Tiar Anwar Bachtiar
Kemajemukan agama dan kepercayaan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Ia telah menjadi bagian yang telah terintegrasi sejak mula bersamaan dengan lahirnya bangsa ini. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila sejak berdirinya negara ini, perbincangan mengenai hubungan antar-agama dan peran negara di dalam hubungan itu telah menjadi perbincangan awal. Lahirnya Piagam Jakarta yang menjadi dasar lahirnya Pancasila dan UUD 1945 juga telah memuat gagasan-gagasan tentang kemajemukan ini. Salah satunya tercermin dalam sila pertama dalam rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta yang kemudian menjadi kontroversial setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sila ini adalah sila yang telah menyadari adanya kemajemukan itu.
Sila yang dimaksud di atas berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Pada tanggal 18 Agustus 1945, bunyi sila ini berubah menjadi “
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang bertahan hingga kini. Munculnya kalimat awal hingga terjadi perubahan tidak terlepas dari isu kemajemukan beragama di Indonesia. Kemunculan kalimat pertama dipicu oleh suatu dorongan kenyataan bahwa banyak agama di negeri ini hingga harus didasarkan pada prinsip “ketuhanan”—tanpa embel-embel “Tuhan” dengan sifat seperti apa, namun harus ada perlakuan istimewa kepada kelompok mayoritas, yaitu umat Islam. Mereka hendaknya diberi keleluasaan untuk menjalankan keyakinannya, termasuk keyakinan-keyakinan yang berkait dengan urusan publik yang hanya bisa dijalankan dengan difasilitasi negara. Rupanya pemikiran ini belum sepenuhnya diterima oleh elit pemimpin saat itu hingga harus dihapus hak keistimewaan untuk umat Islam. Kata-katanya berubah menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” yang hanya menegaskan bahwa Indonesia adalah negara berdasar ketuhanan, bukan negara sekuler yang tidak mengakui keterlibatan agama dalam penyelenggaraan negara.
Kesadaran akan kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia sejak awal berdirinya negara ini tentu mendorong negara untuk menjadikan isu ini sebagai perhatian. Kemajemukan yang ada harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola kemajemukan ini akan menjadi kontra-produktif dengan visi pembangunan negara. Kemajemukan memang seperti pisau bermata dua. Dia bisa menjadi sesuatu yang mendukung berkembangnya negara, tapi juga bisa menghambat. Mendukung ketika agama-agama itu menjadi kekuatan
supportif untuk mendukung berbagai cita-cita pendirian negara ini; dan menghambat bila agama malah menjadi sumber konflik primordial yang menghabiskan energi hanya untuk mengatasinya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kemudian dibuat berbagai formula pendekatan dan kegiatan agar agama tidak menjadi sumber penghambat pembangunan.
Hingga tahun 1980-an gagasan-gagasan tentang bagaimana menangani kemajemukan untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama merupakan gagasan yang mendapat dukungan dari berbagai pemimpin agama. Formula yang ditawarkan dikenal dengan istilah “toleransi beragama”. Istilah ini mengacu pada kontrol tindakan sosial terhadap penganut agama yang berbeda. Tindakan yang dimaksud adalah menghormati keberadaan agama lain dan memberikan keleluasaan agar penganut agama yang berbeda dapat menjalankan keyakinan mereka tanpa dihalang-halangi oleh penganut keyakinan agama lain. Semasa Orde Baru, konsep toleransi inilah yang paling sering menjadi acuan untuk mengelola kemajemukan beragama.
