesudah berumahtangga begitu jauh berbeda. Beraahadapan dengan pasangan kita yang memiliki latarbelakang berbeda, pendidikan yang tidak sama, kultur kehidupan yang khas. Terlebih ketika hadir dihadapan kita rentetan keluarga dari pihak pasangan kita, seperti mertua, adik ipar, kakak ipar dan masih banyak yang lainnya.
Penulis sering mengungkapkan ketika mendapat kepercayaan untuk menyampaikan khutbah nikah kepada kedua calon mempelai, bahwa persoalan yang berat bagi mereka adalah ketika sudah berlangsungnya kehidupan berumahtangga. Bukan hanya terbukanya kelemahan masing-masing pasangan, tetapi harus berhadapan dengan orang-orang yang berada disekitar kehidupan kalian, mertua diantaranya. Apalagi bagi pasangan suami isteri yang masih tinggal serumah dengan mertua, tidak nyaman rasanya, ibarat satu mobil yang memiliki dua sopir.
Tidaklah heran bagi pasangan suami isteri yang bafru saja menikah lebih memilih tinggal secara mandiri, walaupun harus mengontrak satu petak, kondisi yang sempit serta fasilitas yang apa adanya, daripada harus tinggal dengan mertua yang dikhawatirkan mengganggu kenyamanan dalam mewujudkan manajemen berumahtangga. Walapun mertuanya itu berkecukiupan dari sisi materi, memiliki tempat tinggal yang luas dan strategis, itu semua tidak membetrikan suatu jaminan. Mereka bukan hanya membutuhlkan kehidupan materiil yang cukup, jaminan makan dan minum, tempat tinggal yang memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu ketentraman hati.
Kepercayaan Harus Total
Disaat kita mempertimbangkan kemudian mempersiapkan pernikahan anak kita, berarti disana tersirat bahwa anak kita akan diberi kepercayaan oleh kita secara total. Banyaknya orangtua yang belum memberikan ijin untuk anaknya menikah, karena orangtua belum total dalam memberikan kepercayaan. Kekhawatiran masih menyelimuti benak sang orangtua disaat anaknya yang akan dinikahkan itu belum menunjukkan kedewasaan, rasa tanggungjawab, dan kemandirian dalam kesehariannya.
Namun disaat orangtua bersiap memberikan kepercayaan secara total, maka kepercayaan yang terwujudpun harus betul-betul bisa diberikan dan dirasakan oleh sang anak. Campurtangan kita terutama dalam urusan rumahtangga anak kita hanya sekadarnya. Sekadar mengetahui secara garus besarnya saja, tidak mesti masuk kepada ranah yang lebih jauh, karena anak kita sudah mendapatkan kepercayaan yang total dari kita sebagai orangtuanya.
Campurtangan orangtua yang berlebihan akan membelenggu kebebasan sang anak dalam melakoni kehidupan berumahtangganya, mereka pun tidak akan bisa bebas berekspresi dan mengaktualisasikan kehidupan berumahtangganya. Segala tindakan dan keputusan suami-isteri selalu terbayang-bayangi oleh kesalahan dan ketidaktepatan. Mereka pun seolah-olah tidak boleh memiliki keinginannya kecuali jika keinginannya itu sejalan dengan keinginan orangtuanya. Secara otomatis, anak-anak kita pun tidak akan berjiwa mandiri dan jauh dari karakter pemberani. Selalu membangun ketergantungan dan ketakutan disaat harus mengambil sebuah keputusan
Bahayanya lagi, jika orangtuanya yang membelenggu itu berumur pendek disaat anaknya belum dewasa. Mereka akan menjadi pasangan yang penuh dengan kegelisahan, karena tidak ada lagi sosok yang diikutinya. Sementara untuk mandiri dalam bersikap dan bertindak tidak bisa, karena selama ini orangtrua yang mengendalikannya
Introspeksi
Tetapi apakah campurtangan yang dilakukan orangtua itu sepenuhnya salah ? tidak tepat ? mengganggu rumahtangga sang anak ? Jawabannya belum tentu juga, karena bisa jadi kebijakan orangtua dalam turut campur urusan rumahtangga sang anak itu karena tidak adanya rasa tanggungjawab dan kepercayaan yang diperoleh orangtua dari anaknya itu.
Karena itu sang anak harus selalu menunjukkan kedewasaan dan rasa tanggungjawab dalam kesehariannya. Baik cara berbicara, berpikir, bertindak dalam memutuskan sebuah perkara. Termasuk juga dalam mengelola urusan keuangan dengan tidak menghambur-hamburkannya.
Menunjukkan sikap hemat dalam memanfaatkan uang hasil usaha suami adalah cara terbaik dalam membangun kepercayaan mertua kepada kita. Kehidupan yang sederhana, mendayagunakan sesuai dengan kebutuhan. Juga jangan terjebak kepada wilayah gengsi dengan mengenyampingkan nuilai-nilai fungsi. Dalam membelanjakan keperluanpun, standar yang kita gunakan bukan hanya mampu tetapi karena butuh.
Berkomunikasi dengan mertua pun harus ditunjukkan oleh kita, bahwa kita menanbung, memiliki investasi usaha, kehidupan keseharian yang sederhana. Itu semua bisa membangun kepercayaan mertua disaat kita harus mengelolan manajemen keuangan keluarga tanpa harus mendapatkan kecurigaan dari sang mertua. Wallahu A’lam
(Oleh. Jejen Jaenudin (Kominfo Persis))