Sampai pada taraf tertentu konsep ini cukup mendapat sambutan positif. Bahkan gagasan ini mendapatkan dukungan dari hampir semua pemuka agama. Kerukunan pun secara relatif dapat diwujudkan. Walaupun karena ada usaha-usaha penyebaran agama tertentu di daerah-daerah yang sebelumnya telah menganut agama yang berbeda, ketegangan antar-umat beragama tidak bisa dihindarkan sepenuhnya. Masih terjadi penolakan pembuatan Mesjid di daerah yang mayoritas Kristen, misalnya, hingga pemeluk Islam di daerah tersebut tidak dapat menjalankan ibdahnya secara sempurna. Di tempat lain yang mayoritas Muslim, juga seringkali ditolak pembangunan gereja baru. Masalah ini sesungguhnya sudah cukup berhasil diredam potensi konfliknya melalui SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah. Ada juga beberapa kerusuhan masal yang semula dipicu oleh masalah konflik etnik kemudian sampai membawa-bawa nama agama seperti kerusuhan yang terjadi di Sampit Kalteng antara etnik Madura dengan Dayak tahun 2001 dan Kerusuhan Poso Sulsel tahun 1998 dan 2000 yang akar-akarnya sudah muncul sejak tahun 1995-an, serta kerusuhan Ambon tahun 1999.
Kembali maraknya berbagai konflik dan anarkisme yang mengatasnamakan agama, terutama setelah Orde Baru runtuh menyebabkan muncul gagasan-gagasan baru untuk mengatasi konflik-konflik atas nama agama ini demi terwujudnya kerukunan yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas demi tercapainya misi pembangunan. Gagasan ini adalah gagasan yang ingin mencoba memindahkan domain penanganan hubungan antar-agama dari ranah sosial kepada ranah teologis. Secara teoretis pendekatan ini sering disebut sebagai “pluralisme agama”. Dasar-dasar wacana mengenai gagasan ini, di kalangan Muslim sudah ditemukan dalam tulisan-tulisan Nurcholish Madjid yang tersebar dalam berbagai bukunya sejak tahun 80-an. Gagasan pluralisme agama sebagai solusi untuk menciptakan kerukunan beragama ini kemudian populer setelah Era Reformasi dan menjadi pemikiran
mainstream untuk menangani masalah-masalah hubungan antar-agama. Hampir dalam setiap kajian, diskusi, seminar, dan bahkan riset-riset tentang kerukunan beragama, teori ini selalu menjadi landasan teori yang dianggap paling memadai dibandingkan teori “toleransi” yang dikenal sebelumnya yang hanya berdimensi sosial.
[1]
Evaluasi terhadap Pendekatan Pluralisme Agama
Per definisi, teori “pluralisme agama” ini sesungguhnya memiliki beberapa pengertian. Dalam
Routledge Encyclopedia of Philosophy seperti dikutip Budi Munawar-Rachman, misalnya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pluralisme agama” bisa salah satu dari makna-makna berikut ini: 1)
As the name of the woldview according to which one’s religion is not the sole and exclusive source of thruth, and thus that at least some truths and true values exist in other religions. 2)
As acceptance of the concept that two or more religion with mutually exclusive truth claim are equally valid. This posture often emphasizes religion’s common aspects; 3)
Sometimes as a synonym for ecumenism, i.e., the promotion of some level of unity, co-operation, and improved understanding between different religions or different denominations within a single religion; 4)
And as synonym for religious tolerance, which is condition of harmonious co-existence between, adherents of different religions or religious denominations. (Rahman, 2011: 188)
Dalam satu pengertian, pluralisme agama ini bisa semakna dengan “toleransi” agama. Akan tetapi, dalam teori yang dikembangkan di Indonesia pasca-Orde Baru “pluralisme agama” yang dimaksud bukan toleransi, karena teori ini sendiri muncul sebagai kritik terhadap konsep “toleransi” yang sebelumnya dijadikan sandaran teoretis dalam penanganan masalah-masalah hubungan antar-umat beragama. Konsep toleransi dianggap tidak fundamental sehingga pendekatannya justru harus langsung masuk ke dalam tataran konsep teologis. Oleh sebab itu, makana pluralisme yang dimaksud adalah:
pertama, pengakuan atas kebenaran setiap agama sehingga tidak ada
truth claim secara eksklusif atas kebenaran agama sendiri dari setiap pemeluk agama; dan
kedua, pengakuan bahwa setiap agama bersatu dalam pengalaman esoteris, walaupun yang terlihat secara eksoteris berbeda-beda (
transcendent unity of religion).
Gagasan tentang pluralisme agama berlainan agak berlainan dengan toleransi antar-umat beragama. Apabila toleransi antar-umat beragama berkaitan dengan hubungan sosial antar-umat beragama, sementara pandangan tentang pluralisme pendekatannya lebih doktrinal dan teologis, sekalipun sama-sama ingin mewujudkan hidup beragama yang dapat saling berdampingan. (Alkaf, 2011: 203; Rachman 2011: 210).
Di kalanga umat Islam, ketika gagasan ini digulirkan tahun 1980-an oleh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan lain-lain kontroversi sudah terjadi. Apalagi kemudian ketika secara lebih terbuka dipopulerkan oleh gerakan-gerakan Islam Liberal setelah tahun 2000-an, kontroversinya semakin menguat. Puncak dari kontroversi ini adalah ketika terbit fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 tentang haramnya Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme yang sering secara nyinyir disingkat menjadi “Sepilis”. Karena lahir dari kontroversi, fatwa inipun tidak sepi juga dari kontroversi. Pihak-pihak pendukung gagasan “pluralisme agama” juga tidak diam. Mereka segera menerbitkan tulisan, baik buku maupun artikel-artikel di jurnal dan koran-koran, untuk membela pandangan mereka dan menganggap fatwa MUI telah salah. Pihak MUI dan para pendukungnya pun tetap bertahan dengan pandangan mereka. Oleh sebab itu, hingga saat ini masalah “pluralisme agama” ini tetap masih kontroversial. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai kontroversi teori ini di Indonesia. Akan lebih bermakna dan tidak tendensius apabila kita lihat secara objektif bagaimana dampak penggunaan teori ini dalam konteks penyadaran pentingnya menciptakan kerukunan di tengah umat beragama, terutama dari pengalaman umat Islam.
Sebagai aktivis yang terjun langsung berhadapan dengan masyarakat, penulis justru menyaksikan dan mengalami bahwa pendekatan “pluralisme agama” untuk menciptakan kesadaran hidup berdampingan dengan agama lain, justru malah kontra-produktif, apalagi ketika yang membawanya pemerintah. Banyak kerugian yang dialami pemerintah dalam hal ini.
Pertama, karena pendekatan “pluralisme agama” ini berdimensi teologis, maka isu yang dimunculkan menjadi sangat sensitif. Memahamkan umat beragama agar menerima pandangan-pandangan pluralisme justru menabrak doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh para propagandis agama. Di satu sisi “pluralisme” memaksa setiap pemeluk agama untuk melepaskan klaim kebenaran atas agama yang dianutnya, sementara setiap hari para pendakwah agama selalu mengajarkan bahwa agama merekalah yang paling pantas untuk dianut. Secara sosiologis, kedekatan para propagandis (baca: pendakwah) kepada masyarakat jauh melebihi para pengusung gagasan “pluralisme” yang lebih banyak berbicara di media-media yang terlampau formal dan jauh dari masyarakat. Oleh sebab itu, hampir bisa dipastikan bahwa gagasan ini akan segera mendapatkan penolakan dari para pendakwah dan penganut agama sendiri.
Kedua, alih-alih gagasan ini diterima dengan baik sebagai alternatif dalam menyelesaikan kasus hubungan antar-agama; justru malah datangnya teori ini menimbulkan ketegangan baru di dalam tubuh umat beragama. Ketegangan itu terjadi antara penganut agama dengan pengusung gagasan “pluralisme” yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebelum teori ini digadang-gadang, gagasan tentang toleransi beragama masih relatif dapat diterima oleh para pemimpin agama. Siapa yang membawa gagasan “toleransi” masih disambut secara positif. Bahkan, para pemimpin agama secara sukarela mencari argumen-argumen agama untuk menguatkan gagasan itu, karena sejatinya tawaran toleransi tidak merusak struktur teologis yang dibangun oleh agama masing-masing. Tuntutan toleransi hanya sebatas kegiatan sosial yang tidak serigid pola-bangun teologis. Akan tetapi, ketika gagasan “pluralisme” ditawarkan segera muncul penolakan, baik bersifat reaktif maupun lebih terstruktur. Kemunculannya malah menjadi “musuh baru” umat beragama. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kemudian malah muncul gerakan yang secara terang-terangan menolak “pluralisme” ini. Munculnya gerakan ini bukan karena para penganut agama tidak mau menghormati agama lain, melainkan karena gagasan pluralisme dianggap akan merusak kepercayaan yang mereka pegang selama ini.
Sebagai sebuah “isme”, gagasan “pluralisme” ini juga malah membentuk kelompok baru pendukungnya. Mereka mengikatkan diri dengan konstruk teologi yang sama, yaitu penerimaan terhadap “pluralisme”. Ketika gagasan yang semestinya menjadi faktor kohesif di antara penganut agama-agama yang telah ada malah menciptakan “kelompok baru”, maka gagasan ini pada hakikatnya malah menciptakan “agama baru” yang problemnya sama dengan agama yang telah ada sebelumnya. Contoh yang paling tidak bisa ditolak adalah peristiwa bentrok antara masa FPI dengan masa yang menamakan diri AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kemajemukan Beragama dan Berkeyakinan) pada 1 Juni 2008 di sekitar Monas. Bentrokan ini bukan antara penganut agama A dan B, melainkan antara penolak gagasan “pluralisme” (FPI) dan pendukungnya (AKKBB).
Ketiga, ketika pengambil kebijakan—dalam hal ini pemerintah—ikut mendukung gagasan pluralisme agama ini, pemerintah pun ikut kena getahnya. Posisi pemerintah sebagai representasi negara sebetulnya sangat ideal sebagai “penengah” dalam menyelesaikan berbagai kasus hubungan antar-agama. Akan tetapi, ketika pilihan pemerintah adalah mendukung gagasan “pluralisme agama”, kini pemerintah ikut dalam pusara konflik itu sendiri. Pemerintah tidak bisa memainkan peran sebagai mediator. Setiap usaha-usaha pemerintah untuk mengadakan dialog antar-umat beragama, mengumpulkan para pemimpin agama, mengadakan pelatihan, dan sebagainya selalu dicurigai sebagai usaha-usaha untuk memaksakan paham pluralisme agama ke tengah umat beragama. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila FKUB yang digagas pemerintah sering dicurigai sebagai agen pemikiran “pluralisme agama” yang harus ditolak. Apalagi fatwa MUI tahun 2005 hingga saat ini menjadi semakin kuat dipegang oleh sebagian besar umat Islam.
Penulis tidak bisa memastikan apakah pemerintah merasa diperlakukan begitu atau tidak, namun pengalaman penulis di lapangan menemukan kenyataan di atas. Setiap kali ada agenda-agenda dialog antar-umat beragama yang digagas pemerintah, terutama melalui FKUB, selalu dicurigai sebagai usaha untuk “merusak” agama melalui pemaksaan paham “pluralisme” agama, walaupun mungkin tidak ada sama sekali tujuan ke arah sana. Seringkali usaha-usaha pemerintah untuk merajut harmoni antar-umat beragama dimentahkan oleh kecurigaan para pemimpin agama di atas yang akan sangat mudah memengaruhi jamaahnya untuk menolak apa yang diinginkan pemerintah. Tentu saja, ini akan menjadi kesulitan lain dalam usaha-usaha mewujudkan harmoni di antar-agama.
Kembali kepada “Toleransi”
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, sesungguhnya bagi pemangku kebijakan seperti pemerintah mengelola perbedaan-perbedaan agama sesungguhnya cukup berhenti pada teori “toleransi” yang berfokus pada kohesi sosial, bukan teologis. Sudah pasti, secara teologis, setiap agama akan saling menyalahkan agama lain secara teologis dan masing-masing akan mengklaim kebenaran agamanya sendiri. Akan tetapi, keyakinan-keyakinan teologis yang saling menyalahkan itu tidak boleh sampai mewujud dalam hubungan sosial yang saling mengasikan. Tentu dalam hal ini setiap agama harus menahan diri untuk tetap menghormati keyakinan dan kepercayaan yang berbeda walaupun yang dihormatinya itu dianggap ketidakbenaran dalam perspektif keyakinannya.
Dengan pendekatan “toleransi” yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun sepanjang sejarah kekuasaan manusia, kerukunan antar-umat beragama dan kohesi sosial dapat diwujudkan oleh pemerintah yang berkuasa tanpa kecurigaan pihak penguasa akan merusak kepercayaan dan keyakinan agama yang tengah dianut oleh mereka. Kalaupun masih terjadi konflik-konflik horizontal yang sering mengatasnamakan agama, biasanya bukan semata-mata masalah perbedaan agama yang menjadi sebabnya. Ada faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, ketidakadilan politik, dan sebagainya yang mendorong identitas keberagamaan dijadikan topeng dan alasan untuk berkonflik dengan pihak lain. Hal-hal semacam ini di Indonesia ditemukan dalam kasus-kasus konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, dan sebagainya. Persoalan yang terjadi bukan semata-mata karena agama yang berbeda sehingga belum tentu bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan teologis seperti pendekatan “pluralisme agama”.
Bila pendekatan “toleransi” yang digunakan, maka jikapun akan memanfaatkan doktrin-doktrin teologis tidak perlu membuat formula dan tafsir-tafsir teologis baru yang hanya akan menimbulkan kontroversi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama dan antar-keyakinan. Pendekatan teologis dapat dilakukan dengan menggali khazanah yang ada di dalam ajaran masing-masing yang sudah mapan untuk semakin mengokohkan kohesi sosial antar-agama. Ini dilakukan agar kohesi sosial bukan merupakan semacam “kemunafikan”, tetapi merupakan tuntutan keimanan sehingga semakin mendalam seseorang beragama, semakin kuat kohesi sosialnya dengan agama lain. Dia akan semakin menghormati orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.
Hal semacam ini sangat mungkin dilakukan karena pada dasarnya setiap agama memiliki doktrin ajaran yang baik dan positif secara sosial tentang bagaimana harus berhubungan dengan agama lain. Paling tidak prinsip-prinsi dasar teologis setiap agama memberikan ruang sangat besar untuk menghormati hak hidup kepercayaan dan agama-agama lain. Memang dalam setiap agama ada ajaran semacam “misi”, “zending”, “dakwah, dan semisalnya sebagai konsekwensi dari klaim atas kebenaran eksklusif setiap agama. Tapi tidak pernah terdengar bahwa sifat dari ajaran-ajaran itu memaksa dengan cara apa saja. Ajaran-ajaran tentang keharusan menyebarkan keyakinan dalam setiap agama sifatnya adalah “penyiaran” dan “tawaran” bukan paksaan. Model ajaran semacam ini sama sekali tidak akan mengganggu kohesi sosial sepanjang cara-cara komunikasi yang dilakukan tidak kasar dan melukai hati audiennya. Penyampaian dakwah atau misi yang kasar sudah pasti akan juga dianggap sebagai kesalahan dalam metode penyampaian kebenaran kepada orang lain. Oleh sebab itu, walaupun ada ajaran “misi” dan “dakwah” dalam setiap agama, secara sosial tidak akan mengganggu hubungan antar-manusia.
Merukunkan Agama dengan Jalan Agama
Seperti disinggung di atas, penulis berkeyakinan bahwa setiap agama memiliki logika ajaran teologis sendiri dalam meletakkan hubungan antara agamanya dengan agama yang lain. Logika ajaran itu sebetulnya memiliki kekuatan untuk mengendalikan konflik dan menciptakan harmoni antar-agama. Penulis tidak berkompeten untuk menjelaskan hal ini dalam konteks agama lain selain Islam. Oleh sebab itu, ada bagian ini, penulis sebagai yang berkecimpung dalam sebuah organisasi dakwah kepemudaan, ingin mencontohkan pendekatan teologis dalam ajaran Islam yang dapat digunakan untuk memperkuat kohesi sosial antar-umat beragama.
Di dalam pandangan yang disepakati umat Islam, hubungan damai antara seorang Muslim dengan penganut agama lain adalah sesuatu yang pada dasarnya dibolehkan, bahkan diperintahkan sebagai
mafhum bahwa perang hanya dilakukan dalam keadaan-keadaan khusus, sepanjang yang dilakukan adalah hubungan sosial-keduniaan biasa seperti hubungan bertetangga, bermuamalah, berniaga, bekerja, dan sebagainya. Hanya dalam perkara-perkara yang menyangkut keyakinan dasar dan rituial ibadah umat Islam tidak melakukan hubungan kecuali dengan sesama Muslim saja. Shalat dan berdoa hanya boleh secara eksklusif dilakukan bersama-sama orang Islam dan di tempat-tempat ibadah milik umat Islam. Dalam berkeyakinan pun umat Islam hanya perlu mempertimbangkan sumber-sumber yang berasal dari ajaran Islam. Dalam hal ini jelas bahwa klaim atas benarnya Islam dan salahnya agama lain adalah hal yang wajar. Walaupun keyakinan ini berulang-ulang disampaikan, karena hanya melibatkan umat Islam secara eksklusif, maka klaim kebenaran ini sama sekali tidak akan menjadi sebab pertengkaran di antara penganut agama. Tujuan hanya satu, yaitu menguatkan penganut agama terhadap agama yang diyakininya. Di sinilah berlaku pernyataan bahwa agamamu untukmu dan agamaku untukku (QS Al-Kafirun; 6).
Boleh bekerja sama secara damai dalam hal duniawi dengan siapa saja tanpa mempertimbangkan agamanya; dan berpegang secara eksklusif hanya pada Islam dan kaum Muslim dalam hal keyakinan dan ibadah adalah prinsip dasar hubungan seorang Muslim dengan non-Muslim. Turunan aturan-aturan lebih rinci dari kaidah-kaidah ini secara lebih luas dapat ditemukan penjelasannya dalam berbagai ayat-ayat Al-Quran, hadis Nabi Saw., dan perilaku Nabi Saw. sendiri saat behubungan dengan masyarakat di sekitarnya yang majemuk. Misalnya kita akan bertemu dengan ayat yang mengatur hubungan anak-orang tua sekalipun beda keyakinan, kita juga akan menemukan ayat yang membolehkan orang Muslim dan non-Muslim saling menikmati makanan buatan atau pemberian masing-masing; bahkan ada juga ayat membolehkan lelaki Muslim menikahi Ahli Kitab. Dalam berbagai hadis dan
sirah Nabi Saw. terdapat lebih rinci lagi bagaimana Rasul ber-muamalah dengan orang-orang non-Muslim dalam damai. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam setiap ajaran agama, dalam hal ini sebagai contoh sekilas seperti dalam ajaran Islam di atas. Ajaran-ajaran serupa juga pasti akan ditemukan dalam ajaran-ajaran agama lain.
Dalam kasus Islam, problemnya bukan pada tidak adanya argumen-argumen teologis terkait hubungan antar-agama yang sudah inheren dalam ajarannya, melainkan pada pilihan pengajaran materi keagamaan. Tema-tema hubungan antar-agama semacam ini termasuk yang jarang dibahas dalam forum-forum pengajian, majlis taklim, dan bahkan dalam training-training gerakan pemuda, mahasiswa, dan pelajar Muslim. Mungkin saja, materi semacam ini dianggap sebagai materi yang tidak terlalu penting untuk disampaikan. Hanya prinsip-prinsip dasarnya saja yang dipegang secara umum. Pendalaman dan pengayaan kajiannya sangat kurang. Karena kurangnya itulah banyak yang mengira bahwa di dalam ajaran Islam tidak ada seperangkat rumus teologis dalam membangun hubungan harmonis dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Padahal, bila kajian-kajian tentang hubungan antar-agama yang diasaskan secara langsung kepada sumber doktrin ajaran ini digalakkan, besar kemungkinan akan muncul kesadaran mendasar tentang bagaimana seharusnya hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama-agama lain.
Selain kurangnya kajian tentang hubungan antar-agama dari sudut pandang doktrin agamanya sendiri, situasi bisa semakin keruh dengan munculnya gelombang gerakan radikal yang mengkaji agama hanya dari sudut pandang perang dan perkelahian fisik dengan mereka yang dianggap “kafir”. Dalam Islam, perang memang menjadi bagian dari sejarah Rasulullah Saw. Akan tetapi, masa perang pasti lebih sedikit dari masa damai. Itu sebabnya, mengkaji mengenai perang tanpa mengkaji saat damai pasti akan menyebabkan pandangan seolah semua keadaan adalah perang. Perang menjadi diletakkan secara tidak adil dan proporsional. Celakanya, di tengah isu-isu ketidakadilan terhadap sebagian umat Islam di beberapa belahan dunia, provokasi untuk lebih memilih perang daripada damai cukup diminati, terutama oleh kalangan muda-remaja yang masih belum memiliki stabilitas emosi yang diperparah dengan kedangkalan pengetahuan mengenai agamanya. Tidak mengherankan bila kasus-kasus radikalisme atas nama agama banyak dilakukan oleh mereka yang masih muda-belia. Di sinilah pentingnya usaha-usaha sesama generasi muda untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam ini.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemuda?
Memperhatikan bahwa walaupun terdapat potensi harmoni dalam ajaran agama, tapi ada juga ajaran yang ada kaitan dengan perang, maka di sinilah diperlukan strategi yang baik dalam pengajaran agama terhadap kaum muda, terutama dalam usia-usia yang tengah dalam masa pencarian jati diri. Namun demikian, usaha strategis ke arah sana tidak serta merta membenarkan pendekatan pluralisme yang cenderung melahirkan konflik baru di tengah umat beragama sebagaimana telah dijelaskan secara singkat di atas. Pendekatan tetap harus diambil dari doktrin agama masing-masing yang telah mapan yang sebetulnya sangat memadai untuk menciptakan harmoni dalam hubungan antar-agama. Ada beberapa pertimbangan memilih strategi ini, bukan strategi pluralisme.
Pertama, kajian-kajian agama yang didatangi dan digemari anak-anak muda bukan kajian yang bernuansa pemikiran pluralisme, melainkan kajian-kajian berbasis masjid, baik di sekolah, kampus, maupun di masyarakat. Kajian berbasis masjid ini tentu saja akan memperkenalkan agama (baca: Islam) secara tradisional, yaitu agama yang bersumber pada doktrin-doktrin dasarnya. Kalaupun ada sekelompok anak muda yang menggemari pendekatan pluralis, jumlahnya boleh dikatakan minoritas, bukan
mainstream. Oleh sebab itu, mendekati anak-anak muda melalui pendekatan pluralisme, bukan doktrin tradisionalnya, hanya akan mendapatkan audien yang sedikit.
Kedua, sumber munculnya pemikiran-pemikiran radikal pun ada di tempat-tempat kajian tradisional. Kelompok orang yang berpikir radikalis seringkali memanfaatkan kepolosan anak-anak muda yang datang ke mesjid-mesjid dengan semangat yang tinggi namun berpengetahuan rendah soal agama untuk kemudian didoktrin dengan pemikiran-pemikiran radikal. Mereka yang terjaring dengan doktrin-doktrin radikal akan sangat mudah menolak pandangan yang tidak memiliki akar tradisional pada sumber asal agama, apalagi pemikiran pluralis yang bagi mereka sudah divonis pemikiran “kafir” sejak semula. Mencegah timbulnya pemikiran-pemikiran radikal hanya dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan, yaitu mengangkat ajaran-ajaran doktrinal dari sumber-sumber pokoknya, yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. dalam spektrum yang lebih luas.
Ketiga, dengan melakukan pendekatan doktrinal-tradisional ini, akan lebih mudah mendapat dukungan karena dengan cara ini apa yang dilakukan adalah dalam rangka meningkatkan pengamalan terhadap agama dan memperkokoh keshalehan anak-anak muda. Usaha-usaha ini akan mendapatkan apresiasi positif dari kalangan mana saja, terutama orang tua. Dengan dukungan ini, gerakan akan menjadi lebih mudah dan lebih berpengaruh secara luas.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan untuk menggerakkan pemuda agar dapat ikut berperan aktif dalam mewujudkan kerukunan beragama dengan pendekatan di atas antara lain sebagai berikut.
Pertama, mengusahakan pengayaan materi kajian berupa kajian tentang hubungan antar-agama dari sudut pandang ajaran agama masing-masing—dalam contoh kasus di sini adalah Islam—dalam berbagai forum-forum kajian seperti forum kajian terbatas (
halaqoh), ceramah umum, diskusi umum, dan seminar-seminar. Tema-tema tentang hubungan antar-agama yang ideal menurut pandangan Islam masih merupakan topik yang jarang dibahas. Padahal, dalam konteks membangun kohesi sosial antar-penganut agama yang berbeda ini sangat penting.
Kedua, memanfaatkan para ustadz atau pembina kalangan muda lainnya untuk turut menyosialisasi tema-tema kerukunan beragama dari sudut pandang ajaran agama yang diyakininya dalam kajian-kajian mereka.
Ketiga, menghapus kecurigaan berlebihan terhadap gerakan-gerakan dakwah generasi muda di mesjid sebagai sumber terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan semisalnya. Sebaliknya, gerakan-gerakan ini justru harus dijadikan sebagai kekuatan sipil yang kokoh untuk menciptakan harmoni sosial antar-agama.
Keempat, dialog-dialog antar-agama di kalangan generasi muda jangan hanya melibatkan organisasi-organisasi kepemudaan besar, tetapi juga harus melibatkan gerakan-gerakan dakwah di mesjid-mesjid yang skalanya bisa jadi kecil-kecil. Mereka harus merasakan bagaimana berhubungan dan berdialog secara langsung dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Dialog bisa dilakukan secara berjenjang; dan yang paling efektif dilakukan pada jenjang akar rumput yang langsung behubungan dengan masyarakat secara riil dan langsung.
Kelima, selain dialog sangat baik apabila di antara gerakan-gerakan pemuda diadakan kegiatan-kegiatan sosial bersama untuk semakin memupuk kohesi sosial di antara mereka. Dalam banyak hal, kegiatan sosial bersam di antara kelompok-kelompok yang berbeda agama dan keyakinan akan meningkatkan saling pengertian di antara mereka.
Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb.
Bahan-Bahan Bacaan
Adian Husaini.
Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Bangsa Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
Akmal Salim Ruhana. “Peranan Belia dalam Menjaga Kerukunan Antarumat Beragama: Pengalaman Indonesia”, makalah pada seminar Program Konvokesyen Pendakwah Muda Institusi Pengkajian Tinggi ASEAN 2013 di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Negeri Sembilan Malaysia, 3 Februari 2013
Budi Munawwar Rachjman.
Islam dan Sekularisme. (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011).
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck [red.],
Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992)
Darwis Muhdina. “Kerukunan Umat Beragama Berbasid Kearifan Lokal di Kota Makassar”, dalam
Jurnal Diskursus Islam Volume 3, No. 1, tahun 2015.
Halid Alkaf.
Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia. (Jakarta: Kompas-Gramedia, 2011)
Ionanes Rakhmat. “Peran Kaum Muda Indonesia dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama: Tantangan, Peluang, dan Hambatan”, makalah dalam Wokrshop Penguatan Peran Tokoh Muda untuk Kerukunan Beragama di Wisma Diklat Kopertais UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28-30 Desember 2010.
Muhammad Natsir.
Modus Vivendi Islam dan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1981).
[1] Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama.
Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama.
Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.
Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu.
Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya.
Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan. (Mukti Ali dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck [red], 1992: 227-229.